Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Making Chaos for Saving
Setelah melempar kursi dan botol, Indra menjadi pusat badai di lantai dansa. Para preman dan keamanan klub segera mengepungnya dengan marah.
Indra mulai bermain. Ia menyambut kerumunan preman itu dengan senyum santai di wajahnya, seolah-olah dia sedang berada di arena kendo dan bukan dalam pertarungan hidup-mati.
Ia menghadapi semua preman dengan bela dirinya yang cepat dan efisien—keterampilan yang ia asah saat menjadi detektif lapangan. Dia tidak membuang energi; setiap gerakan adalah parry, jab, dan sweep yang dimaksudkan untuk melumpuhkan tanpa membunuh.
"Aduh! Kalian serius sekali, Tuan-tuan!" teriak Indra, berhasil menghindari pukulan dari tiga preman sekaligus. "Kalian harus belajar menari! Musiknya terlalu lambat untuk uppercut kalian!"
Sambil terus memancing mereka dengan provokasi khasnya, Indra membuat para preman semakin marah dan ceroboh. Ia membiarkan satu pukulan mengenai bahunya hanya untuk mendapatkan celah guna membanting dua preman ke meja DJ, mematikan musik dan menambah tingkat kepanikan di dalam klub.
"Aku bayar mahal untuk malam ini! Mana bouncer yang bisa menyuguhkan tarian yang bagus? Kalian payah!"
Kekacauan di lantai bawah kini mencapai puncaknya, mengalihkan seluruh perhatian keamanan klub dari lantai VIP. Indra telah berhasil menciptakan perisai bagi Akari.
Sementara di lantai dansa Indra memukuli para preman dan keamanan, di lantai atas, Akari bergerak dengan cepat dan senyap.
Akari di ruang VIP memulai perburuannya. Ia membuka pintu satu per satu dengan sangat hati-hati, memastikan ruangan itu kosong atau hanya berisi pelanggan yang mabuk yang mudah diabaikan. Ia tahu bahwa capo akan menyimpan ledger di kantor manajer atau tempat yang aman.
Di salah satu ruangan, ia menemukan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar ledger.
Ia menemukan manajer klub ini—seorang pria bertubuh besar yang sedang panik menelepon keamanan—dan yang lebih parah, ia menemukan para gadis di bawah umur yang direkrut Haruna, beberapa di antaranya tampak takut dan bingung.
Akari segera mengeluarkan katana ayahnya. Ia tidak menyia-nyiakan waktu. Ia mengarahkan pedang dingin itu ke tenggorokan manajer.
"Di mana ledger itu?" tuntut Akari, suaranya sedingin bilah katana.
Manajer itu terlalu takut untuk bergerak.
Setelah mendapatkan lokasi ledger (di balik lukisan di sudut ruangan), Akari memberikan perintah yang tidak terduga.
"Kalian," kata Akari kepada para gadis yang gemetar, "keluar sekarang juga! Jangan pernah kembali ke sini. Cari polisi yang bisa kalian percaya, atau lari saja. Jangan pernah melihat ke belakang!"
Akari menyuruh mereka keluar melalui pintu belakang, memanfaatkan kekacauan yang diciptakan Indra di lantai bawah. Ini bukan hanya tentang balas dendam; ini juga tentang keadilan.
Setelah para gadis pergi, Akari mengambil ledger yang tersembunyi. Ia kini berbalik menghadapi manajer klub itu.
"Ini hanya peringatan dari mereka yang kau tipu. Peringatan untuk Agate," bisik Akari, dan dengan gerakan yang cepat dan terkontrol, ia menebas lengan manajer klub, melukai ototnya secara serius tanpa membunuh.
Akari keluar dari ruangan dengan ledger di tangan, darah menetes di lantai marmer, siap untuk melarikan diri sebelum bala bantuan tiba.
Akari menuruni tangga dari area VIP, jantungnya berdebar kencang, ledger ada di tangannya. Matanya mencari Indra.
Saat menuruni tangga dan kembali ke Indra, ia melihat pemandangan yang mengerikan namun mengesankan di lantai dansa. Indra berdiri di antara para preman yang sudah tergeletak di lantai, beberapa mengerang, beberapa pingsan, semuanya dilumpuhkan dengan gerakan yang bersih dan cepat. Indra sendiri hanya terlihat sedikit berkeringat, kacamata hitamnya masih terpasang rapi.
Akari melihatnya mengerikan—pria santai yang berpura-pura mabuk itu baru saja mengalahkan hampir selusin preman tanpa terlihat terluka.
Tiba-tiba, dari belakang kerumunan yang sudah bubar, seorang preman terakhir yang bangkit berhasil mengambil botol dan berlari ke arah Akari.
Namun, saat itu Indra melemparkan botol kaca yang berhasil ia raih dari atas meja. Lemparan itu sangat presisi. Botol kaca itu mengenai preman di belakang Akari tepat di kepala, membuatnya ambruk seketika.
Akari tersentak, berbalik, dan menyadari bahwa Indra baru saja menyelamatkan punggungnya. Ia segera berlari mendekati Indra, mengabaikan genangan darah di lantai.
"Goto-san! Cepat! Kita harus pergi!" seru Akari, terengah-engah. "Saya dapat ledger-nya! Bagaimana keadaan di sini?"
"Sudah bersih," jawab Indra santai, seperti baru saja selesai membersihkan debu. "Mereka hanya butuh tidur malam. Kau punya apa yang kita butuhkan?"
"Ya!" Akari menunjukkan ledger itu.
"Bagus," kata Indra, meraih tangan Akari dan menariknya. "Ayo. Para capo Agate akan segera memanggil polisi korup mereka. Dan kau tahu, aku tidak mau ditangkap dua kali oleh polisi yang sama."
Begitu mereka berada di jalan raya yang sepi, Indra mengeluarkan ponselnya dan menelpon Araya. Akari mendengarkan dari kursi penumpang.
"Aku sudah pegang targetnya, Ibu negara," kata Indra, suaranya pelan dan formal, tetapi matanya memancarkan senyum geli. "Dia mengirimkan pesan. Item yang kita minta sudah didapatkan. Bersiaplah."
Indra menutup telepon tanpa menunggu jawaban Araya.
Akari yang duduk di sampingnya, mengerutkan kening.
"Siapa yang Anda maksud 'Ibu negara', Goto-san?" tanya Akari, keheranan. Ia ingat betapa mesranya Indra membela 'Ibu negara'-nya. "Apakah itu... kekasih Anda?"
Indra hanya tersenyum samar, tidak menunjukkan emosi di balik kacamata hitamnya.
"Urusan kerja, Akari. Bukan urusanmu," jawab Indra singkat dan padat, menghindari topik sensitif tersebut.
Akari mengangguk, menerima jawaban itu. Ia tahu sopir taksi ini punya banyak rahasia. Ia kemudian mengangkat ledger yang berhasil ia ambil dari manajer klub malam—buku tebal penuh tulisan tangan dan angka.
"Untuk apa ledger ini?" Akari bertanya. "Saya sudah tahu siapa yang harus dicari dan dilukai. Kenapa kita tidak langsung saja ke sana?"
Indra mengurangi kecepatan mobilnya, menyusuri jalanan yang remang-remang.
"Dengar, Akari. Balas dendam itu perlu bukti. Kau bisa membakar rantingnya, tapi ledger ini adalah akar-nya," jelas Indra. "Buku ini berisi semua nama, transfer uang, dan alamat rahasia AgateX. Ini adalah bukti yang diperlukan 'Ibu negara' untuk memastikan petinggi AgateX tidak hanya dipenjara, tetapi diekseskusi di pengadilan. Itu yang kita sepakati."
"Kau hanya perlu berburu, biar aku dan 'Ibu negara' yang memastikan buruanmu mati secara hukum."
Indra memberikan Akari pandangan sekilas di spion, sebuah janji bahwa kerja kerasnya tidak akan sia-sia, dan keadilan akan datang dalam bentuk yang lebih permanen daripada sekadar tebasan katana.
Waktu menunjukkan pukul 23.30. Tengah malam hampir tiba, dan operasi perdagangan organ di gudang gelap akan segera dimulai.
Di sisi lain kota, Akihisa dan Miku tiba di lokasi gudang tua yang mereka identifikasi. Mereka memarkir mobil detektif mereka di jalanan gelap, jauh dari gudang, dan mendekati lokasi dengan berjalan kaki.
Mereka menyelinap di balik tumpukan kotak dan puing-puing, menggunakan teropong malam untuk mengamati sekitar gudang yang remang-remang. Cahaya redup terlihat dari jendela kecil di lantai dua.
"Astaga," bisik Miku, wajahnya pucat. "Pintunya dijaga oleh setidaknya empat preman bersenjata. Dan aku melihat mobil yang sangat familiar—itu mobil Dokter Kevin."
Akihisa mengencangkan cengkeramannya pada pistolnya (meskipun ia hanya berniat menggunakannya untuk menembak ban, sesuai protokol Araya).
"Aku tidak percaya para bajingan ini kejam sampai sejauh ini," geram Akihisa. "Ini bukan sekadar penipuan utang. Mereka lebih kejam dari Araya di hari terburuknya. Mereka membunuh orang demi organ."
Akihisa dan Miku menarik napas dalam-dalam, menyadari betapa jahatnya musuh yang mereka hadapi.
Saat mereka bersiap untuk menyusun strategi penyergapan, Araya berbicara di radio dari markasnya, suaranya terdengar dingin dan tajam.
("Akihisa, Miku. Aku mendengarkan. Kalian harus bertindak sekarang. Tim medis pasti sudah siap di dalam. Prioritaskan keselamatan korban. Kalian harus menangkap Dokter Kevin hidup-hidup. Kami butuh dia.")
Araya tahu persis betapa berbahayanya situasi itu, dan ia tidak mau kehilangan dua anggota tim yang ia sayangi.
("Ingat protokol, jangan bertindak bodoh. Kita melakukan ini untuk keadilan, bukan untuk bunuh diri.")
Mendengar suara Araya memberikan perintah, Akihisa dan Miku mengangguk. Mereka siap bergerak. Sekarang, mereka harus menyusup masuk sebelum tengah malam, menangkap Dokter Kevin, dan yang terpenting, menyelamatkan korban yang mungkin sudah berada di meja operasi.