Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih mencintainya.
Tangan yang semula baik-baik saja kini memerah bahkan terluka karena terus meninju setir kemudi berulang kali. Bahkan setitik bulir bening pun berhasil membasahi pipi Naren.
Ia marah pada dirinya sendiri sebab gagal mengendalikan dirinya saat bertemu Nadira. Dan yang biasa ia lakukan hanya menangis di dalam mobilnya dan melampiaskan segalanya. Dadanya kembali terasa sesak, ia menyesali keputusannya dengan berbalik dan memeluk Nadira di depan pagar sekolah.
"Harusnya aku nggak melakukannya," lirih Naren dengan napas memburu. "Harusnya aku mengacuhkan dia bukan peduli."
Naren terus mengumamkan penyesalan tanpa menyadari kini tangannya telah terluka dan sedikit mengeluarkan darah. Pria itu mengusap air matanya. Ia merasa dirinya aneh. Alih-alih membentak, berlaku kasar pada orang yang membuatnya marah, Naren malah memilih menyendiri dan melampiaskannya dengan menangis sampai amarahnya reda.
Pria itu menarik napas dalam saat ponselnya berdering, ia segera menjawab panggilan dari William.
"Sudah liat grup kantor belum? Hari ini kita latihan menembak."
"Bagaimana dengan nona Leona?"
"Nona Leona aman sebab bersama tuan muda."
"Baik, aku ke kantor keamanan sekarang."
Naren lagi-lagi mengambil napas panjang demi merilekskan suasana hatinya. Melajukan mobil pribadinya menuju kantor sesuai informasi yang dia terima dari William. Ada baiknya juga kantor keamanan menyediakan fasilitas latihan, sehingga para karyawan tidak perlu membuang uang untuk latihan di luar jam kerja.
Ternyata bukan hanya dia dan William yang akan latihan, tetapi banyak pengawal di lapangan tersebut dan tentu saja ada Leon yang memantau secara langsung.
"Mas Naren!" panggil seorang wanita.
Naren yang masih berada di lantai dua memperhatikan teman-temannya dan hendak menyusul, segera menoleh pada sumber suara. Ia menunduk sebagai sapaan sopan.
Kening pria itu mengerut ketika Leona mengulurkannya yang sedang memegang sapu tangan dan hansaplast.
"Buat apa? Nona terluka?"
"Bukan saya, tapi mas Naren." Leona melirik tangan Naren yang memerah bahkan mengelupas.
"Terimakasih Nona, tapi saya nggak memerlukannya," tolak Naren sopan. Bukan apanya, tapi dia tidak boleh menerima bantuan Leona dalam bentuk apapun. Ini sudah menjadi aturan tidak tertulis sebagai pengawal pribadi. Bahkan berlaku untuk pengawal yang bertugas menjaga keamanan klien di luar sana.
"Ambil saja mas Naren."
"Maaf saya ...."
"Ambil dan obati tanganmu, setelahnya ikut bergabung dengan yang lain!"
Suara tegas dari pria paruh baya membuat Naren langsung mengambil pemberian Leona.
"Terimakasih." Naren pun berlalu, meski begitu sayup-sayup mendengar ucapan atasannya pada nona muda Alexander.
"Kali ini om nggak melihat apapun. Tapi ini yang terakhir."
"Om Eril, aku hanya berbuat baik. Kata mama sebagai manusia kita harus saling membantu."
"Tapi kamu punya niat lain Nona. Kamu hanya memperlakukan Naren nggak yang lain. Om juga tahu Naren dapat informasi lowongan pekerjaan dari kamu."
"Om."
"Sampai di sini saja, jangan sampai Tuan besar tahu bahwa yang merekomendasi Naren adalah nona."
"Papa nggak akan tahu kalau om nggak buka mulut. Mas Naren orang baik, lagi pula Leona nggak suka sama mas Naren. Leona hanya kasihan melihatnya."
"Terkadang dari rasa kasihan berubah menjadi sesuatu yang nggak bisa dielak oleh hati. Om Eril memberitahumu sebab jika papa tahu, keputusannya akan membuatmu terluka."
Suara tegas dari seseorang berhasil membuat Leona bungkam. Saudara kembarnya memang baik, tapi tidak suka jika aturannya dilanggar.
"Sama seperti om Eril, ini terakhir kalinya kakak diam saja melihat tingkahmu. Jika sekali kakak mengetahuinya. Dia akan digantikan oleh orang lain."
Leona menarik napas dalam setelah kepergian Leon dan om Eril. Lirikannya tertuju pada lapangan latihan menembak. Di sana Naren sedang memegang sebuah pistol dan menodongkan pada target.
"Padahal aku baik padanya karena mirip seseorang, bukan karena menyukainya. Kenapa semua orang malah beranggapan lain?" gumamnya.
Sedangkan Naren yang diperhatikan masih fokus pada sasaran di depan sana. Terlebih ia memang ingin melampiaskan rasa marah yang bersemayang di hatinya.
Hanya dalam satu tembakan, buah apel dengan jarak lumayan jauh terbelah menjadi dua bagian.
"Gila keren banget sih." William menepuk pundak Naren setelah pria itu istirahat dan digantikan oleh orang lain. "Terlihat berpengalaman."
"Iya berpengalaman di dalam game," balas Naren dan ikut tertawa. Kini tangan pria itu sudah ia obati sendiri menggunakan hansaplast pemberian Leona. Naren mendongak dan mendapati Leona masih berada di lantai dua.
"Sepertinya nona Leona ada rasa sama kamu," bisik William.
"Hust omongannya," bantah Naren cepat. Takut ada yang mendengar. "Tapi sepertinya memang ada rasa, akan tetapi bukan rasa suka melainkan rasa terimakasih."
"Maksud kamu?"
"Sebelum jadi pengawal aku pernah bertemu dengannya beberapa kali."
"Pantesan nggak canggung. Beda banget sama aku."
....
Naren pulang saat matahari tenggelam dan mendapati anak-anaknya bersiap makan malam bersama nenek dan kakeknya. Ia lantas melepas jasnya, mencuci tangan dan ikut duduk di antara mereka.
"Anak-anak ayah pulang jam berapa tadi?" tanya Naren sembari mengambil piring pemberian ibunya.
"Jadi kamu tahu kalau Darian dan Naresa pergi sama Nadira?"
"Tahu Bu, tadi Naren bertemu Nadira di sekolah anak-anak."
Ibu Naren hanya mengangguk dan melanjutkan makannya. Wanita itu tidak bicara tetapi Naren menangkap gelagat aneh dari ibunya.
Selesai makan malam dan mandi, Naren menghampiri ibunya di dapur. Mengeringkan piring yang selesai ibunya cuci.
"Ibuk bertemu Nadira tadi?" tanya Naren.
"Iya. Dia minta maaf sama ibu bahkan berlutut. Katanya menyesal sudah menyakiti kamu dan anak-anak. Kalau diberi kesempatan lagi, dia mau memperbaiki semuanya."
Naren menunduk, semakin fokus mengeringkan piring. Pria itu baru mendongak saat merasakan elusan di pundaknya.
"Kamu masih mencintainya, Nak?" tanya ibu Naren dengan suara nyaris tidak terdengar.
Naren mengangguk. "Bohong jika Naren mengatakan cinta untuk Nadira sudah hilang Bu. Kami sudah menikah delapan tahun dan memiliki anak."
"Lalu kamu akan memberinya kesempatan?"
"Nggak." Naren mengeleng. "Bagaimana bisa Naren menerima wanita yang telah mengkhianati Naren, Buk? Meski pun kembali kepercayaan kami nggak akan seperti dulu."
"Bagaimana dengan hatimu?"
Hening, kali ini Naren tidak memberikan jawaban apapun pada ibunya. Hatinya terluka parah bahkan sampai kini masih pedih jika mengingat Nadira. Namun, kembali bukanlah obat yang hatinya inginkan.
"Terkadang luka di hati bisa disembuhkan dengan cinta yang baru. Bukan cinta pada orang lain, tapi cinta terhadap diri sendiri. Fokus pada dirimu sampai kamu lupa bahwa pernah mencintai sedalam itu pada makhluk bernama perempuan."
"Buk?" Mata Naren memerah. Ia lantas memeluk ibunya. Hatinya menghangat mendapatkan elusan dipundak.
"Maaf jika selama ini Naren membuat hati ibu terluka. Maaf karena selalu meminta ibu mengerti perasaan Nadira tanpa memikirkan perasaan ibu juga."
"Dulu sudah tugasmu sebagai seorang suami membela istrimu di depan ibu. Jadi nggak ada yang salah tentang sikapmu, Nak."
.
.
.
.
.
.
Peluk jauh untuk mas Naren.
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren