Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Monic Dan Anin
Setelah mendapat informasi yang lebih detail dari Monic, Arkan langsung menuju unit apartemen Vanesha. Ia mencoba memasukkan password unit apartemen Vanesha sesuai arahan Monic, tapi tak bisa. Itu percuma sebab berapa kali password yang ia masukkan salah.
Arkan terpaksa mendobrak yang kemudian dibantu oleh orang-orang kiriman Monic. Pintu berhasil dibuka. Arkan langsung mencari keberadaan Vanesha. Satu persatu kamar ia cari, hingga ia berhenti di kamar terakhir. Kamar yang gelap, tanpa pencahayaan.
"Vanesha?"
Arkan melangkah masuk. Ini satu-satunya kamar terakhir yang belum ia datangi. Saat ia berada cukup jauh masuk, pintu tertutup dan terdengar dikunci.
Arkan segera berbalik dan langsung mendapat pelukan dari seseorang. "Arkan ...." Suara lirih dan penuh desahan menggoda membuat Arkan mengeraskan rahang nya.
Dengan sedikit tenaga, Arkan mendorongnya hingga tubuh yang memeluknya itu menjauh. Tak lama, lampu kamar dinyalakan. Sosok Vanesha berdiri tak jauh di depan Arkan dengan gaun malam mini yang seksi, dengan potong dada rendah yang memperlihatkan gumpalan daging di dadanya yang menyembul.
Arkan mendengus marah. Nafasnya memburu, namun Vanesha malah tersenyum. Ia pikir, Arkan seperti itu karena melihat tubuh seksinya yang menggoda. Dengan penuh percaya diri, Vanesha mendekati Arkan sambil berjalan sensual.
Dengan gaya menggoda, ia berjalan mengelilingi tubuh kekar Arkan, lalu berhenti di belakang lelaki itu sambil menempelkan tubuhnya ke punggung Arkan.
Kemarahan Arkan pun semakin memuncak. Ia berbalik dan langsung mencekik leher Vanesha. Tatapannya tajam, penuh dengan api kemarahan. Di dorong nya tubuh Vanesha hingga membentur keras ke dinding tanpa ia lepaskan cekikan nya.
Wajah Vanesha pucat pasi atas reaksi Arkan, juga karena pasokan oksigen untuknya mulai menipis. Wanita itu menepuk lemah tangan Arkan dan menggeleng pelan.
Arkan tak peduli. Dia ingin menghabisi Vanesha. Wanita itu benar-benar tak mengindahkan ucapannya. Dia terlalu nekat, terlalu berani, terlalu percaya diri, dan terlampau melewati batas.
Saat Vanesha benar-benar akan mencapai nafas terakhirnya, Arkan melepaskan dengan kasar cekikannya. Hal tersebut membuat Vanesha meraup rakus udara sambil terbatuk-batuk.
Tak sampai di situ, Arkan mendekat, berjongkok di depan Vanesha lalu mencengkram keras rahang wanita itu.
"Kau benar-benar melewati batas, Vanesha!" Arkan melepas cengkraman dengan sangat kasar.
"Arkan—"
"Diam!" Pelan, hampir setengah berbisik, namun penuh penekanan.
"Kau menipu Ibu ku? Apa kau tidak malu?"
"Arkan, aku tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau. Aku ingin kau sadar, ada aku yang benar mencintai mu."
Arkan tersenyum miring. "Huh! Aku tidak meminta itu," ucap Arkan, benar-benar tak peduli. Sangat tidak berperasaan menurut Vanesha.
"Cih! Kau sudah membuang waktu ku. Menjijikkan!"
Tanpa sedikitpun rasa bersalah karena sudah bersikap kasar, Arkan dengan santainya meninggalkan Vanesha. Membuat wanita itu marah dan berteriak tak terima.
"Arkan sialan! Akan aku pasti kan, kau akan menjadi milikku! Milikku seorang, Arkan. Kau hanya akan tunduk padaku. Akan ku buktikan itu! Hahaha!"
***
"Hai, Anin!" Suara sapaan yang penuh semangat membuat Anin yang tengah mengunyah makanannya mengangkat wajah, menoleh ke sumber suara.
Bibir tertarik membentuk lengkungan senyum yang menawan ketika melihat Yoris. Sudah hampir dua minggu dia tak bertemu satu-satunya teman kantornya sebab kesibukannya yang tiada henti. Dia lebih banyak makan siang di ruangannya, atau terkadang di luar bersama Arkan saat ada pertemuan dengan klien.
"Boleh aku duduk?" Yoris tersenyum tipis. Saat Anin mengangguk, dia langsung mengambil tempat di kursi yang berhadapan dengan Anin.
Suasana kantin tak cukup ramai. Banyak kursi kosong yang tak ditempati. Tapi, Yoris lebih memilih duduk bersama Anin.
"Kau akhir-akhir ini sangat sibuk." Yoris memulai percakapan.
"Ya. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Bagaimana denganmu?"
"Ya, aku juga sangat sibuk. Tapi, aku masih bisa menyempatkan diri untuk ke kantin."
Anin tertawa pelan. Dia tahu, Yoris secara tak langsung mengejeknya.
"Kenapa tertawa?"
"Aku tahu, kau menyindir ku."
Bergantian Yoris yang terkekeh. "Ya, kau benar. Aku menyindir mu. Lagipula, sesibuk itu kah sampai kau melupakan makan siang?"
"Aku tidak melupakan makan siang. Aku hanya bergantian tempat untuk makan siang."
"Kau makan siang bersama ... Pak Arkan ...?" Yoris mencondongkan tubuhnya, berbicara setengah berbisik saat akan menyebut nama Arkan. Nama lelaki itu sangat sensitif. Jika ada yang mendengar, bisa dipastikan gosip buruk akan beredar dalam senyap. Dan itu akan berdampak pada karirnya dan Anin.
Walaupun ia tahu akan terjadi hal tersebut saat ada yang mendengar, Yoris tetap tidak bisa menahan mulutnya untuk bertanya. Dia sangat penasaran.
Anin lekas menggeleng mendapat pertanyaan tersebut. "Tidak. Kami makan siang bersama klien, itu saja."
Yoris mengangguk-angguk pelan. Ia menjauhkan tubuhnya dan mulai menyantap makanannya.
Dan tanpa mereka ketahui, kedua mata tajam Arkan terus mengawasi keduanya dari arah luar kantin. Dinding kaca yang transparan membuatnya mudah melihat kearah dalam kantin.
Tangannya terkepal kuat. Dengan segala perasaan aneh yang menggerogoti hatinya, Arkan memilih melanjutkan langkahnya, mengurungkan niat awalnya yang ingin makan di kantin kantor, mencoba makanan yang kata Anin sangat enak, sekaligus mengawasi perempuan itu.
Arkan kembali ke ruangannya, menghempaskan tubuh kekarnya pada sofa. Segala perasaan aneh itu masih melekat. Bersandar, Arkan memejamkan mata, berusaha mengendalikan perasaannya.
Namun, baru saja mata itu ia pejamkan, suara ketukan pintu membuatnya kembali membuka mata. Belum sempat ia bersuara, menyuruh orang dibalik pintu untuk masuk, pintu terbuka. Sosok Monic—ibunya—masuk, diikuti Vanesha dari arah belakang Monic.
Arkan berdecak pelan dalam hati. Jika yang datang hanya Ibunya, ia tak masalah. Tapi sekarang, ada Vanesha. Wanita itu sudah beberapa hari menghilang usai malam kebohongan itu. Kenapa harus muncul lagi?
"Untuk apa Ibu membawanya kemari?" Arkan bertanya dingin. Dia sudah mengingatkan Ibunya untuk tidak percaya Vanesha lagi. Tapi, apa sekarang? Ibunya malah datang ke kantornya membawa Vanesha bersama.
"Arkan, Ibu datang untuk membawakan makan siang untukmu. Vanesha kebetulan ingin bertemu dan meminta maaf padamu. Jadi, dia datang saja sekalian."
Arkan terdiam sambil mengeraskan rahang. Apa yang dilakukan Vanesha sampai Ibunya sangat percaya pada wanita itu?
"Kau sudah makan?" tanya Monic. Dia melirik satu box makan siang yang tergeletak di atas meja.
"Belum," jawab Arkan.
"Ya sudah. Kau makan makanan yang Ibu bawa saja." Monic mendudukkan tubuhnya lalu mulai menyajikan makanan yang dibawanya.
"Bu, aku belum ingin makan. Nanti saja." Selera makan Arkan hilang sejak ia temukan Anin bersama salah satu karyawan nya di kantin tadi. Di tambah ada Vanesha, dia semakin malas untuk makan.
"Baiklah, tidak masalah. Ibu harap kau habiskan makanan mu. Ibu harus pulang sekarang. Teman-teman arisan Ibu sudah menunggu."
"Ya."
"Vanesha, bicaralah dengan Arkan. Tante harus segera kembali." Vanesha mengangguk pelan.
Monic tersenyum. Mengusap pelan pundak putranya, wanita itu lalu beranjak, keluar dari ruangan Arkan.
Langkah wanita itu terhenti di depan ruangan sekretaris Arkan. Ia mendekat, namun ruangan itu kosong.
"Dimana wanita yang dimaksud Vanesha itu?" gumam Monic. Dia sudah tahu tentang wanita yang memiliki wajah mirip mendiang menantunya. Vanesha yang memberitahu. Dan satu alasan kenapa ia datang adalah karena ingin melihat wanita itu.
"Mungkin kah dia sedang makan siang? Kalau benar, aku tidak bisa menunggunya." Monic langsung menjauh dari ruangan Anin dan menuju lift.
Belum sempat tangannya menekan tombol lift, pintu lift terbuka dan menampilkan sosok Anin yang dengan sopan tersenyum padanya.
Anin tahu, tidak ada yang bisa mengakses lantai teratas perusahaan kecuali orang yang benar-benar diizinkan Arkan.
"Selamat siang," sapa Anin ramah, membuat Monic yang terdiam mematung sadar dan segera menampilkan senyum ramah.
"Selamat siang," balas Monic.
"Saya Anin, sekretaris Pak Arkan. Ada yang bisa saya bantu?"
Wanita itu kembali tersenyum. "Tidak ada. Saya hanya ingin bertemu dengan putra saya, Arkan. Dan kami sudah bertemu."
Anin cukup terkejut mendengar ucapan Monic. Dia tak menyangka wanita itu adalah Ibu dari atasannya. Dengan penuh kesopanan, ia meminta maaf pada Monic.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak tahu jika anda Ibunya Pak Arkan."
"Tidak masalah. Maaf tidak bisa berbincang lama dengamu. Saya harus segera kembali. Selamat bekerja," ucap wanita itu ramah.
"Terima kasih, Nyonya." Anin sedikit menunduk kan kepalanya sambil tersenyum ramah. Setelah tubuh Monic hilang dibalik pintu lift yang tertutup, Anin kembali ke ruangannya.
Namun, belum sempat ia mendudukkan diri di kursi kerjanya, tiba-tiba dia teringat pada Arkan, lebih tepatnya pada pekerjaan barunya yaitu membereskan sisa makan Arkan. Beberapa hari belakangan ini Arkan menambah tugas tersebut dalam daftar pekerjaannya.
Sementara di dalam ruangan, Arkan mendelik tajam pada Vanesha yang mulai tak waras. Wanita itu kembali berusaha menggoda dan merayunya.
Arkan hampir saja menendangnya seandainya pintu ruangan itu tak diketuk. Mendengus, Arkan berjalan ke arah kursi kerjanya. Dan lelaki itu tak sadar jika Vanesha mengikutinya. Sambil mendudukkan tubuhnya, Arkan berucap dingin.
"Masuk!"
Bruk.
Tepat saat ucapan itu selesai, Vanesha menjatuhkan tubuhnya ke atas pangkuan Arkan. Dan bersamaan dengan itu pula, Anin membuka pintu ruangan.
Deg!
Perempuan itu terdiam mematung di ambang pintu. Waktu seolah berhenti. Setitik perasaan tak nyaman menusuk hatinya. Di depan sana, Arkan sedang memangku seorang wanita yang tengah mengalungkan tangannya di leher Arkan.
Bibirnya terasa kelu. Matanya pun terasa memanas, seolah hendak menangis. Ia tak tahu, kenapa tubuhnya beraksi seperti ini. Perasaan yang menusuk hatinya membuatnya sakit.
"Anin ...?" Arkan tak kalah terkejutnya. Tubuhnya tak sempat bereaksi mendorong Vanesha menjauh. Semua titik fokusnya hanya pada Anin.
"Ma-maaf, Pak. Saya permisi." Anin bergerak cepat berbalik dan menutup kembali pintu.
Arkan yang hendak mengejar tertahan sebab Vanesha yang membatu. Geram. Arkan dengan sedikit tenaga mendorong Vanesha hingga jatuh dengan keras ke lantai.
Wanita itu meringis kesakitan. Sangat sakit. Tanpa belas kasihan, Arkan menarik kasar tangannya dan menyeretnya keluar dari ruangan, tak peduli jika Vanesha masih begitu kesakitan.
"Arkan—"
"Diam!!" Arkan membentak keras. Ia menyeret Vanesha hingga ke depan lift, lalu mendorong kasar wanita itu masuk lift setelah pintu lift terbuka.
"Sekali lagi kau berulah, aku tidak akan segan menghancurkan mu dan keluargamu!!" Dingin, lirih, namun begitu terngiang di telinga Vanesha.