"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Beratnya Keinginan
Lift naik dalam diam, memantulkan bayangan Molly yang berbeda di dinding cermin—rambutnya diikat asal-asalan, ekspresinya bingung, dan matanya… ah, matanya. Masih ada sesuatu di sana, sesuatu yang mengkhianati apa yang tidak bisa diketahui siapa pun.
Sepanjang jalan menuju kantor, dia mengulangi dalam hati kalimat yang sama: "Itu hanya satu malam. Hanya satu malam." Tetapi jauh di lubuk hati, dia tahu bahwa dia berbohong pada dirinya sendiri.
Saat memasuki perusahaan, suara keyboard dan percakapan yang teredam membuatnya kembali ke kenyataan. Dia menyapa rekan-rekannya, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba tersenyum, seolah tidak ada yang berubah. Hanya saja, semuanya telah berubah.
Setiap sudut gedung itu tampaknya memiliki nama Briana Anderson yang terukir—di dinding kaca, di layar, dalam suara-suara yang membisikkan kekuasaannya. Dan sekarang, Molly memikul beban mengetahui bagaimana rasanya melihat wanita itu tanpa baju besi.
Ketika Briana memasuki ruang rapat, seluruh suasana berubah. Suara hak tingginya yang mengenai lantai membuat mata secara otomatis menoleh padanya. Percaya diri, elegan, berkuasa. Briana yang sama seperti biasanya—tetapi bagi Molly, setiap langkah membawa kenangan malam sebelumnya, sentuhan yang sekarang tampaknya mustahil untuk dilupakan.
"Nona Welstton," kata Briana, dengan nada formal, saat melewati dirinya. "Bawakan saya laporan ekspansi pada akhir sore, tolong."
Jantung Molly berdebar kencang mendengar suara nama keluarga itu. Formalitas itu terdengar seperti tembok yang tiba-tiba didirikan di antara mereka. Tetapi pada saat yang sama, ketika Briana menoleh ke samping, tatapan cepat yang dia tukarkan dengannya mengatakan yang sebaliknya: "Aku tidak lupa."
Sepanjang hari, Molly berusaha keras untuk tetap fokus, tetapi ingatan tentang Briana tampaknya meresap ke udara. Dan lebih buruk lagi—rekan-rekannya mulai memperhatikan sesuatu yang berbeda.
"Bos sedang dalam suasana hati yang baik hari ini, ya?" komentar Lara, salah satu sekretaris, tersenyum licik. "Apakah dewan menyetujui proyek baru?"
Molly memaksakan tawa, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. "Mungkin itu…"
Tetapi bukan itu. Briana sedang dalam suasana hati yang baik karena satu-satunya alasan: Molly.
Dari kantor berkaca, miliarder itu diam-diam mengamati wanita muda itu di antara tumpukan kertas. Cara dia menggigit tutup pulpen saat berkonsentrasi, cara dia tersipu ketika menyadari tatapannya… semuanya adalah provokasi diam-diam.
Pada awal sore, Briana memanggil Molly untuk meninjau beberapa dokumen di ruangannya. Pintu tertutup dengan lembut di belakang mereka berdua, dan suara kota yang teredam menjadi jauh.
"Silakan duduk," kata Briana, tanpa mengangkat pandangannya dari komputer.
Molly menurut, tetapi tangannya gemetar. Suasana terasa lebih kecil dari sebelumnya.
Setelah beberapa menit keheningan yang tegang, Briana akhirnya mengangkat pandangannya. "Kamu menghindari menatapku, Molly?"
"Aku… hanya berusaha berkonsentrasi pada pekerjaan," jawabnya, gagap.
Briana bangkit, mengitari meja, dan berhenti di sampingnya. "Pekerjaan…" ulangnya dengan nada rendah, mencondongkan tubuh hingga wajah mereka berada sangat dekat. "Dan apakah itu yang terjadi tadi malam? Pekerjaan?"
Molly merasakan seluruh tubuhnya bergetar. "Briana, bukan di sini…"
Briana tersenyum miring, mendekat sedikit lagi. "Tenang. Aku tidak akan menyentuhmu. Tapi aku ingin kamu memahami sesuatu…" Nada suaranya menjadi lebih berat. "Aku tidak suka berpura-pura. Kemarin bukan kesalahan, dan aku tidak ingin bertindak seolah-olah itu adalah kesalahan."
Molly menatapnya, tidak bisa mengatakan apa pun. Ada terlalu banyak ketulusan di mata wanita itu. Dan juga sesuatu yang lain—sesuatu yang posesif, intens, yang membuatnya takut dan menarik pada saat yang sama.
"Orang-orang akan menyadarinya," bisik Molly, khawatir. "Dan aku tidak ingin mereka berpikir bahwa aku mendapatkan magang ini karena… alasan lain."
Briana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dorongannya. "Tidak ada yang akan tidak menghormatimu, mengerti?" Suaranya menjadi tegas, hampir dingin. "Jika ada yang berani mengatakan sesuatu, aku sendiri yang akan mengurusnya."
Nada protektif dan dominan itu membuat jantung Molly berdebar kencang. Dia tahu bahwa Briana memang seperti itu—intens, pengendali, protektif—tetapi sekarang dia merasakannya dengan cara yang berbeda. Seolah-olah, entah bagaimana, dia adalah "miliknya".
"Aku tidak ingin menyebabkan masalah untukmu," kata Molly, pelan.
"Kamu bukan masalah, Molly," jawab Briana, menjauh perlahan. "Kamu adalah pengecualian."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan manis.
Ketika Molly keluar dari ruangan, napasnya masih tidak teratur. Dia bersandar di dinding lorong, mencoba menenangkan diri. Dunia tampak berputar lebih cepat sejak Briana memasuki hidupnya.
Tetapi Briana, dari dalam, mengamati melalui kaca, matanya menggelap karena sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan—itu adalah awal dari obsesi diam-diam.
Dan jauh di lubuk hati, dia tahu: dia tidak bersedia membagi Molly dengan siapa pun.