Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reason'2020
Di ruang tamu rumah keluarga mereka, sinar matahari sore menembus jendela kaca, menciptakan pola cahaya keemasan di atas karpet beludru. Shiera, yang saat itu masih remaja, duduk di antara kedua orang tuanya di sofa panjang, suasana di sana sangat harmonis dan nyaman.
Ayah Shiera, seorang pensiunan perwira militer Kerajaan, sedang membaca berita lama di tablet proyektor. Ibunya, seorang guru sihir dasar, sibuk merajut syal dengan benang yang berkilauan energi.
"Ayah, apa benar sihir penyembuhan lebih sulit dikuasai daripada sihir pertempuran?" tanya Shiera, menyandarkan kepala di bahu ayahnya.
Ayah Shiera meletakkan tablet-nya dan tertawa kecil. "Tentu saja, Katanaku yang kecil. Menghancurkan itu mudah, membuat sesuatu utuh kembali itu yang sulit. Tapi sihir Kendo milikmu juga membutuhkan disiplin yang luar biasa." Ia mengacak rambut perak Shiera dengan penuh kasih sayang.
Ibu Shiera, tanpa melihat, menyahut dengan nada lembut. "Lihat, Ayahmu setuju. Kau punya bakat untuk membuat segala sesuatu terlihat mudah, Shiera. Tapi jangan pernah lupakan kelembutan. Pedang yang terlalu keras mudah patah."
"Aku ingat, Ibu," jawab Shiera, tersenyum. "Pedang harus fleksibel seperti air. Itu yang selalu kau ajarkan."
Tiba-tiba, Ayah Shiera mencolek hidung putrinya. "Bagaimana dengan Pangeran Indra? Apakah dia se-'dingin' yang orang katakan di Akademi? Atau dia hanya pemalu?"
Shiera seketika merona. "Ayah! Jangan tanya hal seperti itu! Dia... dia hanya sangat fokus pada latihannya. Dia hebat, dan sangat serius."
Ibu Shiera terkekeh. "Ayahmu hanya menggodamu. Tapi ingat, setiap orang memiliki sisi hangat di dalamnya. Sama seperti kita di sini." Ibu Shiera merangkul Shiera dan suaminya, menyatukan mereka dalam pelukan hangat.
Ruangan itu dipenuhi dengan tawa dan kasih sayang yang melimpah, sebuah kapsul waktu yang indah dari kedamaian sebelum badai.
.
.
.
.
Malam merangkak naik, dan keheningan di rumah keluarga Shiera terasa damai. Ayah Shiera kembali menatap layar tablet-nya, sementara ibunya menyelesaikan rajutan syal yang berkilauan.
"Kau tahu, Nak," ujar Ayah Shiera, suaranya tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Aku berharap kau tidak terlalu keras pada dirimu sendiri di Akademi. Kau selalu ingin menjadi yang terbaik, itu bagus. Tapi jangan biarkan ambisi mengalahkan kebahagiaanmu."
Shiera, yang sedang memeluk bantal sofa, mengangguk. "Aku mengerti, Ayah. Tapi ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Kita tidak bisa santai, terutama setelah apa yang terjadi di perbatasan."
Ibu Shiera mengulurkan syal rajutan itu kepada putrinya. "Pakai ini, Sayang. Ini adalah Syal Penenang. Aku menanamkan sedikit energi sihirku di dalamnya. Setiap kali kau merasa tertekan, pakai ini. Ingatlah kehangatan di rumah."
Shiera menerima syal itu. Rasanya hangat, dan energi yang mengalir dari rajutan itu terasa lembut dan menenangkan. "Terima kasih, Ibu. Aku akan selalu membawanya."
"Kami sangat bangga padamu, Shiera," kata Ayah Shiera, kini meletakkan tablet dan menatap putrinya dengan tatapan penuh kebanggaan. "Kau adalah masa depan Kerajaan kita. Tapi ingat, di setiap pedang yang tajam, harus ada sarung yang melindungi. Kelembutan dan cinta adalah sarungmu."
"Aku akan selalu ingat, Ayah," jawab Shiera, memeluk erat kedua orang tuanya. Ia memejamkan mata, membiarkan keharmonisan dan kasih sayang itu meresap ke dalam dirinya, mengukir momen itu sebagai fondasi kuat dalam ingatannya.
.
.
.
Tidak lama setelah malam-malam penuh tawa dan kehangatan itu, tragedi besar melanda. Kota yang damai tiba-tiba berubah menjadi medan perang.
Ketika kehancuran kota terjadi, suara ledakan mengguncang setiap fondasi, dan jeritan kepanikan mengisi udara. Shiera, dengan katana yang baru dipegangnya, langsung bergegas keluar. Fokusnya hanya satu: pulang.
Shiera berlarian mencari ibu dan ayahnya dalam kekacauan yang melanda. Bangunan-bangunan modern runtuh menjadi puing, asap membubung tebal, dan sisa-sisa iblis kecil masih berkeliaran. Shiera menggunakan kecepatan dan sihir Kendo untuk menghindari reruntuhan yang jatuh dan menyingkirkan demon yang menghalangi jalannya.
"Ayah! Ibu!" teriak Shiera, suaranya tercekat oleh asap dan ketakutan yang mencekik. "Tolong jawab aku!"
Ia tiba di lokasi rumahnya. Yang tersisa hanyalah tumpukan beton dan kayu yang hancur. Dengan putus asa, Shiera mulai menggali puing-puing itu dengan tangan kosong, mengabaikan luka yang mulai muncul di telapak tangannya.
"Tidak mungkin... mereka pasti ada di sini! Mereka pasti baik-baik saja!" bisik Shiera, air mata bercampur debu di wajahnya.
Setelah menggali dengan panik selama beberapa menit, tiba-tiba tangannya menyentuh kain yang familiar. Itu adalah rajutan ibunya. Jantung Shiera seolah berhenti berdetak.
Namun Shiera menemukan Ayah dan Ibunya sudah tertimbun bebatuan bangunan. Mereka berada di bawah reruntuhan yang paling besar, tubuh mereka melindungi satu sama lain, namun keduanya sudah tak bergerak.
Shiera menjatuhkan diri ke tanah, memeluk syal yang kini ia sadari telah dipakai ibunya saat kejadian. Ia berteriak, suaranya pecah dipenuhi duka yang tak terbayangkan.
"Kenapa?! Kenapa kalian meninggalkan aku?!" raung Shiera. Ia menyentuh tangan ayahnya yang dingin. "Kau bilang kelembutan adalah sarungku! Sekarang siapa yang akan melindungiku, Ayah?!"
Shiera menoleh ke ibunya, air matanya jatuh di pipi ibunya. "Ibu! Kau bilang aku harus kuat! Bagaimana aku bisa kuat tanpa kalian?! Aku... aku berjanji akan membalas semua ini. Aku akan melindungi apa pun yang tersisa."
Dalam duka dan kehancuran itu, sumpah seorang pejuang baru lahir, dipicu oleh kehilangan yang mendalam.
.
.
.
.
.
Di tengah reruntuhan yang memilukan, mata Shiera menangkap sesuatu yang masih utuh. Itu adalah bingkisan kecil yang terbungkus kain bersih, tergeletak tak jauh dari tumpukan puing. Shiera melihat bingkisan yang dibawa ibunya yang adalah kue kesukaannya, kue sakura mochi yang selalu dibeli ibunya sepulang mengajar. Bingkisan itu seharusnya menjadi kejutan manis untuknya malam itu.
Melihat bingkisan itu, semua kekuatan Shiera seolah sirna. Ia tak lagi memikirkan perlawanan, hanya rasa sakit yang menusuk. Shiera menangis, air mata panas bercampur dengan debu di wajahnya, tangisannya kini pelan dan tanpa suara.
Ia berlutut dihadapan kedua orang tuanya yang sudah meninggal tertimbun bangunan. Shiera mengambil bingkisan itu, memeluknya erat. "Ibu... Ayah... Aku..." Ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kehilangan itu terlalu besar, sumpah balas dendamnya kini terasa hampa.
Saat itu, di belakang Shiera ada iblis yang akan menyerangnya. Itu adalah demon kecil bersayap yang lolos dari pertempuran, tertarik oleh energi keputusasaan yang dipancarkan Shiera. Demon itu mengayunkan cakar tajamnya, siap untuk mengakhiri hidup Shiera yang kini tak berdaya.
Shiera terlihat sudah pasrah. Ia tidak bergerak. Ia tidak mengaktifkan sihir. Ia hanya memeluk bingkisan kue itu, menanti akhir yang ia rasa pantas untuknya karena gagal melindungi kedua orang tuanya.
"Tidak apa-apa," bisik Shiera, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang, Ayah, Ibu..."
Tepat sebelum cakar iblis itu menyentuh punggungnya, seberkas cahaya biru terang menyambar.
Sring!
Seketika, demon itu membeku dan hancur menjadi debu es.
.
.
.
.
.
.
Kilatan es yang menyelamatkan Shiera menghilang secepat ia muncul. Shiera memandang pria yang ada di hadapannya-sosok tinggi berambut perak yang familier, mengenakan seragam tempur yang dingin. Itu adalah Royal Indra Aragoto, yang saat itu masih berjuang di tengah kekacauan.
Indra tidak menoleh. Ia tetap membelakangi Shiera, mengawasi sisa-sisa reruntuhan dan ancaman iblis yang tersisa.
"Aku tidak tahu siapa kau," ujar Indra, suaranya sedingin bilah es, tanpa emosi. "Tapi kau harus tetap hidup."
Indra tidak menunggu jawaban. Ia berbalik dan segera menghilang, menuju pertempuran lain yang menunggunya. Shiera hanya bisa terdiam, kata-kata itu menusuknya, memaksanya untuk kembali dari keputusasaan.
Tiba-tiba, ia merasakan kehangatan yang lembut dan aroma bunga yang menenangkan. Shiera kemudian dipeluk oleh wanita berambut emas-Evelia Namida, yang saat itu bekerja sebagai petugas penyelamat dan penyembuh.
"Sstt... semuanya baik-baik saja," bisik Evelia dengan suara lembutnya yang menenangkan. Energi Kitsune Evelia mengalir, menenangkan energi spiritual Shiera yang kacau balau. "Kau aman sekarang. Aku akan membawamu ke tempat yang aman."
Shiera, yang kini merasa ada fondasi baru di tengah kehancuran, segera memendamkan wajahnya dipelukan sang wanita. Ia menangis, melepaskan semua duka dan ketakutan yang ia tahan.
"Aku... Aku gagal," isak Shiera. "Aku tidak bisa melindungi mereka... Aku tidak berguna..."
Evelia memeluknya lebih erat. "Tidak, kau tidak gagal. Kau selamat. Dan selama kau selamat, kau masih bisa melindungi ingatan mereka. Mari, kita harus pergi dari sini."
Pelukan Evelia, ditambah perintah dingin Indra untuk bertahan hidup, menanamkan benih tekad baru dalam diri Shiera. Meskipun duka tetap ada, ia kini tahu, ia harus hidup untuk sesuatu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kembali ke masa kini setelah beberapa tahun yang lalu dengan ingatan masa lalu yang pahit dan pertemuan singkat yang menentukan dengan Royal Indra dan Evelia Namida itu, Shiera membuka matanya.
Ia tidak berada di Akademi. Dengan pakaian kasualnya-jaket denim, hoodie biru tua, dan celana kargo hitam-ia duduk di salah satu tiang pemancar tertinggi di pinggiran kota, tempat yang memberinya pandangan luas ke seluruh Sakura Flurry.
Kini sudah tabun 2020, terasa sangat damai.
Di tangannya, terdapat sebuah kotak kecil. Ia duduk menikmati kue kesukaannya, sakura mochi yang ia beli dari toko kelontong. Setiap gigitan adalah pengingat akan masa lalu yang damai dan janji untuk melindungi masa kini.
Ia merenungkan sesuatu. Kekuatan dan tekad yang ia miliki tidak sia-sia. Ia adalah seorang Guardian, meski bukan dari garis keturunan Royal.
"Indra-sensei memintaku untuk tetap hidup," bisik Shiera, memandang ke kejauhan. "Evelia-sensei memberiku kehangatan. Semua ini... bukan hanya tentang membalas dendam."
Shiera memejamkan mata, menguatkan tekadnya. "Jika suatu hari Amon yang dimaksud Sensei Indra, Evelia, Akihisa, Miku, Kizana, dan Nina akan kembali, aku akan membantu sebisa mungkin."
Ia tahu perannya: ia adalah mata-mata tak terlihat di Akademi, pelindung di balik bayangan. Ia akan menjadi sarung pedang yang kuat bagi para gurunya.
"Aku akan mengawasi Tuan Lucius itu," gumam Shiera, matanya kembali menajam. "Dan aku akan melindungi semua orang ini. Aku tidak akan membiarkan kebahancuran yang sama terjadi lagi."
Ia menyelesaikan gigitan terakhir kue sakura mochi-nya, merasakan manis dan pahitnya tekad. Perjalanannya sebagai Guardian rahasia baru saja dimulai.
.
.
.
.
Setelah tekadnya terpatri, Shiera membiarkan dirinya menikmati momen pribadi yang langka itu. Ia menggigit kue sakura mochi itu lagi.
Kali ini, Shiera mengeluarkan sisi imutnya. "Mmmph... Deli-ciouz!" gumamnya, dengan suara kecil dan menggemaskan. Ia memejamkan mata, menikmati manis dan lembutnya kue itu, sejenak melupakan peran Guardian-nya yang kaku. Kue kesukaan ibunya ini selalu berhasil membuatnya kembali menjadi dirinya yang lebih muda. Ia menikmati kue sakura mochi tersebut dengan suara imut.
Sambil mengunyah, ia berpikir mungkin ia akan membeli lebih banyak lagi di toko kelontong nanti saat perjalanan pulang.
"Satu saja tidak cukup. Aku butuh stok darurat untuk malam saat aku harus berjaga," pikir Shiera, merapikan bungkus kuenya.
Saat itu, Liini menghubunginya melalui Earpiece yang ia pakai.
"Shiera-chan? Kau di mana?" terdengar suara Liini, ceria dan penuh energi, melalui earpiece kecil.
Shiera segera menyentuh earpiece-nya. "Aku di luar. Baru saja menyelesaikan pengawasan rutin."
"Bagus! Aku mau pergi ke Mall di Distrik Timur," kata Liini. "Apakah Shiera mau ikut? Kita bisa melihat baju-baju musim dingin baru, dan mungkin mencari hadiah pernikahan untuk Kizana-sensei dan Nina-sensei.
Shiera tidak perlu berpikir dua kali. Sedikit bersantai dengan Liini akan membantu menjaga penyamarannya sebagai murid normal. "Tentu," jawab Shiera. Mendengar itu, Shiera mengiyakannya dan akan segera menemui Liini.
"Aku akan segera menemuimu di stasiun Monorail di Gerbang Selatan. Beri aku waktu sepuluh menit untuk turun dari menara ini. Jangan pergi tanpaku, Liini-san!"
"Siap, Shiera-chan! Sampai jumpa!" jawab Liini, mengakhiri panggilan.
Shiera tersenyum. Tugas sudah selesai. Sekarang waktunya bersenang-senang, dan membeli stock kue kesukaannya. Ia bangkit, memasukkan tangannya ke saku jaket, dan bersiap untuk turun.
.
.
.
.
Shiera tidak menggunakan lift atau tangga. Begitu panggilan selesai, ia segera menuju sisi tiang dan meluncur. Dengan keterampilan dan kelincahan yang diasahnya dari latihan Kendo dan pengawasan rahasia, Shiera meluncur melalui tiang yang menurun. Ia sudah terbiasa melakukan ini karena salah satu hobinya melakukan parkour di tempat-tempat yang tinggi dan tersembunyi.
Ia tiba sepuluh menit pas di Stasiun Monorail, tempat Liini sudah menunggu.
"Tepat waktu! Aku tahu kau cepat, tapi ini luar biasa, Shiera-chan!" Liini memuji Shiera dengan senyum lebar.
Shiera hanya mengibas tangannya. "Aku selalu menepati janji. Jadi, kita mau membeli hadiah untuk siapa dulu? Kizana-sensei dan Nina-sensei, kan?"
Liini mengangguk, lalu wajahnya berubah antusias. "Aku lupa mengatakan jika Akihisa-sensei dan Miku-sensei juga menikah di hari yang sama dan tempatnya sama! Itu akan menjadi pesta ganda!"
Shiera sedikit terkejut, namun ia segera menganalisis informasi itu. "Mereka akan menikah bersamaan? Itu masuk akal. Lebih efisien dan aman. Menarik." Shiera mengerti dan menyimpulkan jika pernikahannya bersamaan.
"Betul! Mereka ingin membuat perayaan pemulihan Kerajaan yang besar," kata Liini. "Aku senang! Jadi kita harus membeli hadiah empat kali lipat!"
Liini mengangguk lalu menggandeng tangan Shiera dengan erat. "Ayo, Shiera-chan! Kita tidak boleh ketinggalan Monorail! Aku ingin kita bisa memilih hadiah terbaik di Mall sebelum ramai!"
"Baiklah, baiklah," jawab Shiera, membiarkan dirinya ditarik oleh energi Liini. Di samping Liini, ia bisa melupakan sejenak kecurigaannya terhadap Tuan Lucius dan menikmati kebahagiaan yang melingkupi Sakura Flurry. Mereka berdua segera berangkat menuju Monorail, menuju pusat perbelanjaan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Petualangan belanja Shiera dan Liini di Mall berjalan sukses. Setelah memilah dan memilih hadiah yang sesuai untuk empat pasangan guru mereka-sesuatu yang praktis untuk Nina dan Kizana, serta sesuatu yang artistik untuk Akihisa dan Miku-mereka juga menemukan gaun yang sempurna. Shiera memilih gaun panjang berwarna ice-blue yang elegan, sementara Liini memilih gaun chiffon berwarna sakura muda. Mereka berdua siap untuk menyaksikan perayaan ganda yang megah.
Keesokan harinya, mereka pergi ke tempat pernikahan-alun-alun Kerajaan yang kini menjadi jantung kebahagiaan. Disana sangat meriah. Alun-alun dihiasi dengan karangan bunga dan banner perayaan, dan aroma manis bunga-bunga memenuhi udara. Kerumunan tamu, terdiri dari staf Akademi, keluarga Royal, dan para veteran perang, memancarkan aura kegembiraan yang menular.
Di tengah keramaian itu, Indra dan Evelia juga ada. Mereka berdua berdiri menyambut tamu, Indra tampak sedikit lebih santai dibandingkan di pernikahan mereka sendiri, dan Evelia memancarkan kehangatan seorang ratu. Kehadiran mereka menambahkan legitimasi dan kegembiraan pada upacara ganda yang akan datang.
.
.
.
.
.
.
Pernikahan berjalan dengan lancar dan harmonis. Kizana dan Nina, lalu Akihisa dan Miku, mengucapkan janji suci mereka di bawah Arch of Rebirth yang sama.
Nina, dengan air mata bahagia, menerima janji dari Kizana yang kaku namun tulus.
Sementara itu, Akihisa dan Miku bertukar sumpah dengan tawa dan janji akan petualangan abadi.
Kebahagiaan terasa nyata, menjadi perisai tak terlihat yang melindungi seluruh Kerajaan dari memori kelam dan ancaman yang mengintai. Para pahlawan Sakura Flurry telah berhasil, setidaknya untuk saat ini, menulis babak baru yang penuh cinta.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di saat alun-alun Kerajaan Sakura Flurry dipenuhi tawa dan janji abadi, perhatian teralih ke tempat yang jauh dan sunyi.
Di sisi lain, di suatu tebing yang jauh, yang menghadap langsung ke kota yang bercahaya, seorang pria berdiri memandang Sakura Flurry. Siluetnya diselimuti jubah hitam panjang, dan di belakangnya, bulan purnama bersinar dingin. Pria itu memancarkan aura kegelapan yang tenang, kontras dengan gemerlap kota di bawahnya.
Tak lama, Lucius, guru tamu berambut putih dari Akademi, tiba di belakang pria tersebut. Lucius tidak lagi mengenakan pakaian formal serba putihnya; ia kini berpakaian serba hitam dan terlihat sangat serius.
Dengan gerakan penuh hormat, Lucius berlutut memanggil pria tersebut dengan sebutan Tuan.
"Tuan," ujar Lucius, suaranya yang halus kini terdengar dingin dan patuh. "Saya telah mengamati mereka. Mereka larut dalam kegembiraan dan telah mengikat perjanjian. Pertahanan mereka rapuh, terutama emosional."
Pria berjubah hitam itu tidak menoleh. "Dan status Kerajaanku, Lucius?"
"Mereka masih fokus pada pemulihan, Tuan," jawab Lucius. "Semua pahlawan terbaik mereka, Guardian dan Kitsune itu, sedang sibuk membangun rumah tangga mereka."
Lucius memberikan informasi jika pasukannya akan siap dalam beberapa bulan lagi. "Semua persiapan telah selesai. Pasukan kita akan siap dalam dua bulan, tepat saat mereka lengah sepenuhnya setelah euforia pernikahan berakhir."
Sang Tuan memandang kota dengan tatapan dingin dengan senyuman menyeringai. Senyum itu tidak menjanjikan kebaikan, melainkan kehancuran total.
"Dua bulan terlalu lama, Lucius," kata pria itu, suaranya rendah dan mengancam, penuh otoritas. "Aku telah menunggu cukup lama. Aku ingin melihat Sakura Flurry hancur saat para Guardian kecil itu sedang berbahagia."
"Saya mengerti, Tuan. Saya akan mempercepat prosesnya," balas Lucius, menundukkan kepala.
Pria berjubah hitam itu akhirnya sedikit menoleh, matanya berkilat dingin. "Pastikan saat aku melangkah ke alun-alun itu, tidak ada satu pun tawa yang tersisa, kecuali tawa keputusasaan mereka. Terutama tawa Royal Indra dan istrinya. Aku ingin mereka menjadi saksi kehancuran Kerajaan mereka."
"Akan dilaksanakan, Tuan," janji Lucius. "Tidak akan ada yang lolos dari rencana kita kali ini."
Sang Tuan berjubah hitam mengakhiri perintahnya dengan lambaian tangan yang mengisyaratkan bahwa audiensi telah usai. Mereka akhirnya menghilang dari sana entah kemana, seperti bayangan yang terserap kembali ke dalam malam. Hanya tebing dingin dan cahaya bulan yang tersisa, menjadi saksi atas rencana jahat yang baru saja diputuskan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, di Akademi, rutinitas normal telah kembali. Euphoria pernikahan mereda, digantikan oleh kesibukan persiapan ujian akhir. Di ruang OSIS, Shiera dan Liini sedang merapikan jadwal pengawasan koridor. Shiera mengenakan seragam OSIS-nya, tetapi di bawahnya ia membawa Syal Penenang rajutan ibunya.
"Baiklah, jadwal pengawasan sudah selesai," kata Liini, meregangkan tubuhnya. "Aku lega semua pernikahan berjalan lancar. Tapi rasanya agak sepi tanpa keramaian itu."
Shiera menandai sebuah titik di peta pengawasan. "Ketenangan adalah ilusi, Liini-san. Justru saat seperti ini kita harus lebih waspada."
Liini menghela napas. "Kau masih mencurigai Guru Tamu itu, Tuan Lucius?"
"Aku tidak mencurigai. Aku tahu ada sesuatu yang salah," balas Shiera dingin. "Dia menghilang dari Akademi sejak pesta terakhir, dan tidak ada yang tahu di mana dia. Itu bukanlah sikap seorang guru yang bertanggung jawab."
"Mungkin dia sedang bulan madu juga, seperti yang lain?" canda Liini.
"Dia bukan Royal dan dia bukan Guardian. Dia adalah variabel yang tidak terduga," potong Shiera. Ia menatap Liini dengan tatapan serius. "Liini-san, jika terjadi sesuatu-apapun itu-segera cari Araya-sensei. Jangan cari siapa pun selain dia. Paham?"
Liini, yang terkejut dengan nada serius Shiera, mengangguk. "Ya, aku paham. Kau menakutkan, Shiera-chan."
"Bagus. Sekarang, aku harus pergi." Shiera bangkit, tangannya memegang gagang katana bersarung di pinggangnya.
"Mau kemana?" tanya Liini.
"Berjaga," jawab Shiera, matanya memancarkan tekad. "Aku tidak akan membiarkan kebahagiaan yang baru kita dapatkan hancur." Shiera bergegas keluar, meninggalkan Liini sendirian, dan kembali menjalankan perannya sebagai Guardian yang tak terlihat. Ia tahu, ketenangan ini tidak akan bertahan lama.