ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Kelopak mata Adelia perlahan terangkat, seolah tubuhnya baru kembali dari tidur yang berat. Ia berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya sore yang lembut menembus sela-sela dedaunan.
Pandangan itu kemudian singgah padaku—yang masih duduk bersandar santai di batang pohon besar—dan sekelilingnya.
“…Pukul berapa sekarang?” gumam Adelia dengan suara serak, setengah mengantuk.
“Pukul lima,” jawabku. “Kau tidur lumayan lama.”
Adelia mengangkat tubuhnya perlahan, meregangkan bahu yang kaku. “Apa kau… di sana dari tadi?”
Aku hanya tersenyum kecil dan bangkit berdiri sambil menepuk celana. “Ayo pulang. Kau sudah bisa jalan sendiri, kan?”
“Tentu saja,” jawab Adelia, meski gerakannya saat berdiri menunjukkan bahwa tenaga itu belum sepenuhnya kembali.
Kami mulai berjalan beriringan menyusuri jalan setapak taman. Cahaya sore merembes di antara dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak lembut setiap kali angin berhembus. Udara membawa aroma tanah dan rumput basah, menambah kesan tenang pada langkah kami.
Sepuluh menit berlalu tanpa percakapan. Hanya suara langkah kami yang terdengar, bersahut dengan deru kendaraan yang lewat dari kejauhan.
Suasana itu… canggung.
Tidak ada yang mencoba membuka suara, seolah kami berdua menunggu yang lain memulai. Di atas sana, warna langit perlahan berubah, menandai sore yang hampir berakhir.
Tanpa peringatan, Adelia tiba-tiba membuka suara.
“Apa kau tinggal sendiri?” tanyanya, terdengar seperti pertanyaan acak yang sengaja ia lemparkan hanya untuk memecah keheningan yang menempel terlalu lama di antara kami.
“Iya,” jawabku santai, tanpa menoleh. “Kalau kau?”
“Aku tinggal dengan ayahku,” ujarnya. Nada suaranya berubah lembut, hangat—jauh berbeda dari sebelumnya. “Dia memang sibuk… sering pulang larut malam. Tapi, dia selalu berusaha meluangkan waktu buatku walaupun cuma sebentar.”
Ada senyum kecil di wajahnya—tipis, tapi tulus. Senyum yang terlihat jelas berasal dari seseorang yang benar-benar menyayangi ayahnya.
“Dia ayah yang baik, ya,” kataku.
Adelia mengangguk mantap. “Iya.”
Kami melanjutkan langkah kami, beriringan menyusuri trotoar yang diterpa angin sore. Sesekali kendaraan melintas, meninggalkan bayangan panjang yang bergerak bersama matahari yang makin condong ke barat. Suasananya damai; seperti dunia sengaja diredam untuk memberi ruang agar percakapan ini terasa lebih berarti.
Setelah beberapa detik hening, Adelia kembali berbicara—kali ini lebih pelan, seperti takut salah.
“Kalau kau… kenapa tinggal sendiri?”
Aku menarik nafas pelan. Tidak berat, hanya… tidak sering membahasnya.
“Karena aku tidak punya siapa-siapa lagi.”
Langkah Adelia terhenti seketika.
“Eh…?” Ia memandangku dengan mata membesar, jelas terkejut. Kemudian dengan cepat menunduk, suaranya bergetar kecil. “Ma-Maaf…”
Aku berhenti dan menoleh kepadanya, tersenyum menenangkan. “Tidak perlu minta maaf. Awalnya memang berat kehilangan keluarga… tapi sekarang? Aku sudah baik-baik saja.”
Angin sore berhembus lembut, menggerakkan ujung rambut Adelia yang masih sedikit kusut karena tertidur. Ekspresinya melembut, rasa canggung berubah menjadi sesuatu yang lebih… peduli.
Aku menepuk bahunya pelan sebelum kembali berjalan.
“Ayo. Sebelum matahari benar-benar tenggelam.”
Adelia hanya mengangguk kecil dan menyusulku. Langkahnya lebih pelan, seperti sedang memikirkan banyak hal yang tidak ia ucapkan. Keheningan kembali hadir, namun berbeda dengan sebelumnya—lebih hangat, lebih nyaman. Seolah kami mulai memahami satu sama lain tanpa perlu bicara lebih banyak.
Sampai akhirnya, kami tiba di depan rumah Adelia.
“Terima kasih untuk hari ini,” ucapku sambil tersenyum tipis. Suaraku terdengar lebih lembut dari biasanya—mungkin karena suasana sore yang tenang, atau mungkin karena seseorang yang sedang berdiri di depanku. “Sampai jumpa besok.”
Aku berbalik, hendak melangkah pergi.
Namun—
“…Arya.”
Langkahku otomatis terhenti. Aku menoleh perlahan.
Adelia berdiri di depan pintu rumahnya, cahaya jingga senja memantul di rambutnya yang sedikit berantakan setelah tidur siang panjang. Ekspresinya ragu—bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin bicara namun lidahnya menolak bekerja.
“M-ma…”
Kata itu keluar setengah, menggantung di udara. Adelia mengerjap, lalu menutup mulutnya lagi, pipinya memerah samar.
Ia menarik napas kecil, dadanya naik turun tipis—dan kali ini, dia mencoba lagi.
“…Kapan-kapan,” ucapnya perlahan, “apa kau mau berburu kutukan lagi denganku?”
Satu detik hening.
Lalu ekspresinya langsung berubah total—dari gugup menjadi percaya diri, seperti seseorang yang memutuskan untuk menyembunyikan rasa malunya di balik candaan.
“Soalnya…”
Ia menaruh satu tangan di dadanya dan memiringkan tubuh sedikit, gaya centil yang jelas-jelas dibuat-buat, tapi… cocok dengannya.
“…kau bisa menggendong gadis cantik sepertiku lagi kalau aku kehabisan energi setelah bertarung.”
Adelia menyeringai kecil. “Dan jangan lupa belikan aku minuman dingin juga.”
Aku menghela nafas sambil tertawa pelan, tidak bisa menahan diri. “Dasar…”
Gemas, malu, tapi juga… menggemaskan. Itulah Adelia.
Aku menggeleng kecil, menatapnya dengan senyum yang tak bisa kutahan, lalu menjawab dengan nada mengejek ringan,
“Akan kulakukan itu… kalau kau bisa melindungiku nanti.”
Adelia mendengus kecil, tapi matanya berbinar. Ada campuran geli, puas, dan sesuatu yang hangat di sana—sesuatu yang membuatku sulit memalingkan pandangan.
Kami sempat terdiam beberapa detik, hanya saling menatap.
Walau tak ada kata yang diucapkan, rasanya seperti percakapan panjang sedang terjadi di dalam bisu itu.
Akhirnya aku mengangkat tangan dan melambai. “Sampai besok.”
Aku berbalik dan mulai berjalan, suara langkahku menyatu dengan suara angin sore.
Di balikku, Adelia tetap berdiri tanpa bergerak sedikitpun. Aku sempat menoleh sekali lagi ketika sudah hampir di tikungan, dan melihatnya masih berdiri di tempat yang sama—menatapku seakan memastikan aku benar-benar pergi dalam keadaan baik-baik saja.
Baru ketika aku lenyap dari pandangannya, aku mendengar pelan pintu rumahnya terbuka.
Entah kenapa, dada ini terasa hangat.
Ringan.
Nyaman.
Seolah… pulang tidak lagi terasa seperti pergi sendirian.