Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam Bu Rosba
Rika melangkah mundur, mengambil jarak. Ia memandang Cahya, yang kini mematung. Wajah Cahya berubah dari marah menjadi kaget, lalu menjadi pucat pasi karena rasa malu yang tidak tertahankan. Cahya menyadari, di panggung yang ia ciptakan ini, Rika telah memberinya pukulan telak.
Rika kemudian menatap Ramdhan yang berdiri membatu. “Selamat tinggal, Ramdhan. Semoga kamu bahagia. Aku sudah memaafkanmu.”
Rika berbalik, meninggalkan Cahya yang tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak, hanya bisa menatap punggung Rika yang menjauh. Keheningan di ruangan itu terasa memekakkan telinga. Semua orang yang tadi menonton, kini memandang Cahya dengan tatapan iba.
Cahya akhirnya ambruk di kursi yang tadi diduduki Ramdhan. Ia menutup wajahnya. Ia tidak menangis karena kesedihan, ia menangis karena rasa malu yang teramat sangat. Rika telah memenangkan pertempuran terakhir dengan sempurna, bukan dengan teriakan, melainkan dengan kedewasaan dan ketenangan.
Rika berjalan keluar gedung Pengadilan Agama. Udara di luar terasa segar. Ia telah meninggalkan semua racun di belakangnya. Di tangannya, ia memegang selembar putusan akta cerai. Ia sudah tidak punya suami, tapi ia punya kedamaian. Dan itu, jauh lebih berharga. Babak baru hidupnya benar-benar sudah dimulai.
****
Pagi itu, Senin pertama setelah putusan perceraian Rika, langit di atas SMA Negeri 2 tampak cerah, seolah ikut merayakan awal baru bagi seorang guru honorer yang berani. Lapangan upacara dipenuhi oleh ribuan siswa berseragam putih-abu, berdiri tegak dalam barisan rapi. Di podium, Pak Rahmat, Kepala Sekolah, berdiri dengan senyum bangga.
Rika berdiri di barisan guru, jantungnya berdebar kencang. Ia telah menjalani minggu-minggu terberat dalam hidupnya, dari kehancuran rumah tangga hingga serangan di ruang guru. Namun, hari ini, ia merasa damai, didukung oleh orang tuanya dan didorong oleh pesan singkat dari Arya yang selalu menyemangatinya.
Upacara bendera berjalan khidmat, dan tiba saatnya pengumuman.
Pak Rahmat maju ke mikrofon. “Anak-anak, Bapak Ibu Guru sekalian. Beberapa waktu belakangan, sekolah kita menghadapi tantangan internal. Namun, di tengah tantangan itu, kita disadarkan akan pentingnya integritas, dedikasi, dan semangat pantang menyerah.”
Pak Rahmat berhenti sejenak, menoleh ke arah barisan guru. Matanya mencari Rika, dan ia tersenyum.
“Atas dasar observasi dan evaluasi mendalam, khususnya dedikasi luar biasa dalam peningkatan metode pembelajaran, semangat membela keadilan siswa, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap profesi, Bapak Ibu Dewan Guru telah memutuskan. Hari ini, dengan bangga, kita akan memberikan penghargaan kepada seorang guru yang telah menunjukkan bahwa status bukanlah penentu kualitas.”
Semua mata tertuju pada barisan guru. Bisik-bisik mulai terdengar.
“Saya persilakan, Ibu Rika Nurbaya, Guru Bahasa Inggris, untuk maju ke depan!” seru Pak Rahmat, suaranya lantang dan penuh penekanan.
Rika terkejut. Meskipun ia tahu ia bekerja keras, ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan penghargaan formal di tengah statusnya sebagai guru honorer yang baru saja bercerai. Air mata haru mendadak membasahi pelupuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan tangisnya. Ia melangkah maju, seragam gurunya terasa lebih terhormat dari sebelumnya.
Rosba dan Miss Rini berdiri hanya beberapa meter dari Rika. Rosba menatap Rika dengan mata menyala-nyala. Wajahnya yang biasa tegang kini menjadi pucat pasi, dipenuhi kebencian murni. Semua fitnah, semua intrik, semua usaha menjatuhkan, kini dibalas dengan penghormatan tertinggi dari Kepala Sekolah.
Pak Rahmat menyerahkan plakat penghargaan dan sebuket bunga kepada Rika. Lapangan upacara pecah oleh tepuk tangan riuh dari ribuan siswa dan sebagian besar guru. Rika menatap kerumunan murid-muridnya; senyum, sorakan, dan tatapan bangga mereka adalah validasi paling nyata atas perjuangannya.
****
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak,” bisik Rika, suaranya tercekat.
“Kamu pantas mendapatkannya, Rika,” balas Pak Rahmat, tersenyum tulus. “Sekarang, silakan berikan kata sambutan singkat.”
Rika maju ke mikrofon, memegang plakat itu erat-erat.
“Anak-anakku sekalian, Bapak Ibu Guru…” Rika memulai, suaranya sedikit bergetar, namun ia berhasil menguasai diri. “Saya berdiri di sini, bukan karena saya sempurna. Saya berdiri di sini karena saya belajar bahwa dedikasi dan kejujuran akan selalu menemukan jalannya.”
Ia melirik ke arah barisan guru, ke arah Rosba dan Rini. “Saya tahu, hidup seringkali terasa tidak adil. Ada kalanya kita direndahkan, dihina, dan dianggap tidak berguna. Tapi saya ingin kalian ingat. Jangan biarkan suara-suara negatif itu mendefinisikan siapa diri kalian. Status saya mungkin honorer, tapi semangat saya untuk mendidik kalian, untuk melihat kalian sukses, tidak ternilai.”
“Terima kasih atas penghargaan ini. Ini bukan untuk Rika Nurbaya, tapi untuk semua guru yang berjuang dengan integritas, di tengah tantangan apa pun.” Rika mengakhiri sambutannya, dan tepuk tangan kembali membahana, lebih keras dari sebelumnya.
****
Rika kembali ke barisan guru. Ia berpapasan dengan Bu Rosba. Miss Rini buru-buru memalingkan wajah, merasa malu dan takut. Namun, Bu Rosba tidak. Ia menatap Rika lurus-lurus, matanya dipenuhi kedengkian yang mengerikan.
“Selamat, Guru Teladan,” desis Rosba, suaranya rendah dan penuh ancaman.
“Terima kasih, Bu Rosba,” jawab Rika, ia menatap Rosba tanpa rasa takut, hanya kepasrahan pada kenyataan.
“Jangan senang dulu,” Rosba berbisik, nadanya begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Rika berdiri. “Penghargaan sampah ini tidak ada artinya, Rika. Ini hanya drama murahan dari Kepala Sekolah yang mau cari muka.”
“Kamu sudah menghina saya, kamu sudah mempermalukan saya di depan umum, dan kamu sekarang berlagak suci. Saya bersumpah, Rika. Saya bersumpah demi harga diri saya yang kamu injak-injak!” Rosba mencengkeram lengan Rika erat-erat.
Rika menarik lengannya. “Lepaskan saya, Bu Rosba.”
“Saya akan depak kamu dari sekolah ini, Rika. Bukan hanya depak. Tapi saya akan pastikan kamu keluar dengan kehormatan yang hancur dan aib yang tidak akan kamu lupakan seumur hidupmu!” Rosba mengakhiri bisikannya, matanya bersinar gelap. “Kamu tidak pantas dihormati. Dan saya akan tunjukkan pada semua orang, siapa sebenarnya Rika Nurbaya itu!”
Rika terdiam, ia melihat tekad gila di mata Rosba. Ancaman itu terasa lebih nyata dan berbahaya daripada hinaan Bu Cahya.
****
Upacara selesai. Murid-murid berhamburan. Rika berjalan cepat menuju ruang guru. Ia tahu, ancaman Rosba bukan gertakan kosong. Rosba sudah mencapai puncak kedengkiannya. Wanita itu kini akan bergerak tanpa etika, tanpa batas.
Di ruang guru, Rosba langsung menarik Miss Rini ke sudut. Wajahnya yang pucat kini dipenuhi kemarahan yang membara.
“Kamu lihat itu, Rini? Kamu lihat drama konyol tadi? Penghargaan itu seharusnya milik kita! Dia sudah merampasnya! Dia sudah menghancurkan semua yang kita perjuangkan!” Rosba meremas tangannya.
"Saya tidak terima, Miss Rini. Kita tidak akan biarkan dia menang. Kita harus hentikan dia, sekarang! Sebelum dia naik pangkat dan status kita benar-benar tidak ada artinya!”
Rini menatap ketakutan. “Ta-tapi, Bu Rosba, Pak Rahmat sudah jelas membelanya. Kalau kita bertindak sekarang, kita akan dipecat.”
“Diam! Kita tidak akan bertindak di sekolah,” Rosba tersenyum licik, senyum yang mengirimkan rasa dingin ke tulang Rini. “Rini, kamu ingat pesan dari Arya Dewandaru yang dia dapatkan minggu lalu? Kita akan gunakan itu. Kita akan gunakan pria kaya itu untuk menjatuhkannya.”