NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Noda Merah dan Jas Hitam

​Kaluna berjalan kembali ke tengah pesta dengan langkah seperti orang mabuk, meski ia tidak menyentuh alkohol setetes pun. Bibirnya masih terasa panas, bengkak, dan berdenyut sisa ciuman kasar Bara di ruang gelap tadi.

​Ia merasa seperti pencuri yang baru saja menyelinap keluar dari tempat kejadian perkara. Jantungnya bergemuruh di dada, takut kalau-kalau ada noda lipstik yang menempel di pipinya atau rambutnya berantakan.

​"Kaluna? Kamu dari mana saja?"

​Suara Julian menyambutnya. Pria itu berdiri di dekat pilar, memegang dua gelas air mineral. Wajahnya tampak cemas.

​Kaluna tersentak, berusaha menyembunyikan wajahnya. "Aku... antre toilet tadi. Ramai sekali."

​Julian menatapnya. Matanya yang tajam menyapu wajah Kaluna—melihat rona merah yang tidak wajar di pipi dan bibir yang sedikit bengkak. Julian bukan orang bodoh. Dia tahu "antre toilet" tidak akan membuat seseorang terlihat seperti baru saja bercinta dengan badai.

​Namun, Julian memilih menjadi gentleman.

​"Minum ini," Julian menyodorkan air mineral. "Wajahmu merah sekali. Panas ya di dalam?"

​"Iya... AC-nya kurang dingin," jawab Kaluna asal, meneguk air itu dengan rakus untuk mendinginkan tenggorokannya yang kering.

​Dari sudut matanya, Kaluna melihat pintu samping terbuka lagi. Bara keluar.

​Pria itu sudah merapikan dasi kupu-kupunya, tapi wajahnya segelap awan mendung. Ia tidak melihat ke arah Kaluna. Ia berjalan lurus menuju barisan VIP, mengambil segelas whisky dari nampan pelayan yang lewat, dan meneguknya dalam sekali tegukan.

​Kaluna memalingkan wajah, dadanya nyeri. Itu kesalahan, batinnya. Ciuman itu kesalahan.

​Di seberang ruangan, Siska Maheswari berdiri bak ratu lebah yang mengawasi sarangnya. Matanya menyipit melihat Bara yang baru muncul dari arah yang sama dengan Kaluna, dengan selang waktu hanya dua menit.

​Insting wanitanya menjerit.

​Siska melihat Bara yang tampak kacau, lalu melihat Kaluna yang gelisah di samping Julian. Rahang Siska mengeras. Ia meremas gelas wine-nya.

​"Dasar jalang," desis Siska pelan.

​Siska meletakkan gelasnya yang kosong, lalu menyambar gelas Red Wine penuh dari meja terdekat. Ia merapikan gaun merahnya, memasang senyum paling manis namun mematikan, dan mulai melangkah membelah kerumunan.

​Tujuannya satu: Kaluna.

​"Kaluna, sepertinya kita pulang saja yuk," ajak Julian, menyadari ketidaknyamanan pasangannya. "Aku nggak tega lihat kamu pucat begini."

​"Iya, tolong Julian. Aku ingin segera—"

​"Hai, Kaluna!"

​Sapaan ceria yang keras itu memotong kalimat Kaluna. Siska sudah berdiri di hadapan mereka, menghalangi jalan keluar.

​Kaluna mundur selangkah. Aura permusuhan menguar kuat dari tubuh Siska.

​"Mau pulang? Kok buru-buru?" tanya Siska, matanya berkilat jahat. "Padahal sebentar lagi ada toast keluarga. Sayang lho kalau dilewatkan."

​"Saya kurang enak badan, Bu Siska," jawab Kaluna sopan, mencengkeram lengan Julian.

​"Oh, sakit?" Siska tertawa kecil, melangkah lebih dekat. "Atau malu karena habis melakukan sesuatu yang kotor di belakang?"

​Wajah Kaluna memucat. Julian mengernyit, maju pasang badan. "Jaga bicara Anda, Siska. Itu tuduhan serius."

​"Aku nggak bicara sama kamu, Koki," cibir Siska. Ia kembali menatap Kaluna. "Lihat gaun ini... hijau zamrud. Cantik sekali. Sayang kalau terlalu bersih, kan? Hidup itu butuh sedikit... warna."

​Siska mengangkat gelas wine-nya seolah hendak bersulang.

​Lalu, dengan gerakan yang disengaja namun disamarkan sebagai "tersandung", Siska menjatuhkan gelas itu ke arah Kaluna.

​"Ups!"

​BYUR!

​Cairan merah pekat itu tumpah sepenuhnya, mengguyur dada dan perut Kaluna. Gaun sutra hijau yang mahal itu seketika menyerap cairan itu, berubah menjadi noda gelap yang besar dan mengerikan. Pecahan gelas berdenting di lantai marmer.

​Cairan merah itu menetes-netes dari gaun Kaluna ke lantai, tampak seperti darah.

​Musik di sekitar mereka berhenti. Orang-orang menoleh. Keheningan menyergap.

​Kaluna ternganga, menatap gaunnya yang hancur. Dinginnya wine menembus kulit, tapi rasa dingin di hatinya jauh lebih parah. Ini penghinaan publik.

​"Ya ampun!" seru Siska dengan nada kaget yang sangat palsu. Ia menutup mulutnya dengan tangan. "Maaf banget, Kaluna! Aku tersandung kaki meja tadi. Aduh, gaunnya jadi rusak deh. Padahal itu pasti sewa, kan? Berapa harganya? Biar aku ganti sepuluh kali lipat sekarang juga."

​Suara Siska cukup keras untuk didengar oleh kerumunan di sekitar mereka. Beberapa sosialita berbisik-bisik sambil menutup mulut menahan tawa.

​Julian tampak murka. Ia segera mengambil sapu tangan dari sakunya, berusaha mengeringkan noda itu. "Ini keterlaluan, Siska! Kamu sengaja!"

​"Sengaja? Jangan fitnah dong," elak Siska santai. "Namanya juga kecelakaan."

​Kaluna merasa air matanya mendesak keluar. Ia merasa telanjang. Semua mata menatap noda merah di dadanya itu seolah menatap dosa-dosanya. Ia ingin lari, tapi kakinya terpaku di lantai.

​Tiba-tiba, kerumunan terbelah.

​Langkah kaki tegas terdengar mendekat. Cepat dan berat.

​Bara Adhitama muncul. Wajahnya bukan lagi mendung, tapi badai petir. Matanya menyalang menatap Siska, lalu beralih menatap Kaluna yang gemetar dengan gaun basah kuyup.

​Rahang Bara mengetat sampai terdengar bunyi gemeretak gigi.

​Tanpa satu patah kata pun, Bara melepas jas tuksedo hitam mahalnya. Dengan gerakan cepat dan protektif, ia menyampirkan jas besar itu ke bahu Kaluna, menutupi noda merah itu sepenuhnya, menutupi tubuh Kaluna dari tatapan lapar orang-orang.

​Aroma tubuh Bara—hangat dan maskulin—langsung menyelimuti Kaluna, menjadi benteng pertahanan terakhirnya.

​Bara kemudian berdiri di depan Kaluna, memunggungi wanita itu, dan berhadapan langsung dengan Siska.

​Wajah Siska yang tadi penuh kemenangan, kini berubah pucat melihat tatapan Bara.

​"Bara..." Siska mencoba tersenyum. "Sayang, itu kecelakaan. Aku nggak sengaja—"

​"Simpan omong kosongmu," potong Bara. Suaranya tidak keras, tapi terdengar mengerikan di keheningan ballroom. "Aku melihatnya, Siska."

​Siska terdiam.

​Bara menatap tunangannya itu dengan tatapan jijik yang tidak ditutup-tutupi.

​"Kamu baru saja mempermalukan dirimu sendiri, bukan Kaluna," ujar Bara dingin. "Tingkah laku kampungan seperti ini tidak pantas untuk calon Nyonya Adhitama."

​Napas orang-orang tertahan. Bara baru saja menghina tunangannya—putri investor terbesarnya—di depan umum.

​Bu Ratna yang melihat keributan itu dari jauh bergegas mendekat dengan wajah panik. "Bara! Apa-apan ini? Kenapa kamu kasih jasmu ke dia? Wartawan banyak di sini!"

​Bara menoleh pada ibunya. Tatapannya kosong.

​"Biar wartawan catat, Ma," jawab Bara lantang. "Bahwa Adhitama Group tidak mentolerir bullying dalam bentuk apa pun di acara kita. Termasuk jika pelakunya adalah investor kita sendiri."

​Bara berbalik badan, menghadap Kaluna. Tatapannya melunak seketika.

​"Ayo," ucap Bara lembut.

​Tanpa memedulikan Julian yang masih berdiri kaku memegang sapu tangan, Bara merangkul bahu Kaluna yang terbalut jasnya. Ia menarik tubuh kecil itu menempel ke sisinya, melindunginya sepenuhnya.

​"Kita pergi dari sini."

​Bara menuntun Kaluna berjalan membelah kerumunan menuju pintu keluar utama.

​Flash kamera wartawan meledak-ledak membutakan mata.

Klik! Klik! Klik!

​"Pak Bara! Apakah ada hubungan spesial dengan arsitek Anda?"

"Bu Siska, tanggapannya bagaimana?"

"Pak Bara, mau ke mana Pak?"

​Bara mengabaikan semuanya. Ia terus berjalan tegap, satu tangannya merangkul Kaluna erat, seolah menantang dunia untuk mencoba menyentuh wanita itu lagi.

​Siska tertinggal di belakang, berdiri mematung di tengah genangan wine dan pecahan kaca, wajahnya merah padam menahan malu dan amarah. Bu Ratna memijat kepalanya yang pening melihat skandal besar yang baru saja meletus.

​Dan Julian... Julian hanya bisa menatap punggung mereka menjauh. Ia memasukkan kembali sapu tangannya ke saku. Ia tahu, malam ini ia kalah telak. Sejak awal, ia tidak pernah punya kesempatan melawan sejarah lima tahun itu.

​Di luar lobi hotel, udara malam Jakarta menyambut mereka.

​Bara tidak menunggu valet. Ia memberi isyarat pada sopir pribadinya (Pak Udin yang sudah sembuh) yang standby di mobil Alphard hitam di lobi.

​Mobil berhenti. Bara membuka pintu belakang, membantu Kaluna masuk, lalu ia sendiri masuk dan membanting pintu.

​"Jalan, Pak. Ke apartemen saya," perintah Bara.

​"Ke apartemen?" Kaluna tersentak, menoleh panik. Ia masih memegangi kerah jas Bara yang membungkusnya. "Nggak, Bar. Antar aku pulang ke kosan saja."

​"Gaunmu basah kena alkohol dan gula. Lengket. Kamu butuh mandi dan ganti baju yang layak," ujar Bara tegas, tidak menatap Kaluna. Ia menatap ke depan, tangannya terkepal di lutut. "Di kosanmu nggak ada air panas water heater, kan?"

​Kaluna terdiam. Benar. Dan dia menggigil kedinginan sekarang.

​"Lagipula..." suara Bara merendah, "aku nggak bisa membiarkan kamu sendirian malam ini setelah kejadian tadi. Media pasti akan mencari tahu alamatmu. Apartemenku penjagaannya ketat. Wartawan nggak bisa masuk."

​Kaluna menatap profil samping wajah Bara. Pria itu baru saja memicu perang dunia ketiga dengan Siska dan keluarganya demi membelanya. Karirnya, investasinya, nama baik keluarganya... Bara mempertaruhkan semuanya dalam satu malam.

​"Bara," panggil Kaluna lirih.

​Bara menoleh.

​"Kenapa kamu lakukan itu?" tanya Kaluna, air matanya menetes lagi. "Siska akan menarik dananya. Ibumu akan murka. Kamu bisa kehilangan semuanya."

​Bara menatap mata Kaluna dalam-dalam. Ia mengangkat tangannya, menghapus air mata di pipi Kaluna dengan ibu jarinya.

​"Aku sudah bilang tadi di ruang gelap, kan?" jawab Bara lembut namun penuh keyakinan. "Aku sudah lelah jadi pengecut. Biarkan dananya ditarik. Biarkan Ibu marah. Aku bisa cari investor lain. Aku bisa bangun ulang semuanya dari nol."

​Bara meraih tangan Kaluna yang dingin, menggenggamnya erat di atas jok kulit mobil.

​"Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu lagi, Kaluna. Satu kali sudah cukup menghancurkanku. Aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Siapa pun."

​Malam itu, di dalam mobil yang melaju membelah Jakarta, Kaluna menyadari bahwa perang dingin mereka sudah berakhir.

​Bara Adhitama telah memilih sisinya.

Dan kali ini, dia memilih Kaluna.

​Namun Kaluna tahu, kemenangan ini hanyalah awal dari badai yang sesungguhnya. Besok pagi, mereka akan bangun sebagai musuh publik nomor satu di mata keluarga Adhitama dan Maheswari.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!