Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Akting Natural
Jika Diaz tanpa ragu menjadi yang pertama membubuhkan tanda tangan di halaman ketiga sekaligus halaman terakhir berkas perjanjian, Tya sebaliknya. Saat gilirannya tiba, pulpen yang sudah dipegangnya menggantung 2 cm di atas kertas. Mata mengedip dengan sorot berubah redup. Tiba-tiba keraguan timbul. Sudah benarkah langkah yang diambilnya? Kenapa setelah separuh jalan hati yang sudah mantap malah berubah gamang?
Tapi hari gini kan cari uang gede susah, Tya. Yuni aja nekat jual tubuh demi kontrak 2 tahun ke depan. Lagi pula Ibu Suri janji akan melindungi kehormatan dan nama baik di mata orang luar terutama di mata tetangga jika nanti kontrak berakhir.
Tapi kalau gini aku jadi mempermainkan kesakralan dan kesucian pernikahan. Harusnya ini nggak boleh.
Ini darurat, Tya. Kau kan nggak mau rumah kenangan yang adalah satu-satunya harta yang tersisa dari orang tua itu sampai disita sama si Bopeng rentenir.
"Tya, ayo tanda tangan! Kita akan lanjut bahas konsep nikahan."
Teguran Ibu Suri membuat mata Tya mengedip dua kali. Perang batinnya buyar. Dengan menahan napas dan ucap bismillah dalam hati, tanda tangan dibubuhkan di atas materai sepuluh ribu.
"Bagus. Ibu yang akan simpan dokumen ini di tempat aman. Jika salah seorang ada yang melanggar atau lupa isi poin-poin perjanjian, tugas Ibu nanti mengingatkan." Suri tersenyum tipis. Tangannya cekatan merapikan berkas dan segera dimasukkan ke dalam amplop coklat polos kemudian disimpan ke dalam tasnya. Meja kembali rapi.
Seorang pelayan masuk dengan membawa nampan berisi tiga gelas minuman dingin yang berbeda sesuai pesanan masing-masing, ditambah sepiring apple pie. Segera pergi setelah menata sajian di meja.
"Venue nikahnya gimana kalau di sini aja ya, Diaz, Tya. Atau pengen di hotel? Ibu sih no problem."
"Di sini aja, Bu."
"Di sini aja, Bu."
Suri tertawa kecil melihat Diaz dan Tya yang kompak menjawab tanpa dikomando lalu saling menoleh dan mendelik.
"Diaz, kau jangan dingin gitu sama Tya. Kalau lagi berdua minimal jadi teman kek, atau anggap Tya adik. Mood Tya harus dijaga lho biar bisa apik jalani perannya." Ia sengaja terang-terangan menegur sang anak yang terkadang temperatur dinginnya naik turun.
"Iya, Bu."
Tya tersenyum samar melihat Diaz menunduk karna mendapat tatapan tajam Ibu Suri. "Berarti hanya Bu Suri yang bisa jadi pawangnya Mas Kudis ini," monolognya dalam hati.
"Aku pengen venue di sini aja dengan konsep intimate wedding. Waktunya jangan lama. Dari jam 9 sampai jam 11. Total undangan maksimal 150 orang." Jelas Diaz seolah sudah dipikirkan sebelumnya. Terbukti begitu lancar dan lugas dalam menyampaikan keinginannya.
"Tya gimana, Nak?" Suri menatap lembut pada Tya yang duduknya di sisi kiri Diaz. Sejak masuk, ia sengaja menempatkan dua sejoli duduk bersama di satu sofa.
"Aku setuju, Bu. Aku nggak akan ngundang banyak kok. Keluarga besar tinggalnya jauh-jauh. Jadii mau ngundang yang ada di Bekasi aja, tetangga juga dipilih yang dekat dengan rumah aja, sama sebagian teman."
"Nggak apa-apa keluarga yang jauh diundang aja."
"Nggak ah, Bu. Kasian berat di ongkos. Keluarga besar dari pihak Mama tersebar di Riau. Mama kan asli anak melayu kelahiran Pekanbaru. Keluarga besar pihak Ayah ada di Bekasi, Jakarta, Tasik, dan Makassar. Masalahnya nikahan ini kan ibarat lagunya Jhonny Iskandar judulnya 'Judul-judulan', tema lagunya tuh dari pacaran sampai kawin cuma bohong-bohongan." Tya cengengesan.
"Emang ada lagu begitu? Baru denger nama penyanyi dan judulnya." Diaz mencibir.
"Euh. Itu punya ponsel apel somplak fungsinya buat gaya doang ya, Mas? Aku aja yang otaknya minimalis bisa manfaatin Hp syamsul buat nambah wawasan. Fyi, Jhonny Iskandar sama Johnny Depp itu sama-sama lahir tahun 1960 an. Lahir duluan Jhonny Iskandar. Tapi mereka nggak saling kenal. Genre musiknya juga berbeda. Malah Johnny Dep lebih terkenal sebagai aktor Hollywood. Sudahlah....nggak usah dibahas terlalu jauh. Kita nggak akan ngundang mereka kok. Jangan sampai Mas Diaz stres."
"Ini juga udah mulai stres denger kau ngomong unfaedah." Diaz mendengus.
Lain halnya dengan Suri yang tertawa-tawa. Ia malah terhibur oleh Tya yang dengan sengaja membuat Diaz misuh-misuh bin jengkel.
***
Tya baru diantar pulang selepas Maghrib karena Ibu Suri menahannya agar makan malam bersama dulu. Ia sudah memberitahu Susan lewat chat jika akan pulang telat dengan mengatakan alasan sejujurnya.
Tin. Klakson dibunyikan Diaz begitu melintasi warung Mpok Iyam. Sukses membuat Tya menoleh dengan mata membulat.
"Kenapa mesti bunyiin klakson, Mas. Lihat itu si Mpok sampai goyang dombret."
"Disuruh Ibu. Kalau lewat warung dan orangnya ada di luar ya klaksonin. Biar nggak dikata sombong."
Tya mendesah.
"Kalau mau protes ke Ibu aja. Aku kan wayang."
"Speechless kalau udah dengar jawaban template."
Tya pulang tidak dengan tangan kosong. Dibekali oleh-oleh makanan dan minuman produk Geranium Cafe yang lalu diserahkannya kepada Susan. Bisma juga sudah ada di rumah. Katanya baru datang 20 menit yang lalu.
"Hai, Nesha. Sini!" Diaz melambaikan tangan pada keponakan Tya yang sedari tadi selalu menatapnya sambil memeluk boneka.
Setelah menatap bundanya dan mendapat anggukan, Nesha mau turun dari kursinya, mendekat dan duduk di sisi kanan Diaz.
"Dari tadi Nesha pandangin Om terus. Kenapa?"
"Om ganteng." Sahut Nesha yang mendongak dengan raut wajah polos dan senyum malu-malu.
Susan dan Bisma tertawa. Tya hanya mesem-mesem.
"Aduh. Hidung Om mau terbang." Diaz menangkup hidungnya. Membuat Nesha cekikikan.
"Ayah juga ganteng. Bunda suka gemes cium-cium pipi Ayah kalau Ayah lagi bobo."
"Eh, jangan bocor dong, Nesha." Susan menutup wajahnya yang memerah matang dengan kedua tangan. Kali ini Tya mentertawakan dengan puas.
"Sekarang namanya diganti bukan Bunda Susan ya, Nesha. Tapi jadi Bunda Bucin." Tya merasa puas bisa meledek kakak iparnya yang setiap hari jadi punya kebiasaan baru suka menggodanya.
Sementara Bisma hanya terkekeh. Bukan tidak tahu dengan kebiasaan istrinya itu justru sengaja dibiarkan dengan pura-pura seolah masih tertidur lelap. Justru menjadi obat di kala lelah setelah seharian jadi tukang ojek online.
"Nesha pengen nggak punya boneka yang lebih besar?" tanya Diaz sambil mengusap rambut Nesha yang tak lagi malu-malu duduk di dekatnya, berbeda seperti kemarin-kemarin.
"Pengen yang tinggi segini tadi di TV lihat." Nesha mencontohkan dengan berdiri sambil mengangkat tangan di atas kepalanya. "Tapi kata Bunda belinya nanti doain Ayah dulu. Semoga Ayah sehat, rejekinya banyak."
Ada yang menghangat di dalam dada. Diaz merasakan ketulusan kata yang terucap dari bibir Nesha yang matanya berkilat cahaya saat mengucapkannya. Di sini sangat terlihat peran seorang ibu yang berkualitas dalam mendidik.
"Om pengen ngasih boneka besar itu buat Nesha. Ini uangnya. Nesha beli sendiri sama Bunda atau sama Ayah ya." Diaz memberikan tiga lembar uang berwarna merah ke tangan mungil Nesha. "Kalau uangnya kurang, nanti bilang aja sama Tante Tya."
Nesha menerima uang dengan raut bingung. Menatap dulu bundanya. Setelah mendapat kode anggukan, barulah berkata, "Terima kasih, Om."
***
Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan pohon mangga yang tengah berbuah lebat namun masih kecil-kecil. Berada di pojok kanan halaman rumah yang dahannya sebagian menjulur melewati tembok pagar.
Tya mengantar Diaz sampai teras, yang tak terasa berada di rumahnya hampir satu jam. Bukan ngobrol berdua, tetapi sekeluarga.
"Aku pulang dulu."
"Hm...ya hati-hati."
"Sepertinya ada yang mau diomongin tapi ragu." Diaz mengangkat satu alisnya. Tebakannya tidak meleset karena melihat Tya meringis. "Bilang aja jangan sungkan. Pengen beli boneka juga kayak Nesha?"
"Ish, bukan itu. Mas Diaz semoga nggak lupa sama janji dua hari yang lalu."
"Janji apa?"
"Soal...lupain deh. Nggak jadi. Mas Diaz nya aja udah lupa." Tya mengibaskan tangan.
Rencana mau menarik handle pintu mobil belum juga terlaksana karena obrolan dengan Tya masih belum selesai.
"Kalau aku pulang ke Jakarta sambil pikiran menebak-nebak, bahaya loh. Mengganggu konsentrasi menyetir. Bilang aja, Cantya."
"Oke-oke." Tya tidak nyaman dengan cara Diaz menatapnya dengan sorot berbeda—lembut dan kelam. "Mas Diaz kan waktu nyuruh aku resign, akan ganti rugi gaji. Tapi sampai sekarang kok tidak minta nomor rekening. Aku siap dikomentarin matre lagi."
Kali ini Diaz tertawa. Tawa lepas pertama saat sedang berduaan. Ia mulai mematuhi nasihat Ibu agar menurunkan temperatur dinginnya. Ternyata benar. Kalau gengsinya diturunkan dan dibiarkan lepas, ternyata menyenangkan juga berbincang dengan Tya.
"Aku udah transfer kok. Cek aja."
"Serius? Kapan? Aku kan belum ngasih nomor rekening."
"Tapi udah ngasih ke Ibu aku kan buat keperluan nanti transfer bulanan. Cek sekarang juga. Kalau nggak ada, aku kirim ulang."
Tya mengeluarkan ponselnya dari saku celana kulotnya. Satu menit kemudian matanya melebar. "Ini sih dua bulan gaji, Mas. Kelebihan."
"Sengaja bonus."
"Aih, jadi enak nih. Makasih ya." Tya mengedipkan mata sambil tersenyum lebar.
"Matre."
"Tuh kan." Geraman Tya berakhir karena Diaz masuk ke dalam mobil. Melambaikan tangan dengan wajah cerah ceria kali aja ada tetangga yang mengintip dari jendela. Setelah mobil keluar, ia menutupkan pintu pagar besi dan menguncinya. Sejenak bersandar di tembok pilar sambil merenung.
Hebat aktingnya Mas Diaz. Ngemong Nesha dan ngobrol sama Kak Bisma dan Kak Susan akrab gitu. Kelihatan natural. Nilai 9/10. Aku nggak boleh kalah pro di hadapan keluarganya nanti.
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭