NovelToon NovelToon
Maya Dan Cangkulnya

Maya Dan Cangkulnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Romansa pedesaan
Popularitas:131
Nilai: 5
Nama Author: R.Fahlefi

Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tampar aku bang

"Sekarang jawab pertanyaanku, abang mau kemana minggu depan?"

Gilang menyipitkan mata, "Emang kenapa? Kau mau ikut?"

"Jawab saja bang, abang mau kemana minggu depan?"

"Mancing, emang kenapa? Darimana kau tahu aku ada rencana minggu depan?"

"Itu nggak penting, abang kira biaya mancing itu murah? Aku saja di rumah pusing mikirin duit, harus berhemat setiap hari. Abang bisa-bisanya habisin duit untuk hal yang nggak guna!"

"Diam May!! Aku nggak minta izin darimu, aku mau pergi itu terserahku! Jangan bikin ribut malam-malam begini!"

"Aku nggak masalah abang pergi mau kemana, tapi abang juga harus memenuhi kebutuhan kami di rumah ini."

"Kebutuhan? Emang aku nggak ngasih kau uang, hah?! Kau saja yang tak pandai caranya ngatur duit. Dasar istri nggak becus!"

Gilang menyampirkan jaketnya ke atas motor sembarangan, lalu berjalan menuju kamar.

Tapi Maya menahan tangan Gilang, ia masih tidak terima.

Gilang berhenti.

"Abang bilang aku istri nggak becus?"

Gilang menghentakkan tangannya sehingga terlepas dari tangan Maya. Maya sedikit merasa sakit di pergelangan.

"Kau emang istri nggak becus, kerjanya cuma marah-marah saja, mengeluh, habisin duit, suami pulang bukannya dilayani, malah ngajak bertengkar! Seharian kau kemana saja? Aku pulang kerja bukannya ada di rumah, kau pikir kau itu sudah baik? Jangan taunya nyalahin orang terus!" Suara Gilang meninggi.

"Bang, aku itu ke ladang! bukannya nggak becus, kalau saja abang ngasih aku... "

" Argghh!!! Udah diam!!" Gilang mendorong tubuh Maya membuat Maya hampir tersungkur ke lantai.

Maya menangis.

Di dalam kamar Gilang langsung merebahkan badan. Cepat sekali ia tidur seakan keributan tadi tidak ada artinya.

Maya sebaliknya, setelah masuk ke dalam kamar ia tidur membelakangi Gilang. Matanya sembab oleh air mata yang tidak berhenti mengalir.

Andai saja dulu.. andai saja ia menerima saran dari orang tua agar menyelesaikan pendidikan. Mungkin saat ini hidup Maya bisa lebih baik. Setidaknya Maya bisa mencari pekerjaan dan tidak selalu mengandalkan suami brengseknya.

"Pikirkan dulu nak, menikah itu tidak selalu se indah yang kamu bayangkan."

Perkataan ibunya dulu terngiang di kepala Maya.

Gilang dulu adalah pria baik yang ia kenal. Pemuda itu selalu bersikap romantis di masa mereka pacaran, bahkan saat fase-fase awal mereka menikah hidup mereka sungguh indah. Gilang bekerja, Maya mengurus rumah. Kehidupan mereka tidak punya kekurangan, ekonomi lancar, komunikasi mereka hangat.

Gilang mencintai Maya, Maya juga demikian. Itulah sebabnya mereka tidak mau berlama-lama lagi dan ngebet untuk menikah muda, apalagi Gilang waktu itu lulus menjadi CPNS. Itu membuat hati kedua orang tua Maya melunak, setidaknya suami Maya punya penghasilan tetap. Asalkan anak mereka bisa hidup damai, asalkan Maya memiliki masa depan yang jelas bersama Gilang.

Tapi, semua itu bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Maya tidak bisa menjilat ludahnya sendiri, ia yang memilih menikah muda. Mengadukan nasib pada orang tua hanya akan melempar kotoran ke wajahnya sendiri.

Pagi itu, Maya tidak menegur Gilang. Ia juga tidak meminta uang. Maya pergi ke rumah mertuanya untuk mengambil sedikit beras dan lauk. Untungnya, meskipun mendapat omelan singkat, mertua Maya tetap memberikan beras dan lauk itu. Orang tua itu tetap memiliki hati meski kadang mulutnya lebih tajam dari silet. Kalau soal Mirna, Maya sudah biasa, adik iparnya itu tetap seperti biasa. Judes, sok berkuasa, dan tidak tahu diri.

"Udah dikasih uang, tetap aja minta-minta." Sindir Mirna ketika Maya hendak pulang.

Maya diam, ia tahu kalau menjawab ujung-ujungnya pasti jambak-jambakan. Tapi dalam hati tidak bisa dipungkiri bahwa ia ingin sekali menjahit mulut adik iparnya itu dengan tali rafia. Lagipula, beras yang ada di rumah mertuanya, stok dapur, sebagian besar adalah dari duit Gilang.

Di ladang Maya menenangkan diri. Ia berpikir bahwa ia tidak bisa terus seperti ini, suaminya itu tidak bisa diandalkan. Panen pertamanya, hanya beberapa kilogram sawi. Ia menjualnya dengan harga tidak lebih dari 100 ribu rupiah.

"Sawi kau itu bagus May, kau cocok menjadi petani. Kenapa cuma tanam sedikit?" Kata tauke yang membeli sayuran Maya.

"Aku nggak sanggup mengurusnya sendiri pak, ini saja aku udah kewalahan." Jawab Maya jujur.

Ladang yang ia garap memang tidak banyak, hanya seperempat dari total luas lahan mereka. Ladang itu dulu dibeli oleh orang tua Maya, hadiah untuk pernikahannya dengan Gilang.

Jika tujuannya adalah untuk menambah penghasilan, maka Maya juga harus memperluas lahan yang ia garap. Perkataan tauke emang benar, ia harus menanam lebih banyak jika ingin lebih, dan menanam jenis tanaman yang harganya cukup mahal.

Uang hasil panen itu dipegang oleh Maya erat-erat. Ia membeli beras dan persediaan secukupnya. Jika dihitung-hitung, dengan penghematan maksimum mereka dapat bertahan hingga Gilang gajian beberapa hari lagi.

Malam hari setelah mandi dan makan malam, Maya tetap dalam mode diam. Gilang yang ada di ruang tengah sibuk memelototi hp nya dan ketawa-ketawa sendiri.

Gilang yang sadar oleh tingkah Maya awalnya hanya cuek. Tapi lama kelamaan ia sedikit risih melihat Maya yang mondar-mandir dengan bibir mengerucut dan wajah cemberut.

"Kau kenapa? Sakit gigi?" Tanya Gilang dengan nada yang sama sekali tidak merasa bersalah.

Maya menoleh sebentar, lalu berjalan lagi menuju dapur untuk mencuci piring. Cuek.

Gilang mengabaikannya, lanjut menonton video-video tok-tok nya. Tapi semakin lama tingkah Maya semakin membuatnya tidak nyaman. Maya terus saja mondar-mandir kayak anak ayam kehilangan induk. Bibir mengerucut dan wajah yang menyimpan keluh-kesah.

Gilang bangkit dari duduknya, menghampiri Maya di dapur.

"Sebenarnya kau itu punya masalah apa?"

Maya menoleh.

"Abang nggak tahu masalahnya?" Bibir Maya terangkat, tersenyum kecut.

"Uang lagi?" Tebak Gilang.

"Bang, masalahnya bukan cuma uang! Tapi tanggung jawab abang sebagai kepala rumah tangga. Abang lebih memilih mancing daripada mikirin anak istri di rumah. Kami butuh biaya, Sari juga butuh sepatu baru untuk sekolah."

"Bukannya kau sudah panen sawi?"

Maya naik pitam, darahnya mendesir mendengar ucapan Gilang itu. Lelahnya mengurus lahan bahkan belum reda, kini ditambah lagi lelah dengan perkataan suami.

"Panen? Emang abang kira hasil panen itu berapa? Lagian itu uangnya udah habis untuk beli kebutuhan dapur. Seharusnya itu tugas abang!"

"Tugas kau bilang? Aku sudah memberimu uang Maya, kau saja yang nggak tau caranya ngatur duit. Berapapun yang aku kasih pasti tidak akan cukup."

"Abang memang kasih aku duit, tapi itu cuma 1 juta. Kalau abang nggak percaya lagi sama aku, mending abang saja yang belanja, biar abang tahu berapa biaya untuk sekali masak itu!"

" Kau kurang ajar, sudah berani menceramahiku!"

"Terserah, abang memang laki-laki nggak tanggung jawab!"

'Plak'

Lagi dan lagi pipi Maya panas oleh tamparan.

Maya menangis, pipinya memerah.

Selalu saja begitu. Gilang marah, dan berujung tamparan ke pipi.

Gilang keluar dari rumah bersama motornya. Maya duduk di ruang tengah sambil menangis sesenggukan. Ia sudah berusaha diam tadi, tidak mengeluarkan kekesalan hatinya. Tapi ternyata diamnya itu justru membuat Gilang marah padanya.

Maya sadar jika ia terlalu sering mengeluh tentang uang. Tapi kepalanya lelah untuk berpikir, berhemat, bahkan ia juga sudah berusaha bertani mencari tambahan. Padahal itu semua dilakukan oleh Maya karena memang uang yang diberi tidak mungkin cukup. 1 juta yang diberikan 2 minggu lalu bukan cuma untuk belanja, tetapi menutupi kebutuhan sebelum-sebelumnya yang menunggak. Listrik, air, uang sekolah dan sebagainya.

Jadi Maya tidak salah jika ia sering mengeluh kepada suaminya. Apalagi gaji suaminya entah pergi kemana. Ia hanya diberi sedikit, bahkan lebih sedikit dibanding yang diberikan kepada Mirna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!