Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Another Mystery
Kandungan gula dalam ice cream yang Suri makan membuatnya mengalami sugar rush. Di mana seharusnya energinya habis tak bersisa setelah berkelana seharian, Suri malah masih bisa mengajak Dean lomba lari. Lomba lari itu tidak Suri inisiasi secara cuma-cuma, dia buat sebuah taruhan sebagai imbalan bagi pemenangnya; siapa yang kalah, harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tersisa.
Jangan pikir Dean setuju dengan sukarela. Bahkan sebelum bibirnya bergerak memberikan reaksi pun, Suri sudah lebih dulu ambil start.
Dean tertinggal cukup jauh di belakang. Kecerdikan Suri membuat sesosok hantu pun tidak berkutik. Dean tidak diperbolehkan curang—menggunakan kekuatannya untuk menghilang, misalkan.
Dari halte bus—kurang lebih berjarak 600 meter—Dean berlari mengejar Suri. Kaki telanjangnya menerjang jalanan beraspal. Debu-debu halus menempel di telapak kakinya. Bebatuan kerikil menyapa ramah tiap kali Dean keluar dari jalur aspal, menjejak jalanan tanah di sekitar.
Sementara di depan, Suri berlari dengan gelak tawa riang. Rambutnya tidak diikat, scrunchie hitamnya hilang entah ke mana, menyisakan helaian rambut legam yang menari-nari di udara.
“Huuuu! Kau payah sekali, Dean!” ejek sang gadis setiap kali kepalanya menoleh ke belakang. Lidahnya juga tidak mau ketinggalan eksis, menjulur-julur disambut tawa meledek menyebalkan.
Dean mencoba tidak terpancing. Andai boleh lepas kendali, Dean ingin menerjang Suri dan memiting lehernya sampai gadis itu berteriak minta ampun.
“Ayo, Dean! Tambah kecepatannya! Huuu! Kenapa hantu sepertimu bisa payah sekali?”
“Aku tidak payah!”
“Kau payah!”
“Aku tidak payah!”
“Iya, kau payah! Dean payah huuuuu! Dasar hantu pa—waaaaa!!!”
Dada Dean bergetar hebat. Jantungnya di dalam sana jelas sudah tidak berfungsi, tapi dia masih bisa merasakan getarannya yang menimbulkan sensasi tidak nyaman.
Angin berembus kencang dari belakang tubuh Dean, mendorongnya bergerak secepat kilat, menangkap tubuh Suri sebelum gadis itu terjerembab.
“Hah…” Napas Suri terhela satu-dua. Wajahnya hampir mendarat di tanah bebatuan depan rumahnya, jika saja Dean tidak cepat menangkap tas punggungnya.
“Tolong … tolong angkat aku,” pintanya. Tangannya menggantung ke depan, melambai-lambai meminta pertolongan.
Dean hanya menghela napas pendek, lalu menarik tas punggung Suri sehingga sang gadis bisa kembali berdiri tegak.
Setelah dibantu, Suri memegangi dadanya, mencoba merasakan detak jantungnya bergemuruh hebat setelah sebelumnya sempat berhenti sesaat.
“Sudah kubilang jangan lari-lari,” kata Dean tiba-tiba.
Suri melirik dengan bibir berkomat-kamit. “Pertama, terima kasih sudah menolongku,” balasnya sewot, “kedua….” Gelagatnya tampak mencurigakan setelah menciptakan jeda. “Lombanya tetap jalan!” sambungnya, seraya mendorong dada Dean kemudian kembali berlari.
Begitu kakinya berhasil mencapai teras, Suri berteriak senang. “Yeay! Aku menang!” Kedua tangannya terangkat di udara. Kakinya melompat-lompat kegirangan.
Tidak ada respons yang bisa Dean lakukan selain menggeleng pelan. Ia lalu—mau tak mau—melangkah mendekat karena Suri semakin heboh melambaikan tangan.
“Sudah, sudah, jangan berteriak terus, nanti tenggorokanmu sakit.” Dean menarik kedua tangan Suri lembut, membimbing sang gadis agar berhenti merayakan kemenangannya secara berlebihan.
Ajaibnya, Suri menurut. Gadis itu mengulurkan tangan hendak membuka pintu rumah. Namun ketika tangannya menyentuh kenop, ia berhenti sejenak. Pandangannya terkunci pada kursi goyang tua di teras yang bergerak pelan tertiup angin. Bibirnya terkatup rapat, tetapi batinnya berisik; Ke mana Mirah? Kenapa ia menghilang juga, padahal kami tidak punya masalah?”
Hal ini mengganggunya sejak kemarin. Hilangnya Claire dan Kenneth mungkin masih bisa Suri pahami. Wajar keduanya absen menampakkan diri karena sedang berseteru dengan Suri. Sedangkan Mirah? Terakhir kali bertemu, Suri bahkan masih sempat curhat soal guru Fisika baru di kelasnya. Guru perempuan berambut blonde, gemar berpakaian seksi dan make up on point. Desas-desus mengatakan guru baru itu simpanan kepala sekolah, jadi segala gerak-geriknya dimaklumi meski tetap jadi omongan guru-guru lain di belakang.
Ah... Padahal aku ingin curhat juga soal kekasih Dean.
“Suri.” Dean menepuk pundak Suri cukup keras. Menyadari sang gadis tengah melamun.
Suri sedikit tersentak, tetapi berpura-pura tidak ada masalah. “Ayo masuk,” ajaknya.
Dean hanya mengangguk. Tunduk mengekor di belakang Suri kala kaki kecil sang gadis mulai terayun lagi memasuki rumah.
Dengan Dean di belakangnya, Suri melangkah dengan suasana hati yang berubah. Kakinya mendadak terasa seperti diseret. Berat sekali bahkan untuk sekadar berjalan normal.
Begitu tiba di ruang tamu, lagi-lagi ia temukan lukisan perempuan yang tergantung di sana dalam keadaan miring. Biasanya Suri akan mendekat dan membetulkan sudutnya sampai kembali sempurna dalam pandangannya, tapi kali ini Suri memilih tutup mata. Alih-alih menghabiskan waktu memandangi sudut tidak estetik itu, ia melanjutkan kembali langkahnya.
Namun, ketiadaan Mirah yang menyusul hilangnya Claire dan Kenneth ternyata tetap mengusik pikiran Suri. Biar bagaimana pun, tiga hantu itulah yang menemani hari-harinya setelah bangun dari koma. Maka ketika kaki Suri menjejak di tangga, ia berhenti sejenak. Sambil berpegangan lemah, Suri memutar tubuhnya 180 derajat.
Sementara dirinya sudah mulai mendaki anak tangga, Dean masih berhenti di ruang tamu. Tepatnya, beberapa langkah di depan lukisan perempuan, menyakui kedua tangan dan tatapannya tertuju pada lukisan itu. Fokus Suri teralihkan sejenak. Menerka sekiranya apa yang Dean pikirkan soal lukisan perempuan misterius dan sudut bingkainya yang selalu miring.
Kemudian pemikiran awal soal keberadaan tiga hantu kembali menarik sadar Suri. Ia memandang Dean lekat sebelum memanggil namanya.
Yang punya nama menoleh. “Kenapa? Kau butuh sesuatu?” tanya Dean.
“Selain Kenneth, apa kau pernah melihat Claire dan Mirah sejak kemarin?” balas Suri.
Dean menggeleng bahkan tanpa memakan waktu utnuk berpikir.
Suri menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya pasrah. “Jika nanti kau kebetulan bertemu salah satu dari mereka, tolong sampaikan bahwa aku sedang mencari mereka. Dan soal Claire … bilang padanya aku sudah tidak marah. Dia boleh datang ke kamarku. Dia boleh muncul di atas lemari dan menangis seperti biasa.”
Keheranan menghias wajah Dean, namun ia tetap menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, aku naik duluan. Menyusul lah kalau kau sudah selesai dengan urusanmu,” pungkas Suri, lalu kembali merajut langkah.
Dean hanya mengangguk, meski Suri tidak bisa melihatnya. Gadis itu sudah perlahan lenyap dari pandangannya, termakan kelokan tangga.
Sepeninggal Suri, waktu Dean tersita untuk kembali menyelami lukisan perempuan di hadapannya. Lama sekali ia terpaku pada satu titik di sana. Seakan jika terus ditatap begitu, Dean akan menemukan sesuatu; kenangan, jalan keluar, atau jawaban dari segala keresahan yang menghantui jiwanya.
Tetapi seperti kata yang di atas, ketika waktunya belum tiba, Dean tidak akan menemukan apa-apa. Maka setelah mengembuskan napas panjang, Dean mengulurkan tangan. Memaksakan senyum yang tak seberapa, Dean menggantikan tugas Suri, membetulkan sudut pigura lukisan perempuan di depannya agar tidak miring lagi.
"Kau begini karena jiwamu belum sepenuhnya kembali, ya? Tenang saja, kita akan mencari cara untuk membuatnya tegak sepenuhnya.”
Bersambung....