Beban Kelahiran Yang Tragis

Keesokan harinya setelah kunjungan ke dokter, Damar membawa Senja ke kantor pengacaranya. Damar tahu, memblokir nomor dan email tidaklah cukup; Paramita akan selalu menemukan celah untuk meracuni kehidupan mereka.

Di kantor pengacara, Damar meminta saran tentang pencegahan yang paling efektif.

"Kami ingin dia berhenti mengganggu istri saya, Tuan. Bukan hanya melalui telepon, tapi juga secara mental dan publik," tegas Damar.

Pengacara menjelaskan opsi somasi (teguran hukum) dan kemungkinan mengajukan permohonan perintah penahanan (restraining order) jika Paramita mengancam keamanan fisik.

"Kami akan ajukan somasi keras, Tuan Damar. Jika Nyonya Paramita melanggar, Anda punya dasar kuat untuk tuntutan pidana" kata pengacara.

Senja, yang dulu akan gemetar mendengar kata 'hukum', kini mengangguk setuju. Ia tidak lagi takut. Ia telah menemukan kembali suaranya.

"Lakukan, Tuan," kata Senja. "Saya ingin dia tahu, terornya sudah berakhir."

Paramita, entah bagaimana, mencium pergerakan Damar. Naluri binatangnya mengatakan bahwa Damar sedang mempersiapkan pukulan balik. Ia tahu, setelah Damar mengetahui kebohongan 'mandul'nya, Damar akan bertindak.

Paramita memutuskan melakukan satu serangan terakhir yang berani dan publik.

Senja, hari itu, sedang mempersiapkan pameran kecil di sebuah kafe lokal itu adalah pameran fotografi pertamanya, sebuah simbol kemandiriannya. Ia sangat bersemangat, didampingi oleh Fatimah, Ibu Damar.

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dengan keras. Paramita berdiri di sana, berpakaian mewah, dan menatap Senja dengan kebencian yang menyala.

Paramita berjalan mendekati Senja, mengabaikan Lestari. Para pengunjung kafe menoleh.

"Kau pikir kau bisa menjadi wanita terhormat dengan pameran murahan ini, Senja?!" teriak Paramita. "Kau mencuri suamimu! Kau anak durhaka! Kau tahu suamimu itu hanya orang miskin yang mengincar hartaku?! Kau—"

Fatimah maju selangkah, tetapi Paramita mendorongnya dengan kasar. "Jangan ikut campur, wanita rendahan!"

Melihat ibunya didorong, Senja tidak lagi diam. Ia maju, berdiri tepat di depan Paramita.

"Hentikan, Ibu," kata Senja, suaranya tenang tetapi tegas, jauh berbeda dari gadis yang pernah dikuasainya. "Anda tidak punya hak lagi atas hidup saya."

"Aku Ibumu! Kau akan tunduk padaku!" Paramita mencoba meraih tangan Senja untuk menariknya.

Tiba-tiba, dari arah belakang, Damar muncul. Ia pasti mendapat kabar dari Fatimah. Damar tidak berteriak; ia mengambil tangan Senja dan menariknya ke belakangnya, perisai manusia yang tenang dan kokoh.

"Nyonya Paramita," kata Damar, suaranya dingin, mematikan. "Batas kesabaran kami sudah habis."

Damar memberi isyarat kepada pengacaranya yang sudah menunggu di luar. Pengacara masuk dan menyerahkan selembar dokumen tebal kepada Paramita.

"Ini adalah Somasi Resmi, Nyonya," kata pengacara itu. "Jika Anda mengganggu klien saya lagi secara fisik, emosional, atau verbal, kami akan segera mengajukan tuntutan pidana dan permohonan perintah penahanan."

Paramita membaca judul dokumen itu. Wajahnya yang arogan langsung memucat. Ia menyadari: kekuasaannya, yang hanya berdasarkan rasa takut, telah hilang sepenuhnya. Ia menatap Damar dan Senja dengan kebencian yang membara, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan keributan.

Setelah kafe kembali tenang, Senja berdiri di tengah-tengah pameran kecilnya. Ia tidak menangis. Ia tersenyum lega.

"Kau berani sekali," puji Damar, memeluknya di depan semua orang.

"Aku punya suami dan ibu mertua yang melindungiku," jawab Senja, menoleh pada Fatimah yang masih terkejut.

Fatimah memeluk Senja dan Damar. "Kalian adalah keluarga sekarang. Paramita tidak akan bisa menyentuh kalian."

Malam itu, di rumah, setelah membersihkan semua kekacauan emosi, Damar dan Senja duduk di tempat tidur.

"Dia tidak akan mengganggu lagi, kan?" tanya Senja, ada sisa kecemasan.

"Somasi itu nyata, Sayang. Dia tahu kita serius," jawab Damar. "Dia hanya akan menjadi bayangan yang semakin kecil. Sekarang, mari kita lupakan dia. Kita punya hal yang lebih penting."

Damar memegang tangan Senja. "Kita sehat. Kita sudah saling menerima. Aku sudah memanggil agen real estate. Aku akan mencarikan rumah baru untuk kita, rumah yang tidak pernah ia injak. Dan kita akan mengisi kamar-kamar itu dengan anak-anak kita."

Senja tersenyum lebar, senyum yang murni dan tulus. Ia tahu, Beban Kelahiran yang Tragis telah hilang selamanya. Paramita telah dikalahkan bukan oleh harta, tetapi oleh cinta dan keberanian.

Ia bukan lagi Senja yang rapuh. Ia adalah Senja Saputra, istri dari Damar saputra.

Damar memeluknya erat. "Perjuangan kita belum selesai, tapi bagian tersulitnya sudah lewat, Sayang. Kutukan itu sudah kita hilangkan bersama."