Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Kamu
"What?"
Bunga sangat terkejut mendengar permintaan Olivia itu. Tak perlu menunggu lama, Bunga langsung berdiri dan ingin segera pergi dari sana.
"Dok, tunggu sebentar." Olivia ikut berdiri ketika melihat Bunga yang telah berdiri. Masih banyak hal yang ingin dirinya sampaikan pada dokter ini.
"Kalau anda hanya ingin menyampaikan hal-hal bodoh seperti tadi, maaf, saya tidak tertarik."
Bunga segera keluar dari meja itu dan melangkah pergi. Namun baru selangkah, kembali ia mendengar perkataan Olivia yang membuatnya berhenti.
"Malik masih mencintai anda!"
Bunga berbalik menghadap Olivia.
"Saya tahu kalau Malik sempat bertemu dengan anda tiga bulan lalu, dok. Setelah itu, Malik selalu menangis di kamarnya setiap malam," ungkap Olivia.
Bunga terdiam sejenak. Ia ingat kata-kata terakhir yang ia ucapkan kala itu.
Aku ingin kamu menangis setiap malam. Aku ingin kamu menangis setiap kamu memikirkan aku.
Mungkinkah kutukan itu benar-benar terjadi, pikirnya.
"Dia pantas untuk mendapatkan itu!" Bunga kini berbalik kembali dan kali ini benar-benar meninggalkan Olivia walaupun wanita hamil itu terus memanggil namanya.
"Bodo amat mau apa, gue nggak peduli!" Ketika Bunga sudah memutuskan untuk tak peduli, maka ia benar-benar sudah tak peduli. Bahkan jika Malik melakukan bunuh diri sekalipun, ia tak akan peduli.
Terdengar kejam memang, namun rasa sakit hati yang Bunga rasakan membuatnya mati rasa terhadap pria itu.
"Lama amat, sih." Bunga yang baru saja kembali ke tempat dimana Silvia menunggu tadi langsung mendapatkan pertanyaan dari kakaknya.
"Toilet di lantai ini rusak, jadi pergi ke lantai atas," bohongnya. Ia tak mau kakaknya ini kepikiran mengenai dirinya. Cukup ia tak ingin jadi beban orang lain.
"Ooo." Silvia tak menaruh curiga apapun.
"Jadi mau beli earphone?" Silvia baru ingat jika tadi Bunga mengatakan ingin membeli benda itu. Saat ini mereka telah berjalan menuju ke arah parkiran mobil.
"Nggak jadi. Nanti aku cari di online aja," jawab Bunga.
"Kenapa nggak jadi? Mumpung lagi disini sekalian aja," saran Silvia.
"Kakak udah dari tadi jalannya. Udah kelamaan kita ini. Udah harus istirahat, Kakak." Bunga berbicara layaknya seorang dokter pada pasien, walau pada kenyataannya memang betul.
"Kan, udah istirahat juga tadi," jawab Silvia yang tak mau kalah. Sepertinya ibu hamil ini masih ingin berlama lama di Mall itu.
"Udah ntar aja," jawab Bunga kekeh. "Lagipula kalau masuk kesana takut ke beli yang lain."
"Alah, kayak nggak mampu aja, Dek," ejek Silvia.
"Gajiku belum sebesar itu lho,” jawab Bunga.
Akhirnya mereka tiba di mobil putih milik Silvia.
Bunga mengemudikan perlahan mobil itu. Obrolan ringan, canda tawa memenuhi perjalanan mereka. Namun tetap Silvia mengetahui kalau ada yang berbeda dari tawa Bunga. Ada masalah apa lagi, pikirnya. Setiba di rumah nanti ia pasti akan mencoba untuk berbicara kembali pada adiknya itu.
"Mampir minimarket bentar, Dek. Kakak mau beli es krim," pinta Silvia.
"Oke."
Bunga mulai memelankan laju kendaraannya dan pindah ke lajur kiri agar nanti tidak dadakan berhenti jika ada minimarket di depannya. Sekitar jarak 300 meter ternyata ada minimarket biru yang terkenal. Bunga berhenti di depannya.
"Aku ikut juga," ucapnya lalu kemudian ikut turun menyusul Silvia yang telah masuk duluan. Kapan lagi jajan di bayarin sama Kakak, pikirnya.
Bunga baru saja mendorong pintu kaca itu, lalu terdengar suara lucu yang memanggilnya.
"Tante Bunga..."
"Eh Jelita." Jelita berlari menuju Bunga dan meminta wanita itu untuk menggendongnya.
"Sama siapa kesini?" Bunga melihat ke arah datangnya Jelita dan terlihat Mbak Ane ikut di belakangnya.
"Sama Mbak Ane. Papa lagi isi bensin di depan," jawabnya. Aku lihat arah tunjuknya dan ternyata benar di seberang minimarket ini ada stasiun pengisian bahan bakar.
"Permisi, Mbak." Seseorang menegur Bunga dari belakang karena berdiri pas di depan pintu, dan itu menghalangi orang yang ingin keluar maupun masuk.
"Oh iya maaf." Bunga menggeser tubuhnya dan berpindah ke tempat yang aman.
"Jelita turun ayuk, kasihan Tantenya mau belanja itu," tegur Mbak Ane.
"Nggak apa-apa, Mbak Ane. Saya juga kangen sama Jelita," jawab Bunga.
"Jelita di rumah selalu ceritain Tante Bunga. Terus selalu bilang mau ketemu Tante Bunga lagi. Mbak Ane bilang aja, Jelita berdoa sama Allah biar bisa ketemu lagi sama Tante Bunga nya," cerita Mbak Ane sambil tersenyum.
"Akhilnya ketemu," sambung Jelita yang masih di gendongan Bunga.
"Iya, akhirnya ketemu ya. Doa Jelita di kabulkan sama Allah," jawab Bunga.
"Iya." Anak kecil itu tampak sangat senang. Ia bergelayut manja di gendongan Bunga.
"Anak siapa, Dek?" Silvia ternyata sudah selesai berbelanja. Sudah cukup penuh keranjang biru miliknya.
"Anak aku," jawab Bunga asal.
"Ih gemoy banget sih kamu." Silvia mendekat pada Jelita. Tak kuasa menahan dirinya, ia cubit pelan pipi anak itu. Beruntung Jelita tidak nangis. Anak itu tampak tertawa malu.
"Semoga anak Kakak lucu kayak dia ya, Dek," ujar Silvia.
"Anak Kakak cowok kalau Kakak lupa," ingatkan Bunga.
"Ya nggak apa-apa. Cowok tapi lucu dan gemoy kayak gini ni, pipinya kayak bapau."
Jelita masih malu-malu dan menyembunyikan wajahnya di leher Bunga.
"Jelita ayuk. Itu mobil Papa sudah di depan." Mereka melihat ke arah mobil yang di tunjuk oleh Mbak Ane. Sepertinya memang mobil itu baru masuk karena tadi tidak ada disana.
"Jelita pulang dulu, itu udah ditungguin sama Papanya." Bunga menurunkan Jelita dari gendongannya.
"Tapi nanti kita ketemu lagi, kan." Jelita tampak enggan untuk berpisah lagi dari Bunga.
"Insya Allah kalau jodoh kita berjumpa lagi," jawab Bunga.
"Ayuk Jelita." Mbak Ane memegang tangan gadis kecil itu dan mengajaknya segera keluar.
"Kami pamit ya, Tante," ucap Mbak Ane.
"Iya, Mbak. Hati-hati."
"Dadah Tante." Jelita melihat ke arah belakang sambil melambaikan tangan kirinya yang bebas.
"Dadah cantik."
"Dadah gemoy."
Silvia dan Bunga turut melambaikan tangan mereka.
"Lucu banget lho, Dek," ucap Silvia yang masih tak lepas menatap Jelita yang kini sudah masuk ke dalam mobil. "Kenal dimana kamu? Anak pasien?"
"Bukan. Ketemu di minimarket, eh jadinya akrab," jawab Bunga.
"Tapi lucu gitu ya, anaknya," ucap Silvia.
"Iya, emang ceria gitu anaknya." Mood Bunga yang sempat hancur tadi kini telah baik karena berjumpa dengan si bocah Jelita itu.
"Udah siap belanjanya?" tanya Bunga.
"Udah. Es krim buat kamu yang biasa, kan?"
"Iya. Ayuk bayar." Mereka kemudian berlalu ke arah kasir untuk membayar belanjaannya.
Tanpa mereka tahu, bahwa di mobil yang dinaiki oleh Jelita dan Mbak Ane tadi, suara Jelita memenuhi mobil dengan ceritanya yang senang bisa bertemu kembali dengan Bunga. Pria di kursi pengemudi hanya merespon dengan senyum, sambil sesekali melihat ke arah dalam, dimana Bunga berada.
"Ternyata benar kamu," ucapnya dalam hati.
*****
Terima kasih masih setia membaca cerita author ini. Jangan lupa like dan komen, ya ☺️
Kalau ada yang mau kasih bunga sama kopi juga author senang ☺️☺️
Semoga masih ada harapan Bunga kembali ke Fadi
Mama nya Jelita hamil dengan orang lain dan Fadi yg menikahi nya
Jelita bertemu dengan tante Bunga di IGD & Bunga tidak menyangka kalau papa Jelita adalah Fadi sang mantan.
2 mantan berada di IGD semua dengan kondisi yang berbeda