Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Shadows Ober Zurich
Udara Zurich terasa dingin menusuk tulang. Kabut tipis bergelayut di sepanjang danau, membuat suasana pagi tampak seperti lukisan hitam putih yang hidup.
Raras menatap jendela kecil penginapan tua tempat mereka beristirahat. Dari kejauhan, menara gereja St. Peter tampak menjulang di antara atap-atap kuno kota itu.
Damai di luar, tapi dadanya berdegup dengan ketidakpastian.
William baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan kemeja putih sederhana dan mantel tebal. Rambut pirangnya sedikit basah, tapi tatapannya tajam.
Ia menaruh ponsel satelit kecil di atas meja.
“Tidak ada sinyal dari London,” katanya datar. “Sepertinya mereka sudah memutus semua akses resmiku.”
Raras menoleh, cemas. “Artinya kamu dianggap buronan?”
William mengangguk pelan. “Ya. Mereka menuduhku membawa lari ‘diplomat asing dari Asia Tenggara’ — kamu.”
Ia menatapnya dengan senyum miring, getir tapi hangat. “Padahal kalau bukan kamu, aku mungkin sudah benar-benar mati dalam istana itu.”
Raras mendekat, memegangi tangannya. “Kamu sudah kehilangan segalanya karena aku.”
William menatap wajahnya lama. “Tidak, Raras. Aku baru benar-benar punya sesuatu karena kamu.”
Suasana hening sejenak. Di luar, lonceng gereja berdentang tiga kali — tanda waktu bergulir tanpa mereka sadari.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama.
Suara klik kecil terdengar dari pintu kamar. William spontan berbalik, matanya tajam seperti elang. Ia berjalan cepat, memeriksa gagang pintu.
“Dikunci dari luar,” gumamnya rendah.
---
Bayangan di Balik Tirai
Raras langsung tegang. “Apa mereka sudah menemukan kita?”
William menempelkan telinganya ke pintu. Ia bisa mendengar langkah kaki berjarak — berat, ritmis, bukan langkah tamu biasa. “Ya. Bukan hotel biasa yang menemukan kita. Ini operasi khusus.”
Ia bergegas ke jendela, menyingkap tirai perlahan. Di luar, dua pria berjas hitam berdiri di bawah pohon maple, berbicara melalui earphone.
“Mereka bisa menemukan kita bahkan tanpa internet?” tanya Raras panik.
William menatap ponsel satelit di atas meja. “Seseorang membocorkan rute kita. Mungkin dari jaringan bandara di Singapura.”
“Siapa?”
“Aku belum tahu,” jawab William singkat. “Tapi aku tahu satu hal — mereka bukan dari pihakku.”
---
Pelarian di Tengah Kota
William mengambil tas ransel kecil dan menarik Raras menuju jendela belakang. “Ada gang kecil di belakang penginapan ini, langsung tembus ke tepi danau. Kita harus lewat sana.”
Tanpa pikir panjang, mereka melompat keluar lewat jendela, menuruni tangga besi yang berderit. Udara dingin mencambuk wajah mereka. Dari kejauhan, suara pintu kamar mereka dibuka paksa.
“Cepat, Raras!” seru William.
Mereka berlari menembus gang sempit yang dibatasi dinding batu tua. Langkah kaki di belakang mereka semakin dekat — suara bahasa Inggris terdengar samar di antara hembusan angin.
“Target menuju selatan! Jangan biarkan mereka kabur ke danau!”
Raras menggenggam tangan William erat-erat. Nafasnya tersengal, sepatu botnya terantuk batu. Tapi William menahannya agar tidak jatuh.
“Sedikit lagi. Belok kanan!” katanya tegas.
Mereka berbelok ke arah pasar kecil yang baru buka. William meraih mantel tebal dari salah satu kios dan menutupi kepala Raras. “Jalan seperti biasa,” bisiknya. “Mereka tak akan menembak di area publik.”
Namun detik berikutnya — dor! suara tembakan membelah udara. Kaca toko pecah, membuat semua orang berteriak panik.
Raras menjerit kecil, tapi William langsung menubruknya ke balik dinding batu, menutupi tubuhnya.
“Diam di sini!” katanya keras, lalu menoleh cepat ke arah sumber suara.
Dua pria berpakaian formal berjalan di antara kerumunan, membawa pistol kecil bersilencer.
“Mereka bukan pasukan kerajaan,” bisik William lirih. “Mereka bayaran.”
“Bayaran siapa?”
William menghela napas. “Kemungkinan besar… milik pamanku.”
---
Konspirasi yang Terungkap
Beberapa menit kemudian, mereka berhasil mencapai perahu kecil di tepi Danau Zurich. William menyalakan mesin dengan tangan gemetar, sementara Raras duduk di ujung perahu, menatap ke belakang — dua bayangan hitam masih tampak di dermaga.
“Apa pamanku… mencoba membunuhku?” tanya Raras lirih.
William menatapnya sekilas. “Ia takkan melakukannya secara langsung. Tapi jika ia bekerja sama dengan pihak lain—”
“Pihak lain?”
“Council of Nobles. Dewan kerajaan Inggris yang masih memegang kendali keuangan keluarga kerajaan.”
Nada suaranya getir. “Mereka tak mau darah campuran masuk ke silsilah keluarga. Kau, Raras, ancaman bagi tradisi mereka.”
Raras menggenggam jari William yang memegang kemudi. “Jadi ini tentang ras? Tentang darah?”
William menatap jauh ke permukaan air yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. “Tentang kekuasaan. Tentang siapa yang layak mencintai siapa.”
---
Langit di Atas Danau
Perahu mereka bergerak semakin jauh, meninggalkan tepian kota Zurich yang diselimuti kabut.
William menatap Raras lama, kemudian berkata pelan, “Jika aku kehilangan segalanya, kau masih mau bersamaku?”
Raras membalas tatapan itu tanpa ragu. “Kau lupa siapa yang dulu belajar menari di tanah penuh debu demi membuat rakyatnya tersenyum? Aku bukan gadis yang akan menyerah pada tahta, William.”
William menunduk, mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Kalau begitu, mulai sekarang, kita tidak hanya melawan takdir… tapi juga dunia.”
Di kejauhan, suara helikopter terdengar samar. Lampu sorot menembus kabut.
William memutar kemudi dengan cepat. “Pegangan erat!”
Perahu berbelok tajam, ombak kecil memercik tinggi. Raras menahan napas, melihat bayangan besar berputar di atas mereka.
Dunia mungkin sedang memburu mereka —
tapi malam itu, di atas danau asing, dua hati dari dua kerajaan berbeda menolak tunduk pada takdir.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰