Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konflik yang Memuncak
Fara tiba di rumah Aluna setelah pertemuannya yang kacau di kafe. Ia masuk ke dalam dengan membanting pintu, meluapkan amarahnya. Aluna, yang sedang berada di meja makan, mendengar suara itu dan bergegas menuju ruang tamu. Ia melihat Fara yang sedang marah besar.
Mata Fara bertemu dengan Aluna. Tanpa ragu, ia menghampiri Aluna dan menuduhnya.
"Lo! Lo yang bocorin semuanya! Lo yang bilang sama Revan dan Damian soal gue, kan?! Jawab lo, Dasar Penghianat! " teriak Fara.
"Enggak, Far, gue enggak bilang apa-apa sama mereka," jawab Aluna, mencoba menjelaskan. "Fara, justru mereka sudah tahu sendiri. Mereka sudah tahu kalau lo pelakunya. Mereka juga nyamperin gue dan nanya apa lo yang ngelakuin ini, tapi gue enggak bilang apa-apa. Gue juga kaget pas tahu mereka ternyata sudah tahu lo pelakunya. Jadi, dengan terpaksa gue jujur. Gue ceritain semuanya."
"Lo, kenapa lo cerita semuanya?!" teriak Fara.
"Fara, saat itu gue enggak tahu harus berbuat apa," kata Aluna, suaranya bergetar. "Gue terpojok, Far. Gue terpaksa dan gue enggak punya pilihan selain mengaku."
"Gue benci sama lo, Aluna," kata Fara dengan suara penuh kemarahan. Ia kemudian menabrak Aluna yang berada di depannya dan bergegas naik ke kamar, meninggalkan Aluna.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Aluna terduduk di lantai, menangis. Ia merindukan mamanya dan ingin memeluknya. Ia bangkit, berjalan ke ruang makan di mana ponselnya berada. Ia mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi, tetapi tetap sama.
Sementara itu, di luar negeri, Arum sedang membuat makanan di dapur. Ia mendengar ponsel mamanya berdering. Arum mengabaikannya, tetapi ponsel itu berdering lagi.
"Mama!" teriak Arum. Ia tidak mendapat jawaban, jadi ia berteriak lagi. "Ma! Mama!"
Mamanya keluar dari kamar mandi. "Iya, ada apa sih, Arum, teriak-teriak?" tanyanya.
"Mama dari mana sih? Arum udah teriak-teriak dari tadi tahu enggak," keluh Arum.
"Maaf, Arum, tadi Mama lagi di kamar mandi lagi nyuci. Ada apa?" jawab mamanya.
Arum memberikan ponsel itu. "Nih."
"Siapa?" tanya mamanya.
"Aluna," jawab Arum singkat.
Mamanya menerima ponselnya dan duduk di ruang makan. "Halo, Aluna? Hai, apa kabar?"
"Mama..." kata Aluna dengan suara terisak.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya mamanya, suaranya langsung dipenuhi kekhawatiran.
Aluna tidak menjawab, ia hanya memanggil mamanya, suaranya terisak.
"Mama..."
"Iya, Sayang, Mama di sini," kata mamanya. "Kamu kenapa? Cerita sama Mama, ya."
Arum yang sedang memasak di dapur, diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka.
"Fara..." ucap Aluna, kata itu lolos dengan suara bergetar.
"Ada apa dengan Fara?" tanya mamanya, cemas.
"Ma, aku..."
Sebelum bisa melanjutkan, Aluna menoleh ke arah kamarnya, memastikan Fara tidak mendengar. Ia kemudian berjalan keluar rumah, mencari tempat yang lebih privat.
"Aluna? Ada apa dengan Fara?" tanya mamanya lagi.
Sambil terus terisak, Aluna pun mengatakan, "Ma, Aluna enggak mau tinggal sama Fara lagi, Ma! Tolong Aluna, Ma!"
"Iya, kamu jelasin dulu. Ada apa dengan Fara? Kenapa kamu enggak mau tinggal sama Fara, Aluna?" desak mamanya.
Isak tangis Aluna terdengar jelas di seberang telepon. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. Suaranya bergetar, namun perlahan menjadi lebih jelas.
"Ma, Fara... dia sudah fitnah aku, Ma," ucap Aluna.
"Dia menyuruh aku buat bikin gosip tentang Valeria, temanku. Tapi aku enggak mau, Ma, aku menolak. Terus, akhirnya dia menyuruh orang lain buat nyebarin gosip jelek-jelekin temanku, Ma."
"Tapi kenapa Fara bisa melakukan itu, Aluna?" tanya mamanya, bingung.
"Dia... dia cemburu sama Valeria karena Revan dan Damian dekat sama dia," jawab Aluna. "Dia bilang ke aku kalau dia enggak suka lihat mereka terus-terusan nempel sama Valeria, jadi dia suruh Risa buat sebarkan gosip itu lewat akun anonim. Bukan itu saja, Fara juga menjelekkan Valeria pakai namaku, Ma, sampai-sampai Valeria marah sama aku. Dia pikir aku yang sudah nyebarin gosip dan menjelek-jelekannya. Aku juga enggak tahu kenapa Fara bisa nulis kayak gitu."
Aluna berhenti sejenak, menahan tangisnya.
"Aku... aku enggak tahu kalau dia bisa bertindak sampai sejauh itu, Ma. Aku pikir dia enggak akan melakukannya," lanjutnya. "Tapi ternyata dia dengan tega melakukan itu, Ma. Sampai-sampai dia manfaatin Risa karena ibu Risa itu rival bisnis papanya Kian. Aku kaget, Ma. Aku enggak tahu harus berbuat apa. Revan, Kian, sama Damian sudah tahu semuanya. Mereka datang, mereka nyamperin aku, nanya aku apa aku yang ngelakuin ini semua. Aku bilang ke mereka kalau aku enggak tahu, tapi mereka kayak enggak percaya. Mereka terus desak aku sampai aku... terpaksa cerita semuanya."
"Pas Fara pulang, dia marah banget sama aku. Dia bilang aku pengkhianat. Dia benci sama aku, Ma," kata Aluna, suaranya kembali terisak. "Aku capek, Ma. Aku enggak mau tinggal sama dia, Ma. Aku takut sama dia. Dia bilang benci sama aku, dan aku ngerasa... aku enggak punya siapa-siapa di sini."
Di seberang telepon, suara mamanya berubah penuh amarah, tapi ia berusaha menahannya agar tetap tenang.
"Sayang, dengar Mama baik-baik. Kamu enggak sendirian, ada Mama. Ada Papa. Enggak ada yang namanya kamu sendirian, sayang. Jangan takut, ya."
Aluna pun memohon. "Ma... Mama pulang, ya? Tolong Aluna, Ma."
"Aluna, Mama juga mau pulang, Sayang. Mama akan bilang dulu sama Papa, ya. Nanti Mama kabari kalau Papa mengizinkan Mama pulang ke Indonesia hari ini. Kamu istirahat, ya. Dan kamu tidurnya di kamar Mama saja," kata mamanya.
"Iya, Ma. Kabari aku ya, Ma," kata Aluna.
"Iya, Sayang. Pasti, nanti Mama kabari kalau Papa sudah pulang," jawab mamanya.
Arum yang sudah duduk di meja makan berkata,
"Ma, Mama jangan ambil keputusan sendiri, dong."
Mamanya menatap Arum. "Enggak, Mama enggak ambil keputusan sendiri. Mama bilang Mama mau tunggu Papa pulang, baru Mama bicarakan dengan Papa kamu."
"Ah, terserah," kata Arum, lalu beranjak pergi ke kamarnya.
Mamanya menghela napas, merasa lelah dengan sikap Arum. Ia kembali fokus pada percakapan dengan Aluna.
"Aluna, Mama akan bicara sama Papa, ya. Nanti Mama kabari kalau Papa mengizinkan Mama pulang ke Indonesia hari ini. Kamu istirahat, ya. Dan kamu tidurnya di kamar Mama saja," kata mamanya.
"Iya, Ma. Kabari aku ya, Ma," kata Aluna.
"Iya, Sayang, pasti. Nanti Mama kabari kalau Papa sudah pulang," jawab mamanya, lalu menutup telepon.
Mamanya duduk menunggu dengan gelisah. Ia tahu suaminya pasti akan sangat lelah setelah bekerja. Beberapa jam kemudian, pintu apartemen terbuka dan suaminya, Ellian, masuk.
"Papa," sapa Sinta, wajahnya terlihat cemas.
"Mama," balas Ellian, melihat ekspresi istrinya. "Ada apa?"
Sinta berkata, "Pa, Aluna telepon. Dia minta Mama pulang. Tolong izinkan Mama untuk pulang hari ini."
Ellian terkejut. "Hari ini?! Enggak bisa, Sinta. Kalau kamu mau, bulan depan."
Ia kemudian meninggalkan istrinya dan berjalan ke kamarnya. Sinta mengikutinya dan berkata,
"Pa, tolong, bolehkah aku untuk pulang ke Indonesia hari ini? Aku kasihan sama Aluna, dia sendirian."
Ellian berkata, "Sendirian? Dia ada Fara, bukannya dia tinggal sama Fara?"
Sinta berkata, "Ya, dia memang sama Fara, tapi Aluna enggak mau tinggal sama dia, Pa. Fara..."
"Fara kenapa?" kata Ellian.
Sinta mengatakan, "Fara sudah keterlaluan. Dia sudah menfitnah Aluna."
"Maksud kamu apa?" tanya Ellian.
Sinta menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Ia menjelaskan bagaimana Fara, sahabat Aluna, ternyata adalah dalang di balik semua gosip yang menimpa temannya. Ia juga menceritakan bagaimana Fara menuduh Aluna sebagai pengkhianat dan bahkan membuatnya ketakutan.
"Aluna meminta Mama untuk pulang," kata Sinta, suaranya bergetar. "Dia bilang dia takut, dia merasa sendirian."
"Jadi, tolong izinkan aku untuk pulang sekarang," kata Sinta.
Ellian berkata, "Kalau kamu mau pulang sekarang, silakan. Tapi aku enggak akan kasih kamu uang untuk ongkos pesawat."
"Kenapa, Pa?" tanya Sinta.
"Karena Papa tidak ada uang untuk sekarang, Ma. Papa cuma ada uang untuk biaya kehidupan kita sehari-hari di sini dan belanja bulanan serta biaya lainnya. Tidak cukup untuk membeli tiket pesawat atau perjalanan kamu kembali ke rumah. Belum lagi biaya kamu dan Aluna selama di sana. Kalau kamu mau pulang ke Indonesia, tunggu bulan depan saat aku sudah mendapatkan gaji."
"Tapi, Pa... Aluna, Aluna butuh aku sekarang. Dia membutuhkan ibunya. Cuma aku satu-satunya di hidupnya," kata Sinta, terisak.
Ellian berkata, "Aku tahu, Sinta, aku tahu. Aku tidak melarang kamu untuk pulang. Aku meminta kamu untuk pulang bulan depan, itu saja."
Sinta berkata, "Tapi itu terlalu lama! Aku enggak bisa biarin Aluna sendirian. Kalau begitu, suruh Aluna saja ke sini, ya."
Ellian berkata, "Ma, tadi Papa bilang apa? Uangnya tidak cukup untuk kamu pulang ke Indonesia. Jangankan untuk kamu pulang, biaya untuk Aluna ke sini saja enggak ada. Kenapa kamu itu enggak mengerti?"
Sinta berkata, "Terus Aluna gimana? Aku enggak bisa biarin dia menderita. Aku enggak bisa biarin dia sendiri, yang di mana cuma ada aku setelah papanya hilang entah ke mana, yang hanya ada surat cerai."
Ellian menatap Sinta, ada kesedihan mendalam di matanya. "Aku tahu, aku juga sama. Aku ditinggal sama istri aku yang entah ke mana keberadaannya dan meninggalkan aku beserta anak-anakku yang masih kecil."
"Anak-anak? Apa maksudnya? Bukannya kamu cuma punya satu anak?" tanya Sinta, bingung.
"Enggak, aku punya dua putri saat itu," kata Ellian.
"Dia meninggalkan aku saat Arum usia 4 tahun dan seorang bayi yang baru lahir. Dan saat itu perusahaan aku mengalami kebangkrutan. Aku terpaksa mencari pekerjaan ke sana kemari sambil membawa mereka, tapi tidak ada yang memberikannya."
"Terus kenapa kamu enggak titipkan mereka ke saudara kamu?" tanya Sinta.
Ellian berkata, "Pada akhirnya aku coba menitipkan mereka ke salah satu kerabat, tapi dia menolak harus mengurus 2 orang yang di mana satu anak usia 4 tahun dan seorang bayi. Jadi aku hanya menitipkan Arum. Aku mencari pekerjaan lagi dengan membawa anak yang masih bayi. Setelah aku mendapatkannya dan mereka berkata apa aku akan bekerja dengan membawa bayi, aku mengatakan ya. Lalu dia menolaknya. Aku kembali pulang ke rumah kerabat, ia bertanya apa aku sudah mendapatkan pekerjaan, aku mengatakan yang sebenarnya. Terus dia mengusulkan untuk aku menyerahkan bayi kepada orang lain yang tidak bisa mempunyai anak. Aku pun dipertemukan dengan orang itu, sepasang suami-istri yang sudah 15 tahun tidak memiliki anak. Aku pun menyerahkannya. Aku terpaksa menyerahkannya karena aku tidak mau ia menderita. Aku ingin ia memiliki hidup yang layak. Dan karena aku tidak bisa menghidupi 3 orang sekaligus, yang di mana aku berpikir untuk menghidupi seorang anak yang masih kecil dan seorang bayi membutuhkan biaya yang sangat besar."
"Jadi, kalau kamu tetap mau pulang ke Indonesia sekarang, silakan, tapi pakai uang sendiri. Aku tidak ada," kata Ellian.
Setelah mengatakan itu, Ellian keluar kamar. Sinta, istrinya, berteriak, "Pa!" Namun, Ellian tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan sampai keluar apartemen.
Di dalam kamar, Sinta menangis. Ia berpikir bagaimana caranya ia mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat dan memikirkan nasib putrinya. Di luar kamar, Arum melihat mamanya menangis. Ia menghela napas berat dan kembali ke kamarnya.
Di luar halaman apartemen, Ellian duduk di taman. Ia membuka dompetnya dan melihat foto putri-putrinya yang masih kecil. Ia memeluk foto itu sambil menangis.
"Maaf, maafkan Papa, Nak. Maaf Papa sudah memberikan kamu kepada orang lain. Semoga kamu menjalani kehidupan yang lebih baik dari Papa dan semoga kamu selalu bahagia."
Setelah lama di luar, ia kemudian masuk ke dalam apartemennya dan menuju kamarnya. Ia melihat istrinya yang tidur membelakanginya sambil menangis. Ia kemudian duduk di tepi kasur dan berkata,
"Maaf, bukannya aku melarang kamu bertemu Aluna, tapi keadaannya seperti ini. Aku tidak bisa. Jika kamu mau Aluna ke sini, oke. Tapi dia harus berhenti sekolah."
Sinta mengangkat kepalanya. "Apa? Maksud kamu dia pindah sekolah ke sini?"
Ellian berkata, "Enggak, dia tidak bersekolah di sini. Maksud aku tidak bersekolah lagi, baik di sana atau di sini."
"Enggak bisa! Dia harus tetap sekolah," kata Sinta.
"Tapi itu jalan satu-satunya jika Aluna mau tinggal di sini untuk mengurangi biaya. Uang untuk pembayaran sekolah Aluna bisa kita gunakan untuk keperluan lain, membeli tiket pesawat dia, dan memenuhi kebutuhannya di sini. Memangnya itu semua tidak membutuhkan uang?" kata Ellian.
Sinta berkata, "Tapi tidak harus dia berhenti sekolah!"
"Kalau begitu biarkan dia tetap di sana," kata Ellian.
"Tapi aku enggak mau jauh dari dia. Aku mau menemaninya," kata Sinta.
Ellian berkata, "Kamu harus belajar untuk jauh dari putri kamu. Aku saja bisa, kenapa kamu enggak?"
Sinta berkata, "Itu berbeda. Kamu masih ada Arum, dia di sini ikut bersama kita, sedangkan Aluna dia sendiri."
"Masih ada paman dan bibinya, ada Fara," kata Ellian.
"Aku sudah bilang, Fara itu sudah berbuat jahat pada Aluna! Dia sudah memfitnahnya," kata Sinta.
Ellian berkata, "Oke, jika itu masalahnya tentang Fara, kamu bisa bicara dengan Bram dan Dina untuk mereka menasihati Fara dan tidak memperlakukannya dengan seenaknya, atau kamu hubungi kerabat kamu yang lainnya."
Sinta terdiam. Ellian melanjutkan, "Jika kamu tidak mau menghubungi mereka, aku yang akan menghubungi orang tua Fara."
Aluna masih menunggu kabar dari mamanya. Hari sudah malam dan jam menunjukkan pukul sembilan. Ia gelisah, duduk di meja makan, lalu berjalan mondar-mandir.
Tiba-tiba, Fara turun dari tangga dan berkata, "Lo ngapain, Aluna? Dari tadi lo masih di sini? Ini sudah jam berapa? Daripada mondar-mandir enggak jelas, lebih baik lo tidur sana."
Setelah mengatakan itu, Fara berjalan ke arah kulkas, mengambil segelas air minum, dan kembali berjalan menaiki tangga. Ia melihat Aluna yang hanya diam menatapnya, lalu menghela napas dan tidak menghiraukannya lagi.
Setelah Fara pergi, Aluna menuju kamar ibunya. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memeluk lututnya, menunggu. Kegelisahan di hatinya semakin memuncak seiring berjalannya waktu.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Keesokan harinya, Aluna terbangun dalam posisi yang sama. Ponsel masih berada di tangannya, namun ia tidak menemukan kabar sama sekali.
Di saat yang sama, di luar negeri, Ellian menghubungi Bram, ayah Fara yang juga merupakan kakak iparnya.
Panggilan pun terhubung. Suara Bram terdengar,
"Halo, Ellian. Tumben telepon sepagi ini? Ada apa?"
"Bram, aku meneleponmu karena ada hal serius yang perlu kita bicarakan," kata Ellian, suaranya terdengar dingin dan tanpa basa-basi. "Ini soal anak-anak."
"Anak-anak? Ada apa dengan mereka?" tanya Bram, terdengar bingung. "Apa Aluna dan Fara bertengkar?"
"Lebih dari itu," jawab Ellian. "Aku sudah tahu tentang apa yang Fara lakukan pada Aluna. Aku tahu dia dalang di balik semua gosip di sekolah, dan dia sudah menuduh Aluna sebagai pengkhianat."
Di seberang telepon, Bram terdiam sejenak.
"Maksudmu apa? Itu tidak mungkin. Fara tidak akan melakukan hal seperti itu," sanggahnya.
"Kemarin Aluna menghubungi Sinta, dia menceritakan semuanya. Kamu bisa tanya ke Aluna lebih jelasnya lagi," kata Ellian.
"Aku mau kamu menasihati anakmu agar tidak melakukan hal itu kepada Aluna," tegas Ellian. "Aku meminta padamu dan Dina untuk menjaga Aluna, bukannya malah menjahatinya, memfitnahnya. Masalah ini sudah merusak mental Aluna, dan aku tidak akan membiarkannya. Kami sudah menitipkannya pada kalian untuk menjaganya dengan baik, tapi apa ini?"
Bram berkata, "Baik, aku akan cari tahu terlebih dahulu dan aku akan menasihatinya jika dia terbukti melakukannya. Aku akan bertindak tegas pada dirinya."
"Baik, terima kasih, Bram," kata Ellian.
Tepat setelah Ellian menutup telepon, ponsel Bram berdering lagi. Nama Rex Adrian tertera di layar. Bram mengangkatnya dengan sedikit heran.
"Halo, Rex. Tumben telepon?" sapa Bram.
"Halo, Bram. Langsung saja, ada yang ingin saya bicarakan denganmu," jawab Rex Adrian, suaranya terdengar sangat serius. "Ini soal anak-anak. Terutama, soal Fara dan anak dari rival bisnis saya."
Hati Bram langsung tidak enak. "Maksudmu Risa? Ada apa dengan mereka? Apa ini ada kaitannya dengan gosip di sekolah?"
"Tepat," kata Rex. "Ini bukan sekadar gosip. Saya sudah memiliki bukti bahwa Fara dan Risa bekerja sama untuk menjatuhkan putri sahabat saya, Valeria, dan menggunakan ini untuk urusan bisnis."
Bram terkejut. "Urusan bisnis? Saya tidak mengerti."
"Saya sudah tahu semuanya, Bram," kata Rex. "Kian dan teman-temannya punya rekaman pengakuan dari Fara dan Risa. Semua ini ada hubungannya dengan perusahaan saya dan perusahaan Tiara. Saya akan kirimkan rekamannya ke kamu sekarang."
"Ini sangat serius," tambah Rex. "Kita perlu bicara. Bisa kita bertemu jam 3 sore di restoran seperti biasa?"
Bram menahan napas. "Ya, Rex. Jam 3 sore. Saya akan datang," jawabnya. Panggilan pun terputus.
Bram menatap ponselnya, tangannya gemetar. Dua panggilan, dua masalah, semuanya mengarah pada satu orang: putrinya, Fara. Ia tidak bisa lagi menyangkal. Bukti dari Ellian dan Rex Adrian terasa seperti pukulan yang telak.
Setelah menutup telepon dari Bram, Rex Adrian tidak membuang waktu. Ia segera menghubungi Tiara, pemilik PT Cahaya Sukses Mandiri. Panggilan itu langsung terhubung.
"Halo, Tiara. Ini Rex," sapa Rex Adrian, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi.
"Oh, Rex. Ada apa? Tumben sekali kamu menelepon," jawab Tiara, nadanya terdengar ramah, tetapi Rex bisa merasakan kecurigaan dalam suaranya.
"Langsung saja. Ada hal serius yang perlu kita bicarakan. Ini menyangkut anak-anak kita," kata Rex Adrian. "Terutama, putri Anda, Risa, dan putrinya sahabat saya, Valeria."
Terdengar jeda panjang. "Saya tidak mengerti maksudmu," kata Tiara, kini suaranya terdengar lebih tegang. "Masalah apa yang mereka perbuat?"
"Jangan berpura-pura, Tiara. Saya sudah tahu semua yang terjadi," jawab Rex. "Kian sudah memberikan semua bukti kepada saya. Saya tahu putri Anda dibayar oleh Fara untuk menyebarkan fitnah tentang Valeria, dan saya tahu ini semua ada hubungannya dengan bisnis."
Tiara terdiam. "Saya tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Rex," katanya, mencoba mengelak.
"Jangan buang waktu, Tiara. Saya tahu Anda tahu," tegas Rex. "Saya sudah mengatur pertemuan dengan Bram, ayah Fara. Kita akan bertemu sore ini, jam 3, di restoran seperti biasa."
"Apa?" Tiara terdengar terkejut. "Saya tidak bisa."
"Saya rasa Anda bisa, karena ini bukan hanya soal anak-anak," kata Rex Adrian. "Ini juga soal reputasi perusahaan Anda. Saya sudah punya semua bukti, dan saya yakin Anda tidak ingin semua ini dibawa ke ranah publik."
Tiara menghela napas. Ia tahu dirinya sudah terpojok. "Baik. Saya akan datang," jawabnya, suaranya penuh kekalahan.
"Bagus. Saya tunggu Anda. Jangan terlambat," kata Rex Adrian, lalu menutup telepon.
Rex Adrian duduk sejenak, menatap ponselnya. Ia tahu langkah ini sangat berisiko, namun ia yakin inilah satu-satunya cara untuk mengakhiri segalanya.
Tante Kiara sedang dalam perjalanan, mengemudi menuju sekolah Valeria. Valeria duduk di kursi penumpang, memandang ke luar jendela. Ponsel Tante Kiara berdering, menampilkan nama kontak
"Rex Adrian".
"Halo, Kak Rex," sapa Tante Kiara sambil menempelkan ponselnya di telinga.
"Kiara, saya sudah menghubungi Bram dan Tiara," kata Rex Adrian, suaranya terdengar lega. "Kita akan bertemu sore ini, jam 3, di restoran seperti biasa."
Tante Kiara terkejut, sekaligus gembira. "Serius, Kak? Mereka mau datang?"
"Ya. Saya sudah jelaskan semuanya, dan saya sudah sampaikan bahwa kita punya bukti rekaman," jawab Rex Adrian. "Mereka tidak punya pilihan lain."
"Bagus, Kak. Ini berita yang sangat baik," ujar Tante Kiara, melirik Valeria yang duduk di sebelahnya. "Valeria ada di samping saya."
"Katakan padanya, kita akan selesaikan masalah ini hari ini juga. Tidak akan ada lagi yang bersembunyi di balik gosip," kata Rex Adrian.
"Sekarang, giliran kita."
"Baik, Kak. Terima kasih banyak," kata Tante Kiara, lalu menutup telepon.
Ia menoleh ke arah Valeria, wajahnya berseri-seri.
"Val, kita akan bertemu mereka sore ini. Semuanya akan selesai."
Valeria menatap tantenya dengan mata berbinar. Ia merasa beban yang selama ini menghimpitnya akhirnya akan terangkat. "Mereka... mereka benar-benar akan datang?" tanyanya.
"Ya. Mereka akan datang," jawab Tante Kiara. "Dan mereka akan mengakui semuanya."
Mereka berdua tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Valeria merasa lega dan penuh harapan.
Aluna keluar dari kamar mamanya dan menuju kamarnya. Ketika ia masuk, ia melihat Fara sudah memakai seragam.
"Fara, lo..." kata Aluna, terkejut.
"Kenapa? Ini waktunya gue masuk sekolah, ya. Jadi, cepat lo mandi dan kita berangkat bareng. Supir gue bakal sampai sebentar lagi," jawab Fara dengan nada dingin. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Aluna.
Aluna terdiam, bingung dengan perubahan sikap Fara. Setelah apa yang terjadi, ia tidak menyangka Fara akan tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tanpa berkata-kata, Aluna berbalik dan berjalan menuju kamar mandi.
Aluna telah selesai dan keluar dari kamar mandi. Ia melihat Fara sudah tidak ada di kamarnya. Dengan cepat, ia memakai seragam dan mempersiapkan buku-bukunya. Setelah selesai, ia turun dan melihat Fara sedang sarapan.
"Sini, sarapan, cepetan," kata Fara dengan nada datar. "Itu, gue udah beli buat lo."
Aluna terdiam, menatap Fara dengan bingung. Fara bahkan tidak menoleh ke arahnya, hanya fokus pada sarapannya. Setelah semua yang terjadi kemarin, Aluna tidak menyangka Fara akan membeli sarapan untuknya. Apakah ini bentuk permintaan maaf? Atau Fara hanya ingin bersikap seolah tidak ada yang terjadi?
Tanpa banyak bicara, Aluna duduk di seberang meja, mencoba memahami sikap Fara. Ia mengambil roti yang disediakan Fara dan mulai makan, hatinya masih dipenuhi kecemasan.
Bersambung.....