Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Tempat Persembunyian di Atas Awan
Lift pribadi itu berdenting halus, pintunya terbuka langsung menuju ruang tamu Penthouse di lantai 55.
Kaluna melangkah keluar dengan ragu. Kakinya yang telanjang tenggelam dalam karpet bulu tebal berwarna abu-abu. Ia melepas heels-nya di mobil tadi karena kakinya lecet. Kini, ia berdiri di tengah kemewahan tempat tinggal Bara yang sunyi, masih terbalut jas tuksedo kebesaran yang menutupi gaunnya yang hancur.
Ruangan itu luas, modern, dan minimalis. Dinding kaca raksasa menampilkan panorama Jakarta malam hari yang berkelap-kelip seperti hamparan berlian. Indah, tapi dingin. Tidak ada foto, tidak ada hiasan pribadi. Seperti ruang pameran furnitur yang tidak dihuni manusia.
"Kamar mandi di sebelah sana," tunjuk Bara ke arah lorong kanan. "Handuk bersih ada di rak. Sabun, sampo, semuanya ada. Aku siapkan baju ganti sebentar."
"Terima kasih," cicit Kaluna.
Ia berjalan cepat menuju kamar mandi, ingin segera membersihkan lengketnya wine dan sisa-sisa penghinaan Siska dari kulitnya.
Di bawah guyuran shower air hangat, Kaluna menangis lagi. Bukan tangisan histeris, melainkan air mata pelepasan. Ia menggosok kulitnya kuat-kuat dengan sabun beraroma sandalwood—aroma Bara—berusaha menghilangkan jejak aroma parfum Siska yang memuakkan.
Tiga puluh menit kemudian, Kaluna keluar. Rambut basahnya dibungkus handuk kecil.
Di atas meja rias marmer, sudah terlipat rapi sehelai kemeja putih lengan panjang dan celana sweatpants abu-abu. Pakaian Bara.
Kaluna memakainya. Kemeja itu menenggelamkan tubuh mungilnya. Bahunya jatuh sampai ke lengan, dan ujung kemejanya mencapai pertengahan paha. Ia harus menggulung lengan kemeja itu berkali-kali agar tangannya bisa terlihat. Celana sweatpants-nya pun harus ia ikat tali pinggangnya seerat mungkin agar tidak melorot.
Ia menatap cermin. Ia terlihat konyol, tapi juga merasa... aman. Mengenakan pakaian Bara terasa seperti dipeluk oleh pria itu secara permanen.
Kaluna memberanikan diri keluar.
Bara sedang berdiri di kitchen island, membelakangi Kaluna. Pria itu sudah mengganti kemeja formalnya dengan kaos oblong hitam polos dan celana pendek santai. Ia sedang menuang air panas ke dalam dua mug.
Mendengar langkah kaki, Bara menoleh.
Gerakan tangannya terhenti di udara. Matanya menyapu penampilan Kaluna—rambut basah yang tergerai, wajah segar tanpa makeup yang sedikit merah karena uap panas, dan tubuhnya yang tenggelam dalam kemeja kebesarannya.
Bara menelan ludah, jakunnya bergerak naik turun. Pemandangan itu adalah fantasi terliarnya yang menjadi nyata. Kaluna di apartemennya. Memakai bajunya.
"Maaf, celananya pasti kepanjangan," ujar Bara, suaranya sedikit serak. Ia berdeham, mengalihkan pandangan kembali ke mug. "Ayo duduk. Aku buatkan Chamomile Tea supaya kamu bisa tidur."
Kaluna duduk di kursi bar yang tinggi. Bara menyodorkan mug keramik itu.
"Terima kasih," ucap Kaluna, menghirup uap teh yang menenangkan.
Hening sejenak. Hanya suara AC yang mendengung halus.
"Ponselmu terus bergetar di meja ruang tamu sejak tadi," kata Kaluna, melirik ponsel Bara yang layarnya menyala-nyala tanpa henti. "Pasti Ibumu. Atau Siska."
"Biarkan saja," jawab Bara acuh tak acuh. Ia menyesap kopinya sendiri (tentu saja dia minum kopi malam-malam). "Aku sudah mematikan nada deringnya. Malam ini aku tidak mau dengar suara siapa pun kecuali suaramu."
Kaluna menunduk, memainkan pegangan mug-nya.
"Bara... apa yang akan terjadi besok?" tanya Kaluna cemas. "Kamu mempermalukan Siska di depan media. Saham Adhitama pasti anjlok. Investor akan panik. Bagaimana nasib proyek Hotel Menteng?"
Bara meletakkan mug-nya, lalu berjalan memutari meja bar untuk berdiri di samping Kaluna. Ia menyandarkan pinggulnya ke meja, melipat tangan di dada.
"Hotel Menteng akan tetap jalan," jawab Bara tenang, meski matanya menyiratkan beban pikiran yang berat. "Aku masih punya tabungan pribadi dan beberapa aset likuid yang bisa kujual untuk menutupi penarikan dana Siska sementara waktu."
"Tapi itu tidak akan cukup untuk jangka panjang," bantah Kaluna.
"Aku akan cari investor lain. Atau pinjaman bank," potong Bara. Ia menatap Kaluna tajam. "Yang penting sekarang adalah kamu. Kamu baik-baik saja?"
Kaluna mengangguk pelan. "Berkat kamu."
Bara mengulurkan tangan, menyentuh rambut basah Kaluna. "Aku minta maaf aku tidak bertindak lebih cepat tadi. Harusnya aku menumpahkan wine itu balik ke wajah Siska."
Kaluna tertawa kecil, tawa yang terdengar lelah. "Itu akan jadi headline berita kriminal, Pak CEO."
Bara tersenyum tipis. Ia menatap bibir Kaluna yang bengkak—jejak perbuatannya sendiri di ruang gelap tadi. Tatapannya berubah menjadi lebih gelap, lebih intens.
Suasana di dapur mewah itu berubah. Udara menjadi berat oleh ketegangan yang tak terucap.
Bara memajukan tubuhnya, mengurung Kaluna di antara kedua lengannya yang bertumpu pada meja bar. Wajah mereka sejajar.
"Kaluna," bisik Bara.
Jantung Kaluna berpacu cepat. "Ya?"
"Kamu tahu betapa sulitnya bagiku untuk tidak membawamu ke kamar tidurku sekarang?" ucap Bara jujur, matanya menelusuri setiap inci wajah Kaluna. "Melihatmu memakai kemejaku... berada di rumahku... rasanya aku ingin memiliki seluruh dirimu malam ini juga."
Wajah Kaluna memanas hebat. Napasnya tertahan. Sebagian dirinya ingin meneriakkan 'Lakukan saja'.
Tapi Bara tidak bergerak lebih jauh. Ia justru mundur selangkah, menegakkan tubuhnya kembali. Ia menarik napas panjang, seolah menahan diri sekuat tenaga.
"Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Bara tegas.
Kaluna menatapnya bingung. "Kenapa?"
"Karena kamu sedang rapuh. Kamu baru saja mengalami hari yang buruk. Dan situasi kita... masih berantakan," jelas Bara. Ia menatap Kaluna dengan sorot mata penuh hormat. "Aku tidak mau menjadikanmu pelarian sesaat. Aku tidak mau kita melakukan ini di saat statusku masih tunangan orang lain di atas kertas."
Bara meraih tangan Kaluna, menggenggamnya lembut.
"Saat aku menyentuhmu nanti... aku ingin itu terjadi ketika aku sudah bebas. Ketika aku bisa memilikimu sepenuhnya tanpa bayang-bayang Siska atau Ibuku. Aku ingin melakukannya dengan benar kali ini."
Mata Kaluna berkaca-kaca. Bara benar. Bara menjaga kehormatannya. Bara tidak ingin menjadikannya simpanan atau kesalahan satu malam.
"Kamu benar-benar sudah berubah, Bar," bisik Kaluna haru.
"Aku belajar dari kesalahan," jawab Bara. Ia mengecup kening Kaluna lama sekali. Kecupan yang menenangkan, bukan menuntut. "Sekarang, tidurlah. Kamu pakai kamar utamaku. Spreinya baru diganti tadi pagi."
"Lalu kamu tidur di mana?"
"Sofa ruang tamu cukup nyaman. Atau kamar tamu," jawab Bara santai. "Jangan khawatirkan aku."
Bara menuntun Kaluna menuju kamar utama. Kamar itu luas, dengan kasur King Size yang terlihat sangat empuk.
"Selamat tidur, Kaluna," ucap Bara di ambang pintu.
"Selamat tidur, Bara. Terima kasih," balas Kaluna.
Bara tersenyum, lalu menutup pintu pelan-pelan.
Kaluna berdiri sendirian di kamar itu. Ia merangkak naik ke atas kasur besar itu, membenamkan wajahnya ke bantal. Bantal itu berbau Bara.
Malam itu, di lantai 55 apartemen mewah di jantung Jakarta, Kaluna tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan. Ia tahu di luar sana badai sedang mengamuk. Media sedang mengetik berita skandal, Siska sedang merencanakan balas dendam, dan Bu Ratna sedang murka.
Tapi di sini, di balik pintu yang dijaga Bara, ia merasa aman.
Sementara itu, di ruang tamu yang gelap.
Bara duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya yang akhirnya ia nyalakan kembali. Ada 50 panggilan tak terjawab dari Ibunya, 20 pesan ancaman dari Siska, dan belasan email dari direksi yang panik.
Ia membuka pesan terakhir Siska.
Siska:
Kamu pikir kamu pahlawan, Bara? Lihat saja besok pagi. Aku akan pastikan proyek Hotel Menteng-mu itu jadi kuburan massal karirmu dan perempuan jalang itu.
Bara tidak membalas. Ia mematikan ponselnya lagi dan melemparnya ke meja.
Ia menatap pintu kamar tidur tempat Kaluna berada.
"Lakukan saja semaumu, Siska," gumam Bara pada kegelapan. "Aku sudah tidak peduli lagi."
Bara memejamkan mata, mempersiapkan diri untuk perang yang sesungguhnya esok hari. Ia mungkin akan kehilangan hartanya, tapi malam ini, ia memenangkan kembali hatinya.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share ❣️