NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Transmigrasi / Fantasi Timur / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: JEJAK API DI HUTAN

Pagi buta, kabut tipis menggantung rendah di antara pepohonan hutan yang lebat. Embun dingin masih menempel di dedaunan, dan udara hutan terasa lembap, menusuk hingga ke tulang.

Hu Wei tersentak bangun oleh suara teriakan samar yang memecah kesunyian. Ia membuka mata, refleks tangannya meraba gagang pedang. Jantungnya berdegup kencang saat melihat pemandangan di hadapannya.

Tepat di tengah tanah lapang kecil itu, Mo Long berdiri tegak membelakanginya. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah kepala manusia yang terpenggal, darah segar masih menetes membasahi rerumputan. Mata kepala itu terbuka lebar, membeku dalam ekspresi teror abadi.

“Tu—Tuan Mo Long…” suara Hu Wei tercekat, wajahnya memucat seketika. “Apa… apa yang terjadi?”

Mo Long menoleh perlahan. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang sedang memegang potongan tubuh manusia. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

“Semalam mereka terlalu berisik saat mengintai,” ucapnya datar, seolah sedang membicarakan nyamuk yang mengganggu tidur. “Jadi, aku membantai mereka semua.”

Hu Wei terperangah. Ia bangkit dan mengedarkan pandangan. Baru sekarang ia menyadari, di sekeliling perkemahan mereka berserakan belasan mayat bandit. Kondisi mereka mengerikan—tubuh-tubuh itu koyak, beberapa dengan luka bakar hitam legam berbentuk cakar naga, sebagian lagi tercabik tak karuan seolah dihantam benda tumpul yang sangat kuat.

Aroma amis darah bercampur bau daging gosong memenuhi udara pagi, membuat perut Hu Wei bergejolak.

Hu Wei menelan ludah, berusaha menenangkan suaranya yang gemetar. “Tuan, kalau seperti ini… orang-orang pasti tahu pelakunya adalah pengguna teknik klan kita! Bekas residu Qi Bayanganmu jelas menempel di luka bakar itu. Ini wilayah bandit Hutan Malam, jika kelompok utama mereka tahu, ini bisa memicu perang antar wilayah.”

Mo Long terkekeh ringan. Ia melemparkan kepala di tangannya ke tumpukan mayat dengan santai.

“Itu benar—kalau ada bekas Qi atau mayat yang tertinggal.”

Ia mengangkat alis, lalu melangkah mundur. Jarinya menjentikkan percikan api ke arah tumpukan mayat yang sudah ia siram minyak dari perbekalan bandit itu sendiri.

Wussh!

Api langsung menjilat tubuh-tubuh kaku itu, melahap daging, pakaian, dan bukti kejahatan dengan rakus. Bau gosong kian menyengat. Asap hitam pekat membumbung tinggi, menyatu dengan kabut pagi.

Mo Long berdiri diam menatap kobaran api. Cahaya merah api menari-nari di bola matanya yang hitam pekat. Saat ini, ia tidak terlihat seperti Tuan Muda yang terbuang, melainkan seperti Iblis yang baru saja merangkak naik dari neraka.

Melihat tatapan ngeri pengawalnya, Mo Long berujar pelan tanpa menoleh, “Tidak perlu ada penyesalan, Hu Wei. Dengan membunuh mereka, berarti berkuranglah sampah di Jianghu. Anggap saja kita sedang membersihkan jalan.”

Hu Wei merasakan bulu kuduknya berdiri. ‘Dia… benar-benar bengis! Tidak ada keraguan sedikit pun dalam tindakannya.’

Mo Long berbalik, lalu melempar sebuah kantong kulit besar ke arah Hu Wei.

Hap.

Kantong itu terasa berat. Saat Hu Wei mengintip isinya, matanya terbelalak. Kepingan emas dan perak berkilauan di dalamnya—hasil jarahan dari para bandit.

“Bawa ini.”

“T-Tuan… jumlahnya banyak sekali. Untuk apa semua uang ini?”

Mo Long menatapnya dengan senyum samar yang penuh arti. “Untuk membeli kenyamanan. Dan mungkin… untuk membeli harga diri orang lain.”

Hu Wei bergidik. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun nalurinya menyuruhnya diam. Ia sadar, ada sisi gelap dari tuan mudanya yang lebih baik tidak ia usik.

Mereka beranjak dari tempat itu, meninggalkan bara api yang terus berkobar, menghapus jejak pembantaian malam itu menjadi abu.

Dengan Qinggong yang cepat, keduanya melesat menembus hutan, menyeberangi sungai deras, dan melewati pemukiman-pemukiman kecil tanpa berhenti. Mereka memacu kecepatan hingga batas maksimal. Barulah saat malam menjelang, siluet gerbang kota terlihat.

Kota kecil Asuka. Kota transit terakhir sebelum kota Long Ya.

Meski malam sudah larut, kota itu masih hidup. Lentera-lentera minyak bergoyang diterpa angin, cahayanya menyinari jalanan berbatu yang dipadati pedagang kaki lima dan pendekar dari berbagai aliran.

Mo Long dan Hu Wei melangkah masuk ke sebuah penginapan dua lantai yang paling megah di pusat kota.

Begitu masuk, hawa panas langsung menyergap. Kedai di lantai dasar penuh sesak. Bau arak, keringat, dan asap pipa bercampur jadi satu. Suara gelak tawa, teriakan pesanan, dan gebrak meja membuat suasana sangat riuh.

Di antara percakapan yang berseliweran, telinga tajam Mo Long menangkap desas-desus dari meja sebelah.

“Hei, kau dengar? Markas pos depan bandit Hutan Malam ditemukan hangus pagi tadi…”

“Ya… Katanya tidak ada yang selamat. Semuanya jadi abu.”

“Pasti ulah Balai Hukum Iblis! Atau mungkin pendekar aliran putih yang sedang lewat. Siapapun itu, kerjanya sangat bersih.”

Mo Long tersenyum samar, lalu menarik tudung jubahnya sedikit lebih dalam. ‘Bagus… tidak ada yang menuduh klan kami. Jejak itu hilang sempurna.’

Hu Wei berbisik sambil menunduk, “Tuan, kota ini penuh sesak. Banyak calon pendekar singgah di sini sebelum mengikuti ujian kelayakan besok lusa. Kita harus berebut tempat.”

Mereka berdesakan melewati kerumunan hingga akhirnya menemukan satu meja kosong di pojok dekat jendela. Mo Long duduk tenang, lalu melambaikan tangan memanggil pelayan namun tak ada yang datang.

“Pesankan arak terbaik. Dua kendi. Dan daging sapi iris.”

Hu Wei mengangguk dan segera beringsut ke meja pemesanan yang antre.

Sementara menunggu, Mo Long mengeluarkan kotak bekal kayu yang dibawanya dari klan—bekal buatan Min Mao. Ia membuka tutupnya. Di dalamnya tertata rapi nasi kepal, dimsum, dan sepotong ayam panggang yang sudah dingin.

Ia mengangkat bekal itu, hendak memakannya. Namun, gerakan tangannya terhenti di udara. Hidungnya mengendus pelan.

Alisnya terangkat sedikit. Matanya menyipit menatap ayam panggang itu. ‘Bau ini….’

Tiba-tiba, bayangan besar menutupi cahaya di mejanya.

“Hei.”

Suara kasar menggema. Seorang pria berambut merah panjang acak-acakan berdiri di depannya. Tubuhnya besar seperti beruang, otot-ototnya mencuat dari balik baju lusuh yang kekecilan.

“Meja ini aku yang lihat duluan. Menyingkirlah sebelum kuhajar,” ancam pria itu.

Mo Long menatapnya dengan tatapan dingin, tak ada tanda-tanda ia akan beranjak. Ia perlahan menutup kembali kotak bekalnya.

Di belakang pria rambut merah, seorang pria botak dengan dada telanjang menimpali sambil berkacak pinggang. “Bocah, jangan macam-macam. Kami ini calon pendekar, kami akan ikut ujian kelayakan. Tubuhku sangat lelah, aku butuh duduk.” Jarinya yang kotor mengetuk-ngetuk meja Mo Long dengan nada meremehkan.

Pria ketiga, berambut pendek dengan dagu penuh bekas luka, menunjuk kotak bekal di tangan Mo Long. Matanya lapar.

“Bekal itu milikku. Aku meninggalkannya di meja tadi. Serahkan itu lalu pergi jika kau tak mau terluka.”

Riuh kedai di sekitar mereka mereda sesaat. Beberapa orang menoleh, menantikan pertunjukan kekerasan.

Hu Wei, yang baru saja kembali membawa dua kendi arak, tercekat melihat pemandangan itu.

‘Sial… Tuan Mo Long baru saja membantai puluhan bandit tanpa kedip. Jika dia mengamuk di sini, kedai ini akan jadi lautan darah!’

Ia buru-buru menghampiri, menunduk hormat dengan senyum dipaksakan. “Saudara-saudara sekalian, tenanglah. Sebaiknya masalah ini kita bicarakan baik-baik. Kami bisa—”

Namun Mo Long mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Hu Wei.

Ia menatap tiga pria itu dengan sorot tenang, lalu tersenyum—senyum yang sangat ramah, namun palsu.

“Kalian benar. Meja ini milik kalian. Maaf atas ketidaknyamanan ini.”

Ia berdiri, lalu menyodorkan kotak bekal itu ke tangan pria berambut pendek. “Dan ini bekalmu… aku belum sempat memakannya.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Mo Long memberi isyarat pada Hu Wei dan melangkah pergi meninggalkan meja itu.

Hu Wei terpaku di tempatnya, hampir tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. ‘Tadi pagi dia membakar mayat tanpa ragu. Sekarang… dia dipermalukan dan mengalah begitu saja? Apa dia takut?’

Tak tahan dengan rasa penasaran dan sedikit kecewa, Hu Wei akhirnya bertanya saat mereka keluar dari kedai yang bising itu.

“Tuan… kenapa tidak menghajar mereka? Dengan kekuatanmu, mematahkan leher mereka semudah mematahkan ranting kering.”

Mo Long berhenti sejenak di jalanan yang diterangi lampion. Ia menoleh, senyum dinginnya kembali.

“Aku sedang tidak ingin membuat keributan. Lagipula…” Mo Long menepuk kantong uang di pinggangnya. “Kita punya banyak uang jarahan. Kita bisa mencari tempat yang lebih mewah dan nyaman.”

Hu Wei membeku mendengar jawaban itu. ‘Dingin, tapi juga penuh perhitungan.’

Mereka akhirnya mendapatkan kamar di penginapan mewah bertingkat tiga di seberang jalan. Mo Long memilih balkon di lantai atas yang atapnya terbuka. Dari sana, langit malam berbintang terbentang luas.

Mereka duduk berhadapan di meja bundar kayu hitam, ditemani arak kelas satu dan sepiring bakpao hangat berisi daging rusa.

Hu Wei meneguk araknya dalam sekali tenggak. Setengah mabuk, keberaniannya mulai muncul. Ia menunduk lalu tersenyum lebar.

“Tuan… bertahun-tahun saya menjadi pengawal… baru kali ini saya diperlakukan setara, diajak minum semeja seperti ini.”

Mo Long mengangkat alis tipis, menatapnya sambil memutar cawan arak di tangannya.

Hu Wei terkekeh, kemudian tiba-tiba mengumpat pelan. “Hidup sebagai pengawal klan itu… seringkali seperti anjing penjaga. Apalagi dulu, beberapa kali saya mengawal kakak Tuan—Mo Feng. Cih. Benar-benar…” Hu Wei berdecak lidah kesal.

Mo Long mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya menajam. “Mo Feng… ceritakan padaku. Orang yang seperti apa dia di matamu?”

Hu Wei mendesah panjang, lalu mengibaskan tangan seolah mengusir lalat. “Angkuh. Semena-mena. Besar mulut dan ringan tangan. Tidak segan ia memukul bawahan hanya karena masalah sepele, bahkan menggunakan Qi.”

Ia lalu menyibak kerah jubahnya sedikit. Cahaya lampu memantul pada kulit dadanya yang kecokelatan. Di sana, terdapat bekas luka menghitam berbentuk telapak tangan.

“Ini… pukulan Mo Feng dua tahun lalu. Hanya karena aku terlambat menyiapkan kudanya. Bekasnya tidak pernah hilang. Meski begitu… saya harus akui, bakat bertarungnya memang mengerikan.”

“Seberapa mengerikan?”

Hu Wei termenung sejenak, matanya menerawang. “Jika melihat energi dan serangannya saat terakhir kali dia pulang… dia sudah kokoh di Ranah Guru. Dan… melihat ledakan energi Tuan dalam dua hari ini, saya kira… jika kalian berhadapan sekarang, hasilnya akan seimbang. Tapi Mo Feng punya pengalaman membunuh lebih banyak.”

Sejenak hening. Angin malam berhembus pelan.

Tiba-tiba Mo Long tertawa kecil. Tawa yang terdengar gembira namun tajam.

Hu Wei menoleh cepat, kaget. “Kenapa Tuan tertawa?”

Mo Long menyeringai, matanya berkilat penuh semangat tempur. “Aku justru bersemangat ingin menghajarnya. Mendengar dia sekuat itu… membuat darahku mendidih.”

Hu Wei terperanjat melihat ekspresi tuannya, lalu ikut tertawa keras karena pengaruh arak. “Kalau begitu… bolehkah saya titip satu pukulan ke wajahnya untuk saya?!”

Mo Long mengangguk mantap. “Kau boleh meminta sebanyak yang kau mau. Aku akan pastikan dia membayarnya.”

Mereka tertawa bersama di bawah sinar rembulan. Di antara keduanya, ikatan tuan dan bawahan mulai berubah menjadi persaudaraan pedang.

Sementara itu, tawa keras juga terdengar di kedai kumuh di seberang jalan.

Di meja pojok, tiga pria gempal yang tadi mengusir Mo Long kini bersandar dengan wajah merah padam, mabuk dan kekenyangan. Kotak bekal kayu milik Mo Long sudah kosong melompong di tengah meja.

“Hahaha! Sungguh lezat!” seru pria berambut merah sambil menepuk perutnya. “Kau pintar juga!” Ia meninju pelan bahu si pria dagu luka. “Siapa sangka bocah itu membawa bekal seenak ini. Daging ayamnya terasa sedikit pedas dan aneh, tapi bumbunya luar biasa!”

Pria berambut pendek dengan dagu luka terkekeh sambil menjilat sisa minyak di jari. “Aku kelaparan setengah mati. Untung bocah itu mentalnya tempe. Sekali gertak langsung kencing di celana dan menyerahkan makanannya.”

“Kasihan juga sebenarnya,” sela pria botak, menyeka mulutnya yang berminyak. “Kulitnya halus, bersih… jelas anak bangsawan manja yang lari dari rumah. Sepertinya hidupnya enak, tapi dia tidak tahu kalau Jianghu itu tempat singa memangsa kelinci.”

Ia tertawa lebar, lalu tiba-tiba memegang perutnya. Kruyuk.

“Huh, kenapa perutku mulas sekali?” gumam si botak.

“Ah, itu hanya karena kau makan terlalu rakus, Bodoh!” ejek pria berambut merah. “Dengar, setelah kita lulus ujian kelayakan prajurit besok… apa kalian sudah bulat mau melamar jadi pengawal Klan Naga Bayangan?”

Pria botak menegakkan tubuhnya, menahan rasa tidak nyaman di perutnya. Wajahnya bersinar penuh ambisi. “Tentu saja! Klan Naga Bayangan sedang berkembang pesat. Kudengar gaji pengawalnya besar. Kita yang kuat ini bisa masuk dengan mudah.”

Pria berambut pendek menambahkan dengan tawa serak, “Siapa tahu juga… ada Nona Muda dari klan itu yang tertarik pada kegagahan kita. Hahaha! Kalau begitu, kita bisa jadi anggota inti, bukan sekadar kacung!”

Ketiganya terbahak bersama, bermimpi tinggi di atas meja kotor itu.

Mereka sama sekali tidak menyadari—wajah mereka mulai memucat dan keringat dingin sebesar biji jagung mulai menetes. Mereka tidak tahu bahwa "kelinci" yang mereka usir tadi adalah Naga yang sebenarnya.

1
Meliana Azalia
Kejamnya~
Meliana Azalia
Ngegas muluk
Ronny
Bertarung berdua nih ❤️
Ronny
Cu Pat Kai: ‘’Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir’’
Ronny
Kayak tom and jerry gao shan sama gao shui wkwk
Ronny
Aya aya wae 🤣
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Dwi Nurdiana
aww manisnya kisah cinta janda sama brondong ini
Dwi Nurdiana
aih pertarungan bagai dansa di malam hari😍
Dwi Nurdiana
min mao ini ya emang minta dicubit
Dwi Nurdiana
babii🤭
Dwi Nurdiana
wkwkwk rasain 🤭
Dwi Nurdiana
awal yang tragis tapi seru😍
Abdul Aziz
awal yang bagus dan menegangkan, lanjutin thor penasaran gimana si mo long ngumpulin kekuatan buat balas dendam
Abdul Aziz
paling gemes sama musuh dalam selimut apalagi cewe imut/Panic/
Ren
mampus mo feng!!
Ren
up terus up terus!
Ren
fix pelayanan min mao
Ren
hampir ajaa
apang
si mo long harus jadi lord kultus iblis!!!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!