Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Kudeta Raja Zhao, adik Kaisar.
“Aku adalah Selir Xin,” balas Swan, suaranya tenang namun ada gelombang yang mendidih di bawah permukaannya. Ia membiarkan napas hangat San Long menyentuh bibirnya. Sutra adalah kamuflase yang baik untuk menyembunyikan baja yang sesungguhnya. Kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya terasa ironis sekarang; baja itu terancam terekspos, bukan oleh musuh, melainkan oleh pria yang berpotensi menjadi sekutunya. “Bekas luka kecil tidak pernah berarti apa-apa. Kau mungkin terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting, Yang Mulia.”
San Long mundur hanya satu milimeter, tetapi tekanan matanya tidak mereda. “Seorang selir Istana—bahkan seorang cucu dari Guru Besar Wen—tidak akan membawa bekas luka pedang ke dalam Harem. Apalagi, bekas luka yang didapat saat melawan angin salju, bukan perhiasan.”
Kelemahan Swan yang paling tersembunyi—warisan fisiknya dari tahun-tahun brutal di gunung—kini menjadi senjata San Long. Ia tidak lagi melihat Swan sebagai ancaman kecil yang harus diwaspadai, tetapi sebagai misteri yang harus ia pecahkan untuk bertahan hidup.
“Dan mengapa Yang Mulia, begitu yakin hamba membawa pedang?” tantang Swan, memaksakan senyum menggoda yang dingin. “Mungkin itu hanyalah bekas goresan saat aku memanjat pohon anggur untuk mendapatkan bunga teratai biru paling langka untuk Guru Wen.”
“Palsu.” San Long berbisik tegas, matanya berkelebat tajam, memantulkan cahaya redup. “Aku pernah melihat goresan karena kayu. Ini adalah garis horizontal yang bersih. Garis yang terjadi ketika lawan terlalu lambat, atau ketika seseorang yang terlatih secara militer melakukan manuver pertahanan diri.”
San Long melepaskan sentuhannya dari bekas luka itu, tetapi tatapannya kini memindai seluruh tubuh Swan. Dia membaca tubuhku seperti gulungan peta lama, pikir Swan, sensasi aneh menjalar di kulitnya, perpaduan antara bahaya dan pengakuan yang ia rindukan sejak lama.
“Kau membaca banyak buku di perpustakaan rahasia,” Swan memutuskan untuk mengubah alur. Ia harus mengujinya, harus mengetahui apakah rasa hormat yang ditunjukkan San Long padanya hanya didasari ketertarikan sesaat, atau apakah ia benar-benar sekutu yang bisa diandalkan dalam misi membersihkan nama ayahnya.
“Buku adalah pertahanan terakhir orang yang lemah,” balas San Long.
“Tapi bukankah Jenderal Xin adalah ahli perang sejati yang kau pelajari?” pancing Swan, menyebut nama ayahnya untuk pertama kali dalam dialog pribadi mereka. Ujian dimulai.
Keheningan segera menyelimuti mereka. Suara napas Kaisar yang berat di belakang tirai terasa sangat nyaring. Swan mengamati rahang San Long mengeras; ekspresi kehati-hatiannya mencapai puncaknya.
“Jenderal Xin adalah seorang pengkhianat yang dibantai,” San Long berucap pelan, formal, dan penuh peringatan, menggunakan narasi resmi Istana.
Swan tidak mundur. “Kau adalah putra dari Permaisuri Terdahulu, yang difitnah dengan cara yang sama. Bukankah logika seorang strategis menyuruhmu mencari tahu kaitan kedua tragedi itu? Jenderal Xin difitnah karena mendukung kaisar yang lemah dan karena menolak rencana dari Jenderal Zen dan perdana menteri Su Yang, sama seperti ibumu difitnah setelah ayahnya memimpin pertemuan tertutup itu.”
San Long menggeser kakinya, dan dalam gerakan itu, ketenangan profesionalnya hancur. Ia tahu bahwa Swan memegang kepingan informasi yang hanya diketahui olehnya, Permaisuri Terdahulu, Jenderal Xin, dan Kaisar. Bagaimana bisa seorang ‘Selir Baru’ mengetahui hal itu?
“Aku sudah bilang,” kata San Long, meredam suaranya hingga menjadi geraman rendah yang seksi. “Fitnah itu adalah alat utama kakak-kakakku.”
“Bukan hanya alat kakakmu,” desak Swan, maju satu langkah lagi, menutup jarak yang sempat terbuka. Ia mengulurkan tangannya, dan kali ini, jari-jarinya yang halus (yang menyembunyikan kekuatan pegangan pemanah) menyentuh gulungan peta yang masih dipegang San Long.
“Jika kau tahu mereka semua menggunakan nama ibumu dan nama ayahku—ya, Yang Mulia, ayahku—untuk mendiskreditkanmu dan mendapatkan kekuasaan, lalu mengapa kau masih mengikuti strategi yang kaku, hanya bertindak defensif?”
Aku adalah putrinya, batin Swan. Ia harus menahan pengakuan itu, menyimpannya sebagai senjata nuklir terakhir. Tetapi cukup dengan pengujian yang lebih ringan ini.
San Long tersentak saat mendengar kata 'ayahku'. Kata itu terucap dengan emosi kepemilikan yang jauh melampaui ucapan formal tentang mendiang Jenderal Xin.
Ia menarik napas dalam-dalam. Bola matanya yang hitam kini penuh badai, mempertimbangkan setiap risiko pengungkapan ini.
“Menteri Su Yang sedang memotong pasokan tentara Utara dan menyalurkannya ke tentara perbatasan Selatan,” ujar San Long, tiba-tiba membeberkan informasi yang sangat rahasia. Itu adalah pengakuan yang sama pentingnya dengan deklarasi perang.
“Tujuan Raja Zhao jelas, mereka ingin menciptakan kekacauan logistik sehingga para jenderal lokal tidak bisa memadamkan pemberontakan yang sudah disiapkan Zen,” jawab Swan tanpa ragu, otaknya sudah memproses konsekuensi dari intelijen itu. “Dan Pangeran Kedua mendukungnya melalui manipulasi harga beras.”
San Long mengangguk, kekagumannya tidak lagi tersembunyi. “Tepat. Kau bahkan tidak perlu bertanya. Aku curiga Raja Zhao sedang merencanakan ‘Serangan Tiga Cabang’ yang kuno. Menarik tentara Utara ke Barat dengan isu beras palsu, menyerang Pusat, dan memotong logistik Utara melalui serangan maritim di Timur. Ini adalah taktik kuno, dan sangat jarang digunakan, tetapi Jenderal Xin pernah menuliskannya.”
Swan merasakan tubuhnya menggigil. Taktik 'Serangan Tiga Cabang' yang ia pelajari dari Guru Wen adalah taktik rahasia yang dikembangkan ayahnya selama Kampanye Barat dan tidak pernah digunakan, hanya ada dalam manuskrip pribadinya. Jika San Long tahu ini, ia tidak mungkin mendapatkannya dari Jiang Long atau Zheng Long yang malas belajar strategi lama. Satu-satunya kemungkinan adalah dari Permaisuri Terdahulu atau melalui saluran Bayangan yang sangat terpercaya.
“Taktik itu ada dalam dokumen rahasia,” ucap Swan. Ini bukan pertanyaan, ini adalah tuntutan penjelasan. “Hanya orang yang sangat dekat dengan mendiang Jenderal yang bisa tahu.”
San Long menunduk, mengakui keunggulan strategis Swan, tetapi senyum tipis—bukan senyum sinis yang ia gunakan di awal perkenalan mereka, melainkan senyum puas—terlukis di bibirnya.
“Itu dia ujianmu, Selir Xin. Atau, harus aku panggil kau… Nona Xin?”
Swan terpaku. Dia baru saja melepaskan pengakuannya tanpa sadar, dan San Long telah menunggu saat ini.
“Aku adalah Jenderal—seorang wanita yang bisa memenangkan perang bersamaku, atau menghancurkanku jika ia menginginkannya,” lanjut San Long, suaranya mengandung bahaya dan keputusasaan yang aneh.
“Tugas yang dititipkan oleh ibuku, sebelum beliau wafat—sebelum fitnah menimpa Ayahmu—adalah menjaga Istana. Kaisar terlalu sakit untuk bergerak. Aku tidak punya sekutu yang terpercaya, Selir Xin.”
“Maka temukan sekutumu di tempat lain, Yang Mulia. Aku hanyalah seorang selir.”
San Long tertawa getir. Ia tahu Swan adalah jawaban atas doanya yang paling rahasia. Ia tidak peduli jika wanita di hadapannya ini adalah mata-mata Bayangan, putri musuh, atau Jenderal yang menyamar—ia adalah yang paling pintar dan yang paling tidak korup yang ia temui di seluruh Istana Naga.
San Long bergerak cepat. Ia mengambil lampu minyak kecil di dekat kepala tempat tidur Kaisar dan mengarahkannya ke balik sekat kayu ukir di sudut ruangan. Di balik ukiran kayu itu, tergantung dengan rapi dan tersembunyi, terdapat sebuah bingkai yang ditutup kain sutra lusuh.
Swan menyipitkan mata. San Long dengan hati-hati melepaskan kain penutup sutra itu.
Mata Swan membelalak, trauma delapan tahun silam menyeruak dalam gelombang rasa dingin. Jantungnya berdebar kencang, nyaris menusuk tulang rusuknya. Ia melihat lukisan itu—lukisan minyak tua—lukisan ayahnya, Jenderal Xin, mengenakan baju zirah kekaisaran. Lukisan yang dicuri dari kediaman mereka delapan tahun lalu.
Lukisan itu disembunyikan di sayap pribadi Pangeran Bungsu, yang dicap sebagai pengkhianat.
“Lukisan ini seharusnya sudah dihancurkan oleh Zen dan Su Yang sejak lama,” bisik San Long. Ia memindahkan cahaya lampu agar menyorot jelas wajah tegas Jenderal Xin yang sedang tersenyum, persis seperti yang diingat Swan kecil.
“Aku yang menyimpannya. Aku tidak pernah percaya bahwa dia adalah pengkhianat. Ibu memastikan lukisan ini diselamatkan untuk membersihkan namanya nanti. Aku membiarkan mereka mencapku sebagai pangeran bodoh yang hanya tertarik pada alkohol dan perang untuk menjaga lukisan ini tetap aman. Lukisan yang menyimpan rahasia terbesar kita.”
San Long kembali menatap Swan, cahaya matanya kini penuh harapan yang menyala-nyala.
“Lukisan Jenderal Xin adalah simbol. Simbol dari seluruh fitnah dan korupsi yang menyelimuti Dinasti ini. Kami memiliki dendam yang sama, Selir Xin—entah apa pun identitasmu.”
Ia kembali ke meja dan dengan satu tarikan napas cepat, San Long merobek gulungan peta yang selama ini ia pegang. Di dalamnya, tersembunyi peta militer yang detail, digambar dengan tulisan tangan khas Jenderal Xin.
“Peta ini menunjukkan lokasi jalur pasokan Raja Zhao yang sangat rentan. Kita harus memotong jalur itu dalam waktu kurang dari tujuh puluh dua jam sebelum kudeta pecah. Ini bukan hanya pertarungan Tahta, ini adalah perang Dinasti. Dan Raja Zhao telah menarik pasukan Jenderal Zen ke Utara, mereka menunggu sinyal untuk bergerak.”
San Long melipat peta itu dan mendorongnya ke tangan Swan.
“Bantu aku, Nona Swan Xin,” pinta San Long, tidak ada sedikit pun keangkuhan dalam nada suaranya. “Aku tidak punya pengalaman militer untuk menggerakkan pasukan yang tersisa, tetapi kau…”
Ia berhenti, menarik napas. Wajahnya menunjukkan perjuangan internal yang hebat, antara melepaskan identitas yang ia lindungi selama bertahun-tahun dan meraih kesempatan terakhir untuk keadilan.
“Aku percaya padamu. Aku akan memberikan otoritas kekaisaran kepadamu secara rahasia untuk bertindak di bawah kendali Pasukan Bayangan yang setia pada ayahku. Tapi aku perlu bukti, Nona Xin. Bukti bahwa kau tidak akan mengkhianatiku dan kau benar-benar bersekutu dengan ayahnya.”
“Apa bukti yang kau butuhkan?” tanya Swan, suaranya tercekat oleh pemandangan lukisan ayahnya yang akhirnya ia lihat kembali, dan peta rahasia yang kini ada di tangannya.
“Katakan padaku apa rencanamu,” tuntut San Long. “Katakan padaku apa yang kau sembunyikan di balik sutra ini, Jenderal.”
Swan memegang peta itu erat-erat. Jantungnya kini menjadi dua, satu bagian adalah putri yang merindukan ayahnya, bagian lain adalah (keturunan/ pewaris, darah jendral gagah berani yang difitnah) Jenderal Wanita yang haus darah untuk menumpahkan darah Zen dan Su Yang.
“Baiklah, Yang Mulia,” Swan akhirnya berkata, menerima ujian kepercayaan ini. “Ini adalah malam kebenaran bagi kita berdua. Kau ingin bukti rencanaku?”tanya Swan Xin tegas.
Ia mendekat ke telinga San Long, mengabaikan segala protokol. Keheningan Istana di malam itu terasa begitu mencekam.
“Target pertama dalam rencana pembalasanku selalu Jenderal Zen,” bisik Swan, suaranya setajam belati yang tersembunyi. “Aku telah melacaknya selama tiga bulan. Zen akan pergi ke wilayah Utara untuk bertemu Raja Zhao—
Tiba-tiba, suara derit sepatu kayu di koridor batu yang jauh menghentikan kalimat Swan.
Kedua kepala mereka langsung terangkat. Bukan pelayan, bukan kasim. Langkah kaki itu cepat, teratur, dan yang paling mengerikan—disertai gemerincing baju zirah logam berat.
Baju zirah itu bergerak ke arah sayap Kaisar, dan jumlahnya banyak. Jelas itu bukan pasukan patroli normal.
San Long dan Swan saling menatap, menyadari dengan rasa horor yang membekukan darah: Raja Zhao tidak menunggu tujuh puluh dua jam. Raja Zhao tidak menunggu hingga Kaisar wafat.
Mereka datang malam ini!
San Long meraih pedang dekoratif yang tersembunyi di bawah meja—pedang yang sama sekali tidak tajam. “Itu pasti…”
“Pasukan Jenderal Zen,” Swan menyelesaikan kalimatnya, melemparkan pandangan tajam ke peta di tangannya, menyesal karena mereka menghabiskan waktu dengan emosi dan dialog alih-alih mempersiapkan pertahanan. “Kudeta telah dimulai.”
San Long hendak menyergah, namun pintu ruangan Kaisar tiba-tiba dibanting terbuka, menampakkan sosok Raja Zhao berdiri di sana, dikelilingi oleh pasukan elit berbaju zirah hitam. Senyum jahatnya dingin, membawa janji pembantaian.
“Sungguh kebetulan,” kata Raja Zhao, suaranya berat dan mengancam. “Pangeran Bungsu, kau sedang mendengarkan gosip malam dari selirmu yang cantik. Aku harap ia membisikkan doa terakhir, karena doa itu akan menjadi doa terakhir kalian, untuk selamanya.”
San Long segera mengambil posisi, tangannya yang memegang pedang dekoratif itu gemetar. “Kau melakukan pengkhianatan, Paman!”
“Aku melakukan penyelamatan,” koreksi Raja Zhao. “Menyelamatkan dinasti dari pangeran bodoh dan Kaisar yang tidak kompeten.”
Raja Zhao memberi sinyal. Pasukan Zen maju. Tepat ketika pertempuran akan pecah, San Long merasakan desakan keras dari Swan. Swan telah melemparkan teh obat Kaisar ke wajah salah satu prajurit, menciptakan gangguan sesaat.
“Lari, Yang Mulia! Perintahkan Pasukan Bayangan!” desis Swan, menarik San Long ke pintu belakang dengan kekuatan yang tidak terduga.
Tiba-tiba, ia merasakan lengan baja mengait ke bahunya. San Long yang menariknya.
“Tidak! Kau ikut denganku, Selir Xin! Jangan biarkan dirimu menjadi martir konyol seperti ibuku!” perintah San Long, wajahnya diliputi kengerian absolut.
Tapi Swan melepaskan dirinya. Matanya kini tidak lagi memiliki aura selir; ia adalah Jenderal perang. Ia melemparkan peta itu ke pelukan San Long.
“Aku tahu jalur pelarian rahasia di bawah sini,” perintahnya dengan nada militer yang dingin, menunjukkan celah lantai marmer. “Gunakan! Bawa peta ini dan temui Komandan Lei! Perintahkan semua sisa pasukan Xin untuk mengaktifkan Rencana Beta! Aku akan menahan mereka sebentar—
Prajurit di belakang Raja Zhao menerjang maju, mengacungkan tombak berujung perak. Swan Xin dengan cepat mengeluarkan dua pisau kecil dari manset sutra lengannya, menangkis serangan pertama.
Darah tumpah, dan Istana yang semula hening, kini meledak dengan suara pedang dan teriakan pengkhianatan.
“Apa yang kau lakukan?” teriak San Long, terperanjat melihat Selir Xin bertarung dengan keahlian tempur yang menakutkan, membuktikan setiap kata yang ia katakan tentang bekas luka itu.
Swan melirik sekilas. Tatapannya menembus hati San Long. “Aku adalah putri Jenderal Xin, Yang Mulia! Tugas Hamba adalah melindungi tahta sejati, sebagaimana yang dilakukan ayah saya dulu! Lari!”
Raja Zhao terkejut, melihat keahlian tempur Swan. “Tangkap Selir itu! Dia putri Xin!” teriaknya.
Tepat pada saat San Long terdorong ke belakang dan jatuh ke lubang gorong-gorong yang terbuka, pandangan terakhirnya adalah melihat Selir Xin—sang Jenderal—terkepung, melawan pasukan elit dengan pedang, sementara api pertumpahan darah mulai melahap Sayap Naga Giok.
Kudeta telah dimulai, dan Jenderal Swan Xin, yang cantik, gagah, berani, dan mempesona, kini berjuang sendiri, mengorbankan diri untuk tahta yang dijaganya.
trmkash thor good job👍❤