Mantan pembunuh bayaran jadi pengasuh 4 anak mafia?
Selena Dakota, mantan pembunuh bayaran, mencoba mengubur masa lalunya dengan bekerja sebagai babysitter. Tapi pekerjaan barunya justru membawanya ke mansion Charlie Bellucci — mafia bengis yang disegani, sekaligus ayah angkat dari empat anak dengan luka masa lalu yang kelam.
Di balik peran barunya sebagai pengasuh, Selena harus berjuang menyembunyikan identitasnya. Namun semakin lama ia tinggal, semakin kuat tarikan gelap yang menyeretnya: intrik mafia, rahasia berdarah, hingga hubungan berbahaya dengan Charlie sendiri. Selena terjebak dalam dunia di mana cinta bisa sama mematikannya dengan peluru.
Bisakah Selena melindungi anak-anak itu tanpa mengorbankan dirinya… atau ia justru akan tenggelam dalam romansa terlarang dan permainan maut yang bisa menghancurkan mereka semua?
“Lakukan apa saja di sini, tapi jangan libatkan polisi.” Tegas Charlie Bellucci.
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon Dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MMF — BAB 16
TIDAK ADA RAHASIA LAGI
Alma diam, menunduk pasrah karena dia tahu Selena bukanlah ibunya. Namun dia juga ingin tahu.
“Memangnya kenapa jika orang asing? Aku bisa menjadi ibunya, semua anak yang kesepian yang membutuhkan seorang ibu adalah anakku!” kata Selena bersandar santai sembari melipat kedua tangannya di perut.
Wanita itu membuat Alma tersenyum menatapnya dan Charlie hanya menoleh lalu menatap lurus ke arah hujan dengan tatapan tajam. “Menikahlah dulu sebelum merasakan menjadi seorang ibu.” Balas Charlie dengan suara tenang namun sedikit menyindir.
Selena menghela napas panjang dan berjalan mendekat ke arah Alma yang terus tersenyum kecil.
“Hm.. Ungkapan yang bagus. Kau juga harus seperti itu Mr. Charlie. Menikahlah dulu sebelum kau menjadi ayah dari 4 anak angkat mu.” Balas Selena dengan berani sehingga itulah yang Alma suka dari Selena.
Mendengar itu, Charlie menoleh, menatap lekat nan tegas ke wanita cantik yang mengenakan dress pengasuh warna hitam bergaris putih.
“Bawa dia masuk.” Pinta Charlie yang kembali menatap lurus dan enggan berbicara lagi.
Dia masih sadar bahwa pengasuh itu adalah mantan pembunuh bayaran yang sudah banyak menghabisi orang termasuk para kliennya.
Mendengar perintah tersebut, Selena pasrah. “Okay! Ayo Nona Alma... Kita masuk agar tidak kedinginan di luar sini!” kata Selena yang akhirnya berhasil membuat Alma menurut.
Charlie mendengarnya, ia menoleh saat pintu tertutup. Ucapan Selena mengenai pernikahan sebelum mengurus anak itu memang benar. “Hffuuu....Aku mendapatkan mereka dengan kebetulan.” Gumamnya yang nampak pasrah.
Hingga tak berselang lama, Charlie memutuskan masuk dan melihat Alma yang tertidur pulas di atas sofa panjang saat Selena berhasil menidurkan nya dengan nyanyian kecil sembari memegang kepala anak itu.
Charlie duduk di sofa singel, menatap ke Selena dengan lekat sampai wanita itu selesai dengan tugasnya dan menatap balik ke bosnya. “Apa ada sesuatu lagi yang ingin kau ketahui tentangku? Karena kau tidak akan bisa mencaritahu nya sendiri, karena aku sudah menghapus data pribadiku.” Ujar Selena yang mencoba memberikan keyakinan bahwa dia benar-benar sudah berhenti menjadi seorang pembunuh.
“Kau mengenal Danzel Jaitly?”
Pertanyaan yang membuat keheningan di ruangan itu. Selena menatap mata hijau bosnya saat ini.
“Yeah!” jawab jujur Selena tanpa ragu.
“Apa kau membunuhnya?”
Charlie terdiam menatap lekat ke Selena, seolah dia baru pertama kali bertemu wanita seperti itu.Keheningan menggantung di ruangan itu, hanya terdengar suara hujan yang menetes pelan di luar. Api di perapian memantulkan cahaya jingga ke wajah Selena yang tetap tenang, walau pertanyaan Charlie barusan bukan hal sepele.
“Aku hanya mengikuti perintah dari seseorang yang ingin membayar ku,” ulangnya lagi, lebih pelan kali ini, tapi nadanya mantap.
Charlie menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tak lepas dari wajah wanita itu.
“Dan kau tahu siapa yang memerintah mu membunuh Danzel Jaitly?” tanyanya, kali ini suaranya dalam, tegas, nyaris seperti desisan.
Selena mengangkat bahu, “Dunia pembunuh bayaran tidak mengenal nama, hanya nomor, dan bayaran. Kalau kau ingin tahu siapa dalangnya, kau harus menanyakan pada mereka yang masih hidup.”
“Sayangnya,” Charlie berdiri, berjalan perlahan menghampirinya, “mereka semua sudah mati.”
Selena tersenyum tipis. “Aku tahu. Aku membunuh mereka juga.”
Hening lagi. Tatapan Charlie menusuk tajam, tapi Selena tak mundur. Ia hanya berdiri tegak, dengan sikap seorang mantan eksekutor yang sudah terlalu sering menatap maut.
Namun dalam tatapan pria itu, ada sesuatu yang lain — rasa ingin tahu, sekaligus keyakinan bahwa di balik dinginnya wanita ini, tersimpan sesuatu yang belum ia ketahui.
“Aku tidak mempekerjakan mu untuk membunuh lagi, Selena,” ucap Charlie kemudian. “Tugasmu sekarang hanya satu — urus anak-anakku.”
“Karena aku bekas pembunuh?” Selena mengulang ucapannya tadi dengan senyum miring.
“Karena hanya orang seperti kau,” Charlie menatapnya tajam, “yang bisa menundukkan mereka.”
Ucapan itu membuat Selena terdiam sejenak. Ia bisa menebak karakter anak-anak Charlie — keras kepala, penuh amarah, dan dibesarkan dalam bayang-bayang kekuasaan mafia. Tak heran jika mereka sulit diatur. Namun di sisi lain, Selena tak tega bila anak-anak itu haru besar dengan cara seperti ini.
“Apa sebenarnya yang Anda inginkan kepada mereka, Mr. Charlie?” tanya Selena dengan serius tanpa senyuman.
Charlie masih bersandar, menatap lurus dan kembali menyandarkan kepalanya juga dengan santai. “Balasan.” Jawabnya yang masih membuat Selena bertanya-tanya.
...***...
2 mobil baru saja tiba, memperlihatkan Isabelle dan Han yang baru saja kembali dari luar. Hujan masih menetes di jas hitam mereka, dan di belakang keduanya berdiri empat sosok muda — Damian, Clara, dan Miles.
Damian berdiri paling depan, menatap tajam ke arah Han dan Isabelle. kedatangan mereka membaut Nora juga ikut keluar karena khawatir kepada keempat anak tadi.
“Kau seharusnya bersyukur aku tidak mengikatmu di bagasi.” kata Han dengan nada dingin hampir seperti Charlie.
Clara menggenggam tangan Miles erat-erat. Anak laki-laki itu tampak ketakutan, matanya memantul pada kedua orang didepannya saat ini.Sementara Isabelle hanya menatap dingin ke arah mereka berempat, lalu beralih ke Han.
“Kenapa tidak melakukannya? Menunggu perintah Charlie? Kalian selalu berbuat seperti itu bukan, aku hanya ingin meniru!” kata Damian dengan menantang yang membuat Han menatap penuh emosi.
“Jagalah mulutmu Damian. Atau itu bisa merusak dirimu sendiri dan mungkin saudaramu yang lain.” Kata Isabelle yang juga menatap tegas ke Damian saat dia tak ingin Han lepas kendali. “Masuklah kalian ke kamar, saat Mr. Charlie datang, maka hukuman kalian juga akan datang.” Kata Isabelle yang menoleh ke Nora dan memberi isyarat untuk segera membawa mereka sampai ke kamar masing-masing.
Nora hanya mengangguk faham dan menggiring mereka bertiga masuk dalam keadaan basah.
Sementara Han dan Isabelle masih berdiri di luar, menatap ke arah anak-anak angkat dari bos-nya. “Mereka sangat susah di atur!” kata Isabelle tak habis pikir.
Ha hanya diam seolah dia mencoba memahami anak-anak itu yang memang memiliki masalalu kelamnya masing-masing.
“Kau awasi mereka, aku akan mencari informasi tentang orang-orang yang menyerang di sana.” Kata Han yang bergegas masuk ke mobilnya.
Ya... tidak begitu sulit saat dia mencari orang-orang yang menyerang Charlie dan Selena, karena Charlie sudah memberikan informasi singkat mengenai pesuruh dari orang-orang yang menyerang nya itu. Dan Jeniffer lah yang menjadi tersangka utama.
Sementara di tempat yang hening. Charlie masih duduk berjaga saat Selena nampak duduk dengan kepala yang terus hampir terjatuh ketika ia mengantuk dan memejamkan matanya berulang kali.
Charlie memperhatikannya dan merasa heran akan sikap Selena yang jauh dari kata pembunuh bayaran. Pria itu beranjak dari duduknya, berjalan ke arah Selena dan mendorong kepala wanita itu dengan menyentuh keningnya hingga kepala Selena akhirnya bersandar santai di punggung sofa, lalu terlelap.
“A fool!” gumamnya yang kini beralih ke menatap Alma.