NovelToon NovelToon
BOSKU YANG TAK BISA MELIHAT

BOSKU YANG TAK BISA MELIHAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / LGBTQ / BXB
Popularitas:23
Nilai: 5
Nama Author: Irwin Saudade

Bruno menolak hidup yang dipaksakan ayahnya, dan akhirnya menjadi pengasuh Nicolas, putra seorang mafia yang tunanetra. Apa yang awalnya adalah hukuman, berubah menjadi pertarungan antara kesetiaan, hasrat, dan cinta yang sama dahsyatnya dengan mustahilnya—sebuah rasa yang ditakdirkan untuk membara dalam diam... dan berujung pada tragedi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irwin Saudade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16

Ernesto menurunkan kami tepat di depan salah satu pintu masuk utama rumah sakit. Pergerakannya konstan: orang-orang masuk dengan langkah tergesa-gesa, keluarga keluar dengan wajah lelah, perawat mendorong ranjang beroda. Lalu lintas yang tak berkesudahan yang terasa aneh sekaligus mempesona bagiku.

Aku belum pernah ke rumah sakit. Ini akan menjadi pertama kalinya bagiku. Dan aku tidak bisa menahan perasaan geli di perutku, campuran antara gugup dan penasaran.

"Baiklah... kurasa sudah waktunya untuk masuk," gumamku, seolah mencoba menyemangati diri sendiri.

Bangunan itu berdiri megah, dengan jendela-jendela yang memantulkan sore hari dan perasaan bahwa itu adalah tempat di mana hidup dan mati bisa bersilangan di lorong yang sama. Itu membuatku merasa terintimidasi.

"Kau tuntun aku," kata Nicolás dengan suara tenang, menggenggam tanganku. "Aku masih bergantung padamu."

Sentuhan jarinya menambatkanku pada kenyataan. Aku menggenggam tangannya dengan lebih erat dan menjalin jari-jari kami seolah-olah aku benar-benar bisa membimbingnya. Aku merasakan kehangatannya di kulitku dan, untuk sesaat, aku melupakan semua yang lain. Kami berjalan seperti itu, bersatu, hingga melewati pintu kaca yang terbuka dengan desahan elektrik.

Ruang penerimaan penuh dengan suara, langkah kaki, dan kebisingan mesin penjual otomatis dan telepon yang konstan. Di satu sisi, sebuah kedai kopi Starbucks meluap dengan aroma kopi yang baru dibuat dan roti manis. Aroma itu menghantamku dengan keras, membuatku mengeluarkan air liur.

"Apakah kau tahu di mana letak tangga?" tanyaku sambil mencari tanda.

"Tangga?" ulang Nicolás, mengerutkan kening di balik kacamata hitamnya.

"Ya... bagaimana kita akan naik ke lantai sepuluh jika aku tidak menemukan jalannya?"

Tawanya meledak hangat, spontan, dan membuatku merasa canggung, seolah-olah aku baru saja mengatakan hal paling naif di dunia.

"Kita tidak perlu menggunakan tangga," jawabnya, geli. "Kita akan naik lift."

"Lift?" tanyaku, mengangkat alisku.

"Metode kita untuk naik ke lantai sepuluh," katanya dengan wajar.

Aku terdiam sesaat.

"Aku belum pernah naik yang seperti itu..."

Aku mengarahkan perhatianku ke wajahnya. Kacamata hitamnya memberinya sikap elegan, tetapi senyumnyalah yang benar-benar melucutiku: lebar, tulus, seperti rahasia yang hanya dibagikan di antara kami.

"Baiklah," jawabnya dengan nada main-main dalam suaranya, "selalu ada yang pertama kalinya. Hari ini kau akan naik lift."

"Kurasa..." aku tersenyum malu-malu.

Terus berpegangan tangan adalah perasaan yang, entah bagaimana, sudah aku biasakan. Rasanya alami, seolah-olah tempatku berada tepat di sana, di antara jari-jarinya.

"Bawa kami," lanjutnya, "ke tempat kau melihat orang-orang menunggu di balik pintu logam."

Aku mengangguk, tetapi perhatianku teralihkan. Aroma kopi berbusa terus menghantuiku, membangkitkan keinginan yang sulit diabaikan.

"Kopi di kedai kopi itu terlihat enak..." kataku hampir tanpa sadar.

"Apakah kau ingin aku membelikanmu satu?" tanyanya dengan tenang.

"Tidak... aku hanya mengatakan. Ada banyak orang."

Aku berbohong. Tentu saja aku menginginkannya. Dan banyak.

"Benarkah?" nadanya terdengar tidak percaya, seolah-olah dia menebak apa yang aku sembunyikan.

"Itu tidak penting sekarang," jawabku cepat. "Aku akan mencari lift."

Aku menemukannya tepat ketika pintu logam terbuka dan orang-orang keluar berbondong-bondong. Kami mencoba maju, tetapi pintu-pintu itu tertutup terlalu cepat. Di atas bingkai, angka-angka merah mulai naik secara teratur.

"Apakah kita sudah sampai di lift?" tanyanya.

"Ya. Sekarang kita harus menunggu sampai terbuka lagi. Dan apa yang seharusnya aku lakukan ketika kita berada di dalam?"

"Sangat mudah: cari papan angka dan tekan satu dan nol. Lantai sepuluh."

Aku mengangguk, meskipun gagasan tentang "perjalanan vertikal" itu menimbulkan ketegangan tertentu.

Beberapa detik kemudian, pintu-pintu itu terbuka lagi. Kali ini, hanya kami berdua yang masuk. Ruangannya sempit, diterangi oleh cahaya putih yang memantul di cermin samping. Aku mengamati diriku tercermin di dalamnya dan menyadari betapa gugupnya penampilanku.

Seperti yang dia perintahkan, aku menekan angka sepuluh. Pintu-pintu itu tertutup dengan suara kering dan, segera, sebuah sentakan menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa ususku melompat.

Tanpa berpikir, aku berpegangan pada lengan Nicolás dan akhirnya memeluknya.

"Apakah ususmu ketakutan?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Ya," aku mengakui, dengan ekspresi tidak nyaman.

"Jangan khawatir. Semuanya baik-baik saja."

Suaranya seperti penenang. Aku menggenggam tangannya dengan lebih erat. Aku perhatikan bahwa dia, tanpa ragu, melingkarkan lengannya yang lain di tubuhku, mendekatkanku hingga aku merasakan kehangatannya menyentuhku.

Aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Baunya seperti parfum pria, elegan, dalam. Aroma itu bercampur dengan sesuatu yang lain: detak jantungnya yang mantap di balik kain kemejanya.

Waktu berhenti. Seluruh dunia bisa berada di luar sana, bergerak, tetapi pada saat itu hanya ada dia dan aku, tergantung di kapsul logam yang naik tanpa tergesa-gesa.

Sentakan lain menjalar di perutku dan kemudian rasa ringan yang aneh memberi tahuku bahwa kami telah tiba. Pintu-pintu itu terbuka, tetapi ketika aku mencoba menjauh untuk mendapatkan kembali peranku sebagai pemandu, pelukannya mencegahku.

Dia menahanku lebih kuat dari sebelumnya. Kehangatannya meresap ke dalam diriku, dan ketegasan dadanya memberiku kedamaian yang belum pernah kurasakan.

Mengapa dia tidak melepaskanku? Atau apakah aku yang tidak ingin menjauh?

Lift tetap terbuka, mengundang kami untuk keluar, tetapi lengannya menahanku di sana, terlindungi dalam keheningan yang sarat dengan sesuatu yang baru, hampir elektrik.

Aku merasa tenang, terlalu tenang. Dan pada saat yang sama, penuh harapan.

Seolah-olah, pada saat itu, sesuatu di antara kami sedang berubah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!