Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 29
Kabut tipis merayap di permukaan tanah saat mereka keluar dari sungai.
Udara semakin dingin, membuat napas Hana berasap setiap ia menghembuskannya.
Nathan berjalan paling depan, memeriksa setiap sudut hutan.
“Kita hampir sampai,” katanya pelan.
“Sekitar lima menit.”
James meraih tangan Hana, membantunya melangkah melewati akar-akar pohon yang mencuat.
Hana menggigil, tubuhnya lelah, tapi matanya tetap hidup.
Ia tidak mau tertinggal.
“James…”
bisiknya kecil.
“Aku takut dia… dekat sekali…”
James memegang pipinya, lembut namun kuat.
“Hana. Dengarkan aku.”
Ia menunduk sedikit agar matanya sejajar dengan mata Hana.
“Dia tidak dapatkan kau hari ini.
Bukan di hutan ini. Bukan malam ini.”
Hana mengangguk, meski tetap gemetar.
Raina menoleh dengan cemas.
“Kenapa rasanya seperti… dia mengawasi dari mana-mana?”
Nathan menjawab cepat tanpa menoleh:
“Karena dia memang begitu.
Soni selalu bergerak tanpa suara…
dan selalu mengambil jalur paling gelap.”
Hana memeluk dirinya.
James mendekat lebih rapat, seakan menjadi benteng panas di tengah udara dingin.
Mereka menerobos semak terakhir, dan…
Kabin itu muncul.
Bangunan kecil dari kayu tua, dengan atap seng.
Jendela ditutup papan.
Pintunya miring sedikit, seperti sudah puluhan tahun tidak dibuka.
Tapi ada satu hal:
Tidak ada cahaya.
Tidak ada suara.
Tidak ada siapa pun.
Tempat itu terlihat mati.
Dan justru itu yang membuatnya aman.
Nathan membuka kunci tua yang digantung di daun pintu.
“Kabin ini dulu tempat ayahku menyimpan dokumen.
Dan tidak satu pun orang tahu.”
Ia mendorong pintu.
“Masuk.”
James memapah Hana masuk dulu.
Raina mengikuti.
Nathan masuk terakhir dan langsung menutup pintu.
Di dalam kabin, suasana remang-remang.
Lampu minyak kecil di sudut masih ada—Nathan langsung menyalakannya.
Cahaya kuning lembut menyinari ruangan.
Ada:
• meja kayu penuh goresan
• lemari kecil penuh map
• kompor kecil
• dan satu ranjang tua
Hana berdiri di tengah ruangan.
Wajahnya memucat seketika.
James meraih pundaknya.
“Hana…?”
Hana menatap lantai kabin lama itu seperti melihat hantu.
“Tempat ini…”
bisiknya gemetar,
“…mirip tempat ibumu… terakhir kali kita…”
James langsung menahan bahunya lebih kuat.
“Hana. Itu masa lalu.”
Ia mendekat, suara menurun.
“Tempat ini aman.”
Hana mengangguk pelan, tapi nafasnya mulai tersengal.
Tanda-tanda panik kecil muncul.
Raina mengusap punggung Hana dari sisi lain.
“Tidak apa, Han… kita cuma di sini sebentar.”
Nathan menutup semua jendela dengan papan baru.
“Kita harus tenang.
Soni pasti akan menyisir area pinggir sungai, lalu bergerak ke arah sini.”
James menegang.
“Seberapa cepat?”
Nathan menatap jam.
“Kurang dari 20 menit.”
Hana memucat.
James langsung berdiri tepat di depan Hana, menghalangi pandangannya dari jendela, dari pintu, dari dunia luar.
“Hana,” katanya pelan.
“Keluar dari kepala itu.
Dengar suara aku.”
Hana memandang James, air mata jatuh.
“Aku takut dia bawa aku pulang…”
bisiknya kecil.
“Aku takut… dia sakiti kau… aku takut… takut…”
James memeluk kepala Hana ke dadanya.
“Aku tidak biarkan itu terjadi.”
Napasku, pikir James, harus jadi jangkar buat dia.
“Aku di sini. Aku tidak pergi.”
Di luar kabin…
BRROOOOOMMMM…
Suara mobil terdengar samar.
Nathan menoleh cepat ke arah pintu.
“Dia datang…”
Raina mendekat ke jendela.
“Ada… cahaya… Nathan… itu mobil besar…”
Nathan menutup jendela lagi.
“Semua diam.
Jangan keluarkan suara apa pun.”
BRUK-BRUK-BRUK
suara ranting patah.
Suara langkah kaki berat
bukan penjaga, bukan anjing.
Langkah yang terlalu stabil.
Terlalu tenang.
Langkah Soni.
James merapatkan tubuhnya ke Hana, menyembunyikan wajahnya dari celah-celah cahaya di bawah pintu.
Hana memucat total.
“James…”
suara Hana bergetar seperti daun kering.
“Itu… dia…”
James memegang wajah Hana kedua sisi.
“Lihat aku.”
Ia mendekatkan dahinya ke dahi Hana.
“Selama aku di sini, dia tidak bisa sentuhmu.
Tidak. Bisa.”
Soni berhenti tepat di depan kabin.
Keheningan mematikan.
Lalu…
Tok… tok… tok…
Soni mengetuk pintu perlahan.
Tiga ketukan.
Pelan.
Namun membuat jantung seperti jatuh ke lantai.
“Tuan Nathan.”
Suara Soni terdengar dari luar, tenang seperti malam sebelum badai.
Nathan menutup mulut dengan tangannya, wajahnya tegang.
Soni melanjutkan:
“Saya tahu kau ada di dalam.”
Hana menutup mulut agar tidak menangis keras.
James menariknya lebih dekat, melindungi seluruh tubuh Hana dengan tubuhnya sendiri.
Soni menggeser kakinya sedikit.
Suara ranting patah terdengar lagi.
“Dan saya tahu James bersama kau.”
Tiga detik hening.
Hana mulai menangis tanpa suara.
James mengusap rambutnya perlahan.
“Tidak apa… tidak apa… aku ada di sini…”
Soni membungkuk sedikit ke arah pintu, suaranya hampir seperti bisikan:
“Ikutkan Hana kembali.
Aku tidak akan ulangi permintaan ini dua kali.”
James membeku.
Hana hampir pingsan ketakutan.
Nathan memberi kode dengan tangan—
jangan jawab apa pun.
Soni menunggu.
Hening.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Kemudian Soni tertawa—
pelan, singkat, tapi membuat bulu kuduk berdiri.
“Baiklah.”
Ia melangkah mundur.
“Tuan Nathan…
jika kau ingin mati…
tetaplah di dalam.”
Suara sepatu bergerak menjauh.
Nathan berbisik:
“Dia tidak pergi jauh.
Dia hanya memancing kita keluar.”
James menggenggam tangan Hana.
“Hana… dengarkan aku.”
Suara James rendah dan mantap.
“Apa pun yang terjadi… aku akan lindungi kau.
Soni tidak akan dapatkan kau lagi.”
Hana memeluk James erat-erat, untuk pertama kalinya bukan karena takut, tapi karena percaya.
Di luar…
di balik pepohonan…
Soni berdiri, memandangi kabin dengan mata kosong.
Ia menyalakan rokok.
“Malam masih panjang…”
Dan pengejaran belum selesai.
Kabin tua itu hening…
terlalu hening.
Hanya suara napas Hana yang bergetar, dan derit lembut lantai kayu saat James menyandarkannya ke dada.
Nathan terus mengawasi lewat celah papan.
Raina berjongkok di dekat lemari tua, menggenggam tangan Hana untuk menenangkannya.
Di luar, Soni berdiri sendirian di bawah cahaya lampu mobil yang redup.
Ia merokok pelan.
Kemudian ia menjatuhkan rokok itu ke tanah.
Dan…
ia menginjaknya dengan sepatu kulit hitam.
“Waktunya,” katanya tenang.
Ia menoleh pada salah satu penjaga.
“Bensin.”
Penjaga segera membawa dua jerigen.
Hana terbelalak, napasnya menjadi sangat cepat.
“Ja— James… dia… dia mau—”
James memeluk wajah Hana ke dadanya agar ia tidak melihat.
“Nathan,” James berbisik,
“kita harus keluar sekarang.”
Nathan tampak setengah panik
namun tetap fokus.
“Ya.
Kalau kabin terbakar, kita mati di dalam.”
Raina berdiri cepat.
“Ada jalan lain?”
Nathan menghela napas… lalu membuka laci kecil di meja rusak itu.
Ia mengeluarkan kunci besi pendek dengan bentuk aneh.
“Ada jalur kedua.
Ayahku buat untuk kasus paling berbahaya.”
James menatap kunci itu.
“Di mana?”
Nathan menunjuk ke…
lantai di bawah ranjang tua.
“Kita harus buka itu.
Sekarang.”
James mengangguk.
Hana masih gemetar, tapi ia melihat James bekerja—dan itu sedikit menenangkannya.
Di luar, Soni berjalan perlahan menyiram bensin mengelilingi kabin.
Tidak terburu-buru.
Tidak emosional.
Setiap langkahnya terdengar seperti hitungan mundur.
Srrrsshhh…
suara cairan menyebar di rumput.
Srrsssrrhh…
ke dinding kayu kabin.
Penjaga memegang obor kecil.
“Menunggu perintah, Tuan.”
Soni mengangguk.
“Tunggu aku beri tanda.”
Lalu ia mendekati jendela kabin…
meletakkan telapak tangannya di papan kasar…
dan berbisik:
“Hana…
kau selalu membuatku melakukan hal-hal yang tidak perlu.”
Hana menutup mulut rapat-rapat, air mata menetes.
Nathan Membuka Jalur Rahasia
Nathan menarik ranjang tua hingga bergeser.
Lantai kayu di bawahnya tampak lebih baru dibanding sekelilingnya.
Ia memasukkan kunci besi itu ke lubang kecil di papan.
Tepat ketika ia memutarnya…
CLAKK.
Papan itu membuka seperti pintu peti mati.
Sebuah terowongan gelap terlihat di bawahnya.
“Masuk,” Nathan memerintah.
“Ini satu-satunya jalan.”
Raina turun dulu.
James menggendong Hana—yang tubuhnya gemetar semakin parah—dan turun perlahan.
Namun begitu kaki Hana menyentuh tanah dingin di bawah…
BUM!
Suara sesuatu terbuka dalam kepalanya.
Napasnya terputus.
Dadanya sesak.
Matanya tiba-tiba kabur.
“Hana!” James memegang wajahnya.
“Hana! Fokus pada aku!”
Terowongan gelap itu tiba-tiba berubah menjadi…
malam hujan.
Lampu jalan.
Aroma tanah basah.
Hana berdiri lagi di masa itu.
“Tidak… tidak… jangan…”
bisiknya tanpa ia sadari, tubuhnya gemetar.
James memegang pipinya kuat-kuat, sadar Hana sedang kehilangan kendali pada kilas balik.
“Hana! Lihat aku! Ini bukan masa lalu! Kau aman!”
Tapi Hana sudah masuk terlalu dalam.
Malam itu kembali.
Ibu James—Melena—berlari di jalan setapak menuju kabin kecil.
Napasnya tersengal, rambutnya basah, wajahnya panik.
Seseorang mengejar dari belakang.
Bukan Hana.
Bukan Soni.
Pria itu—
dengan jaket kulit… kalung “A”…
dan tatapan panik dan penuh kecemburuan.
“Melena! Berhenti! Kita harus bicara!”
Melena menangis.
“Tidak lagi! Kau tidak boleh dekat denganku lagi!”
Hana muda—yang baru melewati pertengkaran kecil dengan Melena—berdiri tidak jauh dari sana.
Ia melihat semuanya dari kejauhan.
Melena mundur…
kakinya terpeleset…
kepalanya membentur batu…
“Aahhh!!”
Hana berlari.
“Bu! Bu!!”
Namun pria berinisial “A” itu memegang bahunya.
“Jangan campur tangan! Aku akan—”
Sebelum ia selesai bicara…
Lampu mobil datang dari arah hutan.
Soni.
Wajah pria “A” langsung berubah pucat.
Ia melarikan diri ke gelap.
“Hana!”
suara James tiba-tiba masuk ke dalam kilas balik itu.
“Hana! Itu bukan salahmu!
Bukan kau pemicunya!”
---Kembali ke Terowongan
Hana tersentak.
Napasnya terputus seperti baru saja kembali dari tenggelam.
James memeluknya erat—sekuat yang ia berani tanpa menyakitinya.
“Hana… tenang… aku ada… aku ada…”
Hana mulai menangis keras.
“James… aku lihat semuanya… aku lihat… dia bukan… bukan Soni… bukan aku… dia… pria itu…”
James memegang wajah Hana, memaksa matanya bertemu mata James.
“Hana. Dengarkan aku.”
suara James dalam, penuh tekad,
“Pria itu akan kita cari.
Dan kau tidak bersalah.
Tidak. Pernah.”
Hana menangis sambil mengangguk pelan.
Soni membakar kabin demi mengejar mereka…
tapi Hana baru saja membakar satu kebenaran paling besar.
Api Mulai Menjilat Kabin
Di atas terowongan, suara cairan terakhir dituangkan.
Soni mengangkat tangan.
“Sekarang.”
Penjaga menempelkan obor ke dinding.
FWOOSH!!
Api langsung menjilat kayu.
Dalam hitungan detik, kabin diselimuti kobaran api.
James memeluk Hana.
Raina menahan napas.
Nathan menutup pintu terowongan dengan papan khusus.
“Kita harus pergi sekarang.
Kita punya waktu 60 detik sebelum api tembus lantai.”
James mengangguk.
“Ayo.”
Mereka bergerak ke dalam kegelapan terowongan kedua—
sementara di atas kepala mereka…
kabin terbakar seperti neraka kecil.
Soni menatap api itu dengan ekspresi datar.
“Tidak ada lagi yang bisa kembali kepada mereka.”
Lalu ia tersenyum tipis.
“Tapi aku selalu tahu…
Hana akan memilihku pada akhirnya.”
Di terowongan…
Hana menatap James dengan ketakutan.
“James… dia… dia akan lakukan apa pun… apa pun… untuk dapatkan aku kembali…”
James meraih pipi Hana, menatapnya sangat dekat.
“Kalau dia ingin menyentuhmu—
dia harus membunuh aku dulu.”
Hana terdiam.
Dan di balik ketakutannya…
tumbuh sesuatu yang lain.
Kepercayaan yang tidak pernah ia rasakan selama dua tahun dalam ketakutan.
see you..
25-11-2025
By : Elara21