Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Impressed
Siang itu, kantor Sovereign mulai terlihat jauh lebih tertib dibanding beberapa minggu sebelumnya. Kalender rapat tertata rapi, dokumen-dokumen yang sebelumnya tercecer kini tersusun dalam folder berlabel warna, dan hampir tidak ada lagi meeting yang molor karena miskomunikasi. Semua ini terjadi sejak Anna duduk di kursi sekretaris pribadi sementara menggantikan posisi sekpri tetap yang masih menjalani perawatan.
Gema memperhatikan perubahan itu dari awal. Dan hari ini, ketika ia masuk ke ruang presdir sambil membawa laporan mingguan, ia benar-benar tidak bisa menahan komentar.
“Gue suka kinerja Anna,” ujar Gema sambil menaruh dokumen di meja. “Semenjak dia jadi sekpri, segala urusan kantor jadi lebih tertata bahkan dibanding sekertaris tetap lo.”
Liam, yang tengah membaca data grafik di laptopnya, mendengus pelan. “Over proud.”
“Lo aja yang ga bisa apresiasi,” balas Gema cepat.
Liam menutup laptopnya pelan, bukan marah, tapi malas berdebat. “Haha, gimana pun dia cuma anak magang. Dalam sebulan ke depan bakal out.”
“Gak ada pertimbangan buat nge-hire dia?”
“Gak.”
“Kenapa?”
“Buat posisi di mana? Sekpri gue kan ada.”
Gema menyilangkan tangan, menatap Liam tanpa berkedip. “Ga ada salahnya lo punya sekpri dua.”
Liam menoleh pelan, memberi Gema tatapan datar khasnya. “Bisa. Lo aja yang gaji gue potong dari gaji lo.”
“Eh jangan gitu bos,” jawab Gema cepat sambil mengangkat tangan, seolah refleks menangkis. “Gue cuma ngasih saran, bukan nyari mati.”
Liam kembali membuka laptopnya, seolah percakapan selesai. Namun Gema belum puas.
Ia duduk di kursi depan meja Liam, lalu membuka berkas lain. “Nih, laporan dari divisi finance. Mereka bilang koordinasi jadi lebih mudah karena jadwal meeting antar divisi ga tabrakan lagi.”
“Ya bagus,” balas Liam singkat.
“Terus, divisi legal bilang dokumen yang harus lo review sekarang selalu rapi. Bahkan mereka bilang kerja lo jadi lebih cepat karena file yang lo butuhin langsung ada.”
Liam masih tidak bereaksi.
Gema mendesah berat. “Cloud server lo kan biasanya amburadul tuh… sekarang file lo udah diorganisir sama Anna berdasarkan tanggal dan divisi. Lo sadar ga sih, kerja lo tuh jadi lebih gampang gara-gara dia?”
Liam menghentikan ketikan. “Gema…”
“Ya?”
“Diam lima detik.”
“Engga mau.”
Liam menatapnya tajam. “Gem.”
Gema balas tatap. “Lo tuh bukan ga ngerti kemampuan Anna, lo cuma gengsi karena pertama kali lo ketemu dia, dia numpahin teh panas ke baju lo.”
Liam mengetuk meja, tidak keras tapi terdengar jelas. “Gue udah bilang itu selesai.”
“Di elo, iya. Tapi di tindakan lo? Jujur aja, lo masih ragu sama dia karena kejadian itu.”
Liam tidak menjawab. Hening sesaat.
Gema mendekat sedikit. “Lo tau ga? Hari ini Jordan nyamperin gue ke pantry, ngomong kalau Anna bikin workload strategic division turun sampai 15% karena dia bener-bener nerapin koordinasi lintas divisi yang lo request.”
Liam memandang Gema sekilas. “Jordan suka nyepelein angka kecil.”
“Lah 15% kecil dari mana? Itu kalo diterjemahin ke sumber daya manusia bisa nyelametin budget operasional hampir satu bulan, bos!”
Liam terlihat tetap tidak terkesan. “Kemampuan dia ya bagus. Gue ga bilang buruk. Tapi itu bukan alasan permanen untuk taro dia di posisi sekpri.”
Gema mengangguk pelan. “Oke. Tapi alasan lo nahan dia apa?”
Liam tidak langsung menjawab. Ia memutar kursi, menatap jendela kota Jakarta dari lantai 40. Cahaya matahari sore memantul dari gedung-gedung tinggi, menciptakan garis-garis cahaya yang tenang.
“Anak itu punya potensi,” kata Liam akhirnya. “Tapi gue ga mau kasih dia harapan palsu. Posisi sekpri gue tetap cuma satu. Ga mungkin digandain cuma karena gue impressed.”
“Jadi lo impressed?” potong Gema cepat.
Liam diam.
“Ya elah, lo kira gue ga liat? Lo yang biasanya bacot kalo dokumen lo ga lengkap, sekarang lo diem-diem aja. Artinya kerjaannya bener.”
“Gema…” suara Liam terdengar peringatan.
Gema mengangkat tangan. “Oke, oke. Gue stop. Tapi satu hal, Liam… lo tuh harus belajar ngeliat orang tanpa bekas kekesalan masa lalu.”
Liam menyandarkan punggung. “Gue objektif.”
“Bohong,” timpal Gema cepat.
Liam menatapnya lama. “Gue objektif, Gem. Gue tau kerja dia bagus. Tapi bukan berarti dia harus stay. Banyak anak magang lain juga bagus.”
“Siapa? Sebutin satu yang bisa handle jadwal lo sepadat ini tanpa ngebom kantor pake salah kirim email?”
Liam terdiam. Jawabannya tidak ada.
Gema tersenyum miring melihat ekspresi itu. “Tuh, sepi. Karena emang ga ada. Anna tuh langka, Liam. Lo terima aja.”
“Masalahnya bukan cuma skill, Gem.”
“Terus?”
“Masa kerja dia bentar. Dia belum paham kultur jangka panjang.”
“Lah justru itu, makanya jangan dilepas.”
Liam memutar pena di jarinya, kebiasaan yang selalu ia lakukan kalau ia mulai kesal tapi tidak ingin marah. “Udah, Gem. Topik ini selesai.”
“Tapi—”
“Gema.”
Nada itu cukup.
Gema menghela napas panjang dan bangkit dari kursinya. “Oke, bos. Tapi gue tetep dukung Anna.”
“Lo dukung siapapun juga bukan urusan gue.”
“Ya tapi yang lagi bikin kantor stabil sekarang kan dia.” Gema berhenti di depan pintu dan menoleh sebentar. “Lo cuma belum mau ngaku.”
Liam tidak menanggapi. Ia hanya membuka email, fokus pada layar.
Namun, setelah Gema keluar dan pintu menutup, Liam akhirnya berhenti mengetik. Ia menatap jadwal hariannya di komputer—semuanya rapi, jelas, tepat waktu. Tidak ada satu pun error besar. Tidak ada satu pun delay.
Pekerjaannya jauh lebih ringan dari sebelumnya, dan dia tahu penyebabnya.
Anna bekerja lebih keras dari siapapun yang pernah memegang posisi itu.
Dan Liam tahu itu.
Dia bersandar pelan, menghembuskan napas. Gema benar—dia memang impressed. Dia memang menghargai kerja Anna. Tapi mengakuinya? Itu langkah yang terasa terlalu jauh untuk seseorang seperti Liam, terutama setelah insiden awal yang seperti noda permanen dalam ingatannya.
Namun, di balik semua itu…
Ia tidak bisa memungkiri bahwa kantor Sovereign berjalan lebih stabil sejak Anna datang kembali.
Dan mau atau tidak… ia memperhatikannya.
Diam-diam.
Hanya untuk dirinya sendiri.