49 Days
Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Ada Claire, si gadis cantik bergaun merah yang suka menangis tiap jam setengah dua belas malam; ada Kenneth, si bocah laki-laki berusia lima tahun dengan rambut kuning mentereng yang hobi menyembunyikan barang; ada Mirah, si nenek tua berkebaya hijau emerald dan bersanggul rapi—juga bau sirih; dan hantu laki-laki berkemeja putih dengan celana bahan longgar warna hitam yang baru-baru ini muncul dekat tangga. Suri tidak tahu siapa namanya, jadi dia memanggilnya Si Tampan.
Si Tampan keluyuran tanpa mengenakan alas kaki. Dia selalu terlihat kebingungan. Dalam beberapa kesempatan, tatapannya terlihat kosong, dan ketika bersirobok dengan Suri, kesedihannya terasa begitu dalam.
Dari semua hantu yang Suri temui di rumah, Si Tampan adalah yang paling pendiam. Jika Claire suka mencuri waktu untuk curhat sambil duduk di atas lemari pakaian, Kenneth sekonyong-konyong rebahan di kasur sambil mengenyot susu (yang botolnya entah dia curi dari mana), atau Mirah yang sesekali melambaikan tangan agar Suri datang lalu mulai bersenandung—maka Si Tampan hanya selalu diam memperhatikan.
Suatu kali, Suri pernah melemparkan lelucon—yang mana tidak biasa dia lakukan—dan Si Tampan hanya tersenyum sambil terus menatapnya lekat-lekat.
Suri pikir, Ah, mungkin dia memang tidak suka banyak bicara.
Hari-hari kemudian, Suri tak lagi memikirkan bagaimana caranya mengajak Si Tampan bicara. Kehadirannya hanya Suri anggap sebagai pemanis—hitung-hitung penyegaran di antara bisingnya suara tangis Claire dan tajamnya aroma sirih milik Mirah.
Sampai kemudian, sembilan hari sejak pertemuan pertama mereka, Si Tampan akhirnya buka suara. Dimulai dengan perkenalan diri. Dia mengaku bernama Dean (dibaca Din), berusia 29 tahun ketika dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan fatal. Dia tidak bisa ke atas karena ada urusan duniawi yang belum selesai. Itu sebabnya, dia selalu tampak kebingungan.
Berbekal empati yang terlalu tinggi, Suri lalu bertanya, "Urusan apa yang belum selesai itu?"
Dean bilang, kekasihnya masih terbaring koma. Mereka mengalami kecelakaan mobil setelah pulang dari makan malam keluarga. Sebuah truk menghantam mobil hingga berguling-guling dan jatuh ke jurang. Dean tewas di tempat setelah beberapa saat mencoba bertahan, sedangkan kekasihnya sekarat.
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan?"
"Membantunya bangun," kata Dean. "Aku tidak akan bisa ke atas jika dia masih terbaring koma."
"Tapi, Dean," Suri menarik bantal, menaruhnya di atas pangkuan, "bukankah lebih mudah membuatnya mati? Dan bukankah itu akan lebih bagus untukmu, untuk kalian? Maksudku, kalian bisa ke atas bersama dan hidup kekal di sana."
Setidaknya, itu yang Suri tahu dari cerita orang-orang. Bukannya lebih bagus jika bersama di alam kekal, daripada terpisah dua dunia begini?
Dean menggeleng. "Tidak seperti itu konsepnya, Suri. Jika dia mati, aku hanya akan terbelenggu rasa bersalah dan akhirnya tidak bisa ke atas. Sedangkan dia bisa ke atas, tapi dengan ingatan yang sepenuhnya direset. Dia tidak akan ingat padaku, tidak akan ingat pada dirinya sendiri, teman-teman baiknya. Itu jauh lebih buruk daripada merelakan diri kami terpisah dua dimensi."
Suri tampak berpikir keras. Apa iya ada konsep seperti itu? Dia belum pernah mendengar teori ini sebelumnya. Apa hal ini bisa terjadi karena cinta Dean yang terlalu besar, atau sesungguhnya ada sesuatu yang lebih kompleks yang tidak Si Tampan ceritakan?
"Lalu," kata Suri, "apa yang bisa membuatnya bangun?"
Dean melangkah lebih dalam ke kamar Suri. Embusan angin dari ayunan kakinya yang tak kasat mata membuat pintu di belakangnya tertutup perlahan. Suri menoleh, sempat terkejut oleh suara engsel yang berderit lirih. Dean berhenti di sisi meja belajar, lalu menyandarkan bokongnya di sana dengan santai, meski hawa di kamar Suri mendadak terasa lebih mencekam.
"Keinginannya untuk hidup."
Suri melenguh panjang, lalu memutar tubuh hingga sepenuhnya menghadap Dean. "Dan bagaimana caranya membuat dia memiliki keinginan untuk hidup, Dean-ku yang tampan?" tanyanya, berupaya bersikap santai walau rasa penasarannya cukup besar.
"Dengan sering mengunjunginya."
Satu alis Suri naik, mendadak skeptis. "Lalu lakukanlah sendiri. Kau bisa berkunjung ke rumah sakit sesering mungkin, benar? Kau kan hantu, tentu mudah bagimu menyelinap ke kamar rawatnya tanpa diketahui siapa pun."
"Tidak," kata Dean. Ia menegakkan tubuh, nada suaranya berubah serius. "Harus ada seseorang yang mengajak raganya berinteraksi, itu sebabnya aku butuh bantuanmu."
Suri menyandarkan dagu di atas kedua tangannya, bersikap santai seolah perbincangan ini tidak menyangkut hidup dan mati seseorang. "Masalahnya, Dean," katanya lambat-lambat, "akan aneh jika gadis ingusan berseragam SMA sepertiku tiba-tiba datang menjenguk. Aku mengasumsikan dia seumuran denganmu, kecuali jika kau adalah pedofil menjijikkan yang halal dijadikan bahan bakar neraka."
"Aku bukan pedofil, itu yang pertama," ujar Dean tegas, sambil mengerucutkan bibirnya. "Yang kedua, aku bisa membawamu berkunjung tanpa diketahui siapa pun. Kita akan menyelinap ketika keluarganya tidak ada di sana, ketika perawat dan dokter sedang sibuk dengan pasien-pasien lain."
"Bagaimana caranya? Kau bisa membuatku menjadi tak kasat mata?" tanya Suri antusias, tubuhnya sedikit mencondong ke depan.
"Itu ... aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, karena akan menyalahi aturan," kata Dean sambil berusaha mengalihkan pandangan. "Pokoknya, aku butuh bantuanmu."
"Dan jika aku tidak mau?"
"Aku akan menghantuimu selamanya."
"Tak apa, kau tampan."
Dean mencondongkan tubuhnya tiba-tiba, suara dan tatapannya berubah datar. "Aku akan datang dengan wajah rusak dan lengan yang patah, kepala berdarah-darah, kaki hampir putus, leher—"
"Stop!" Suri memotong cepat. Wajahnya menegang, sementara kepalanya mulai dipenuhi imajinasi liar.
Belum apa-apa, sudah terbayang bagaimana ngerinya penampilan Dean yang luka-luka. Selama ini, dia bisa beradaptasi dengan kemampuan barunya karena semua hantu yang muncul selalu menampakkan penampilan terbaiknya.
Satu-satunya yang paling buruk hanya hantu penunggu toilet sekolah, dengan goresan merah di leher—bekas gorokan pisau yang tidak lagi mengeluarkan darah. Wajahnya pucat dan jalannya agak pincang. Tapi, dia tidak menyeramkan. Tidak galak. Tidak dipenuhi amarah.
"Aku akan bantu," kata Suri mantap.
Dean tersenyum lega. "Terima kasih. Besok, sepulang sekolah, aku akan membawamu ke rumah sakit."
"Besok?!" Suri berseru, setengah terlonjak. "Kenapa terburu-buru? Setidaknya beri aku waktu untuk bersiap-siap. Beri aku jeda untuk menyiapkan alasan kalau-kalau terpergok seseorang!"
"Tidak, Suri. Kita tidak punya banyak waktu."
Nada suara Dean membuat bulu kuduk Suri meremang. Ia merapatkan tangan ke dada, merasakan jantungnya yang berdetak tak tenang.
"Maksudnya?" tanyanya takut-takut.
"Aku hanya punya 49 hari untuk membuat kekasihku bangun. Jika lebih dari itu...."
Suri mendadak resah. Suaranya merendah. "Lebih dari itu ... apa yang akan terjadi? Padamu? Pada kekasihmu? Pada ... padaku?"
Bersambung.....
Holla, Hai. Setelah dipikir-pikir, aku nggak pandai kali nulis cerita romantis. Jadi kali ini kita ikuti kata hati aja ya guys, nulis horor-misteri yang nggak perlu pusing mikirin adegan romance ala-ala Drakor.
Alright, selamat datang, selamat membaca. Semoga betah dan terhibur, di tengah huru-hara dunia.
Regards,
Rain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Zenun
Hallo akak, aku penisirin dengan 14 harunya😁
2025-09-02
1
Zenun
iya benar, tak apa jika cuma dihantui doang😁
2025-09-02
1
Cecilia 👶
hadir thor. masih menyimak
2025-09-04
1