⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Berita Malam
Gudang bawah tanah itu hening, hanya suara rantai berderit pelan yang sesekali terdengar. Adam—atau Adom, begitu ia menyebut dirinya—terikat di kursi besi. Senyum lebarnya terukir, menyerupai ukiran menyeramkan di wajah pucatnya.
Aku melangkah perlahan, bayangan ku memanjang di dinding.
Aku diam sejenak, lalu tersenyum. Aku tahu bagaimana cara masuk ke dalam jiwanya yang rapuh—bukan dengan pukulan, bukan dengan luka fisik, melainkan dengan membangkitkan hantu masa lalunya.
Aku berdiri di hadapan Adam, menatapnya dengan pandangan meremehkan. Ia membalas dengan senyum tipis, membuatku sedikit mengernyit. Namun aku datang ke sini bukan untuk jawaban. Aku datang untuk bermain gila.
"Sepertinya kau sudah siap, ya?" godaku sambil tertawa kecil.
Adam ikut tertawa, seolah benar-benar siap. Aku makin bersemangat, mengusap kedua tangan, seperti orang yang tak sabar memulai permainan.
Aku menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya. Dari saku, aku mengeluarkan ponsel, lalu memutar sebuah rekaman suara anak kecil. Volume kuperbesar, memastikan Adam mendengarnya jelas.
Beberapa detik kemudian, wajah Adam berubah. Dia terlihat panik sambil tersenyum lebar. Ia menggeleng kuat, matanya mulai berkaca-kaca penuh ketakutan.
Aku tertawa keras, puas melihat reaksinya. Ia mencoba menutup telinganya, namun sia-sia. Suara itu seakan menembus langsung ke kepalanya. seperti kaset rusak yang terus berputar di kepalanya.
"ARGGGGG!"
Aku memperbesar volume. Mengulanginya. Lagi. Dan lagi. Hingga suara tubuh terhempas dan jeritan Adom bergema tanpa henti.
"BERHENTI!!!" teriak Adam, namun justru di situlah letak asyiknya.
Adam menggeliat, menutup matanya rapat-rapat. "Diam! Diam! Diam!" teriaknya frustasi. "Kau… kau sudah mati, Adam! Jangan ganggu aku lagi!"
Aku mencondongkan tubuh, menatapnya tajam. "Hey… apa kau sudah lupa siapa dirimu?" tanyaku dingin.
Adam terdiam, lalu menunduk. Tiba-tiba ia tertawa. Tawa absurd itu terlihat menyeramkan.
"Hahaha... Aku Adam, bukan... Aku Adom... Aku Adom... Hahaha!" katanya dengan nada histeris.
"Aku Adom yang hidup… aku Adom yang dicintai semua orang!"
Aku tersenyum, ingin menantangnya lebih jauh.
"Bukankah Adom itu sudah meninggal?" godaku.
"Kau tahu tidak? Aku dengar-dengar Adom dibunuh oleh saudaranya sendiri. Namanya siapa, ya? Aduh, aku lupa... Tapi sebentar, aku coba ingat," ucapku sambil mengetuk bibir dengan jari, pura-pura berpikir.
Adam menggeleng kuat, memejamkan mata, seolah sedang menggali masa lalu yang kelam.
"Oh ya! Aku ingat... Namanya itu..." Aku menjeda. "Ehmm... Ad—"
"CUKUP! ARGGGG!" Adam menjerit histeris.
Aku tertawa puas. Mataku menoleh ke kiri dan kanan, mencari benda yang bisa memperparah kekacauannya. Pandanganku tertuju pada sebuah cermin besar yang retak.
Aku berdiri, mengambil cermin itu, lalu meletakkannya di hadapan Adam. Ia membuang muka, memberontak, tak ingin melihat pantulan wajahnya yang terpecah-pecah.
Di dalam cermin itu, Adam seperti melihat wajahnya berganti-ganti—kadang Adam kecil yang murung, kadang Adom kecil yang tersenyum. Wajah itu berubah terus tanpa henti, hingga Adam kehilangan kepastian siapa dirinya.
Aku lalu menyalakan rekaman suara ayah Adam, yang sudah aku rekayasa. Suara itu kasar, penuh kebencian.
"Adam, kau anak sial! Bukan anakku! Kau pembunuh! Adom yang seharusnya hidup, bukan kau!"
Suara itu kuputar berulang kali, semakin keras, menggema memenuhi ruangan. Adam menjerit, berusaha menutup telinga, tapi borgol menahannya. Pergelangan tangannya berdarah karena terus memberontak.
Aku berdiri tegak, menatapnya dingin.
"Inilah hukumanmu. Kau ingin jadi Adom? Maka dengarlah tawanya setiap malam. Kau ingin lari dari Adam? Maka lihatlah wajah ayahmu memandangmu dengan benci selamanya. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada akhir."
Adam akhirnya meledak dalam tawa bercampur tangis. Matanya kosong, bibirnya menyunggingkan senyum aneh, sementara dari tenggorokannya keluar suara terputus-putus.
"A-Adom… aku Adom… aku… bukan… Adam…"
Saat itu, aku tahu ia sudah pecah. Jiwanya hancur, terjebak dalam labirin masa lalu yang tak akan pernah berhenti.
Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Pengadilan selesai." Gumam ku pelan.
Namun dalam hati, ada bisikan kecil yang tak bisa kuabaikan—semakin lama aku menghukum para pendosa, semakin aku menyerupai mereka. Mungkin bahkan lebih gila. Tapi aku menepis pikiran itu.
"Lihat wajahmu sepuasnya. Aku pergi dulu," ucapku sambil berbalik, melambaikan tangan.
Adam menggeliat brutal, tubuhnya bergerak liar. Tapi aku tetap melangkah pergi, seolah tuli, tak peduli.
Ia kini terjebak di dunia baru yang telah kuciptakan untuknya.
***
Malam itu, aku duduk santai di depan televisi, ditemani secangkir kopi hangat. Dengan satu sentuhan pada remote, layar menampilkan berita tentang seorang pemuda yang hilang selama seminggu tanpa kabar. Aku memfokuskan pandangan ke layar sambil menyeruput kopi perlahan.
"Breaking news. Seorang pemuda berusia 20 tahun bernama Adam Stroyoga Putra dilaporkan telah hilang selama satu minggu tanpa jejak."
Aku meletakkan gelas ke meja, lalu tersenyum samar. Tiba-tiba Rafael datang berlari dan duduk di sampingku ketika mendengar berita itu. Matanya terpaku pada berita itu.
"Paman... Itu Adam! Paman nggak takut ketangkap?" tanya Rafael sambil menunjuk layar televisi.
Aku menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Takut? Untuk apa?"
Rafael terdiam sejenak, lalu menatapku dengan ekspresi bingung.
"Benar paman nggak takut? Kalau polisi tahu kejahatan paman gimana? Paman nggak takut masuk penjara?"
Aku tertawa kecil, senyum sinis mengembang di wajahku.
'Kalau kejahatan aku terbongkar, berarti..." Ucapku sambil mencodongkan tubuh ke arahnya, menatap tajam. "Kamu... pengkhianatnya," bisikku lirih namun tajam.
Rafael yang tadinya tersenyum lebar langsung berubah ekspresi. Wajahnya kaku, matanya menatapku dengan canggung. Ia tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.
"Hehehe... Paman bisa aja. Nggak mungkin lah! Kalau paman ketangkap, berarti aku juga dong ikut tertangkap. Aku kan bersekongkol sama paman..." ucapnya antusias, mencoba menutupi kegelisahan dengan senyum lebar.
Aku hanya diam, membuang muka sambil terkekeh geli.
"Paman... Lalu kapan paman bebaskan Adam?" tanya Rafael penasaran.
Aku menoleh sebentar. "Kamu lihat saja nanti," jawabku dingin, lalu beranjak pergi. Sebelum benar-benar melangkah keluar, aku berhenti sejenak dan melirik Rafael yang kini menatapku penuh tanya.
"Jangan lupa besok pagi kamu beri makan Adam sebelum ke sekolah. Aku ada urusan," ucapku datar. Baru saja Rafael hendak bicara, aku langsung memotong. "Jangan banyak tanya. Kerjakan saja."
Aku pun pergi, meninggalkan Rafael yang masih duduk terpaku, penuh kebingungan dan rasa ingin tahu.
Malam semakin larut. Udara dingin menyelimuti rumah itu, hanya suara jangkrik di luar jendela yang terdengar samar. Rafael masih duduk terpaku di sofa, matanya menatap kosong layar televisi yang kini menayangkan acara lain. Namun pikirannya berputar—tentang Adam, tentang pamannya, dan tentang dirinya sendiri.
"Kalau paman ketangkap… aku juga ikut terseret…" gumamnya dalam hati. Senyum tipisnya memudar, digantikan dengan kecemasan yang sulit ia sembunyikan
***
Keesokan paginya, Rafael menuruni tangga dengan langkah pelan. Ia kini sudah mengenakan topeng dan sweater hitam, membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih.
Setiap langkah terasa berat, jantungnya berdetak lebih kencang, seolah tubuhnya menolak untuk masuk ke dalam gudang bawah tanah itu.
Ia masih ingat jelas—sosok Adam jauh lebih menyeramkan daripada Aaron.
Saat pintu ruang bawah tanah terbuka, bau pengap bercampur darah kering langsung menyergap hidungnya.
Lampu redup menggantung di langit-langit, memantulkan bayangan rantai yang berayun pelan.
Adam masih duduk di kursi besi. Tubuhnya kurus, rambutnya acak-acakan. Tapi yang paling mengganggu adalah senyum lebarnya—senyum yang tak pernah hilang.
Rafael menelan ludah, lalu meletakkan nampan di lantai, berusaha tak menatap langsung.
Adam tertawa kecil. "Kau takut padaku?"
"A-aku tidak takut…" jawab Rafael terbata.
Adam menunduk, lalu perlahan mengangkat wajahnya. Matanya merah, penuh kegilaan.
"Kalau begitu… bebaskan aku. Pamanmu itu… gila. Dia bukan pahlawan. Dia monster haus darah. Kalau kau bebaskan aku, kau akan jadi pahlawan kecil. Dan aku… akan jadi temanmu."
Rafael membeku. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Kata-kata Adam menusuk pikirannya, menggoyahkan keyakinannya.
Namun sebelum ia sempat menjawab, suara langkah berat terdengar dari atas tangga. Lion berdiri di ambang pintu, mengenakan topeng hitam, menatap tajam.
"Rafael…" suaranya dingin, menusuk. "Kau sedang bicara apa dengan dia?"
Rafael tersentak. Tubuhnya kaku. Ia mencoba tersenyum, tapi suaranya bergetar.
"T-tidak, Paman… aku hanya memberinya makan…"
Aku menatap Adam yang masih menyeringai lebar.
"Oh, aku tahu Adam pandai bicara. Dia suka meracuni pikiran orang. Tapi ingat, Rafael…" aku menuruni tangga perlahan, mataku tak lepas darinya. "Orang yang paling mudah dipatahkan bukanlah mereka yang lemah… melainkan mereka yang mulai meragukan siapa yang harus dipercaya."
Rafael menunduk, gemetar. Adam tertawa histeris ketika mendengar kata-kata itu. Suaranya menggema di ruangan pengap itu.
"Lihat! Kau akan jadi aku yang baru. Kau akan mengerti nanti. Karena pada akhirnya… dia akan membuatmu gila juga!"
Aku mendekat, menepuk bahu Rafael dengan tangan dingin.
"Kau percaya padaku, kan?” tanyaku lirih, namun tajam. "Aku tak pernah memintamu untuk bergabung. Kamu sendiri yang memaksaku."
Rafael mengangguk cepat. "Bukannya Paman lagi ada urusan, ya?" tanyanya, mencoba mengalihkan.
Aku hanya mengangguk. "Aku hanya ingin melihat perkembangan dirimu."
Rafael mengangguk paham, lalu menaruh nampan di lantai. "Kau makan sendiri. Aku tak mau mengurusmu," ucapnya datar, lalu bergegas pergi.
Aku tersenyum tipis, menatap Rafael yang sudah menghilang di balik pintu. "Bagus," gumamku.
Kemudian aku beralih menatap Adam, tertawa mengejek. "Kau lihat sendiri, bukan?"
Adam mendongak menatapku tajam, lalu sedikit menunduk. "Kau… lepaskan aku…" teriaknya.
Aku malas menanggapi. Aku berbalik, meninggalkan Adam yang terus berteriak dan memberontak.
"Lepaskan… Lepaskan aku..."
Suara itu menggema, namun aku tetap melangkah pergi. Di balik pintu yang tertutup, Adam kembali terjebak dalam dunia yang tak pernah ia pilih—dunia yang kini menjadi penjaranya.
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"