Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
“Kenapa kita tidak pulang dua hari lagi Pak? Bukankan masih ada tempat yang ingin bapak tinjau?” Calvin diam saja. Ara jadi tidak ingin bicara lagi takut di semprot.
Ara lebih memilih menatap pemandangan menakjubkan dari jendela helicopter yang saat ini sedang membawanya terbang melintasi udara.
“Menurut mu tamu bulanan itu apa Ra?” Ara mengernyitkan dahinya.
Pertanyaan apa ini? Apa aku harus menjawab pertanyaan seperti ini?
“Ra….kau tuli yah?”
Hmmmm….hmmmmm…..
Ara masih menimang.
Ara mendekat.
Kepalanya dengan keras berfikir tamu bulanan yang Bos nya maksud ini sama dengan isi kepalanya atau tidak.
“Biasanya para perempuan menyebut itu sebagai kata ganti, itu semacam siklus menstruasi pada wanita, mereka keluar darah dari….” Menunjuk selangkangan Calvin yang menatapnya serius dengan canggung.
“Dari sini?”
Ara menunduk dan mengangguk malu, bodoh sekali bos nya ini. Dia sudah tua bangka tapi tamu bulanan saja dia tidak tahu. Ara tahu karena kebetulan kekasihnya suka marah-marah jika sedang kedatangan tamu bulanannya.
Calvin tersenyum lega, ternyata bukan laki-laki selingkuhan seperti yang dirinya bayangkan.
Wajahnya tiba-tiba kembali serius setelah senyum-senyum sendiri cukup lama tidak jelas.
“Apa sakit Ra?” Ara mengedikkan bahunya. “Kenapa kau tidak tau itu sakit atau tidak.”
“Akan aku cari di google. Aku juga sama seperti mu Bos, tidak datang bulan. Jadi aku tidak tahu itu sakit atau tidak, yang jelas mereka akan mudah marah.” Ucapnya lirih agar Calvin tidak mendengarnya.
“Silahkan di baca Bos.” Calvin menggeleng. “Aku bacakan.” Menghela nafasnya panjang.
Bisa-bisanya tiba-tiba saja dirinya harus menjadi perantara yang harus bisa memuaskan keingintahuan yang Bos nya tidak pahami.
Wanita biasanya merasakan sejumlah gejala fisik dan emosional saat menstruasi. Gejala fisik meliputi nyeri perut bagian bawah (dismenore), kram, nyeri punggung bawah, dan sakit kepala. Selain itu, beberapa wanita juga mengalami mual, pusing, diare, dan lemas. Secara emosional, wanita mungkin mengalami perubahan suasana hati, menjadi lebih sensitif, dan mudah tersinggung.
“Apa sudah cukup Pak?” Wajah Calvin terlihat sedih. Sampai di sini Ara yakin Calvin sedang membayangkan kondisi Istri tercintanya.
“Kasihan sekali, Jani pasti sekarang sedang kesakitan.” Calvin jadi khawatir Jani mengalami apa yang baru saja Ara bacakan. “Mendarat di rumah, aku tidak mau lagi membuang waktu untuk sampai ke rumah.” Perintahnya pada pilot heli miliknya.
Kali ini Calvin diam, benar-benar tidak ada pembicaraan lagi setelah Ara membacakan deskripsi tentang datang bulan yang begitu menyakitkan pada wanita.
Tidak lama Calvin sudah sampai di rumahnya, langkahnya terburu-buru sekali mencari keberasaan Jani yang dirinya sangat khawatirkan.
“Jani….Jan….” Langkah Calvin melambat, Calvin tersenyum lega. Jani ada di dapur sedang menikmati teh hangat dengan penyuara telinga.
Tok…tok…tok….
“Kak….Kok sudah pulang.” Ketukan tangan Calvin di meja makan membuat Jani sadar dan dengan buru-buru membuka penyuara telinganya.
Calvin ingin menertawakan dirinya sendiri yang benar-benar bodoh menganggap Jani selemah itu. Dia wanita kuat yang menerima tawaran menikahnya demi keluarganya tanpa berfikir panjang. Dia wanita yang selalu tersenyum meski luka di hatinya begitu mengusik.
“Kak….kok pulang tiba-tiba.” Calvin meraih tangan Jani, perlahan menariknya ke pelukkan Calvin dengan lembut.
“Kak Calvin baik-baik saja kan Kak? Kenapa?” Tanya Jani yang kini merasa khawatir dengan sikap Calvin yang tiba-tiba hangat.
Jani tidak lagi banyak bicara, tanganya dengan lembut mengusap punggung Calvin yang masih memeluknya dengan erat. Terkadang dirinya juga ingin dipeluk seperti ini saat keadaan sedang sulit, ingin punya tempat untuk pulang seperti yang Kak Calvin tuangkan dalam perjanjian pernikahan yang dirinya tanda tangani.
“Jani di sini Kak, Kak Calvin bisa pulang kapan pun Kak Calvin mau.”
Jani menemani Calvin semalaman, dia tidak mau melepaskan pelukkannya sampai tertidur di sofa kamar mereka.
Jani terbangun karena merasakan hawa panas dari tubuh Calvin, Jani segera mencari alat untuk mengukur suhu tubuh Calvin.
“Kau sakit yah Kak, pantas saja kau lembut sekali malam ini. Maaf Jani tidak menyadari keadaan Kakak yang sakit begini.” Jani mengompres kepala Calvin yang cukup panas.
Menit demi menit berlalu, suhu tubuh Calvin perlahan membaik setelah semalaman Jani mengompresnya. Jani bersyukur bisa menanganinya sendiri, merasa bangga karena sedikit terobati rasa inginnya mengurus suaminya sendiri.
Selama ini Calvin sudah tercukupi segala kebutuhannya, dirinya hanya bisa memperhatikan tanpa bisa berkontribusi apapun karena semuanya sudah terjadwal dengan baik. Calvin orang yang sangat apik mengatur dirinya sendiri.
Akkhhhh…..
Ringis Calvin yang merasakan pening di kepalanya. Tangannya perlahan meraih handuk kecil yang masih menempel di dahi nya. “Ulah mu pasti ini Jan.” Ucapnya lirih sambil tersenyum.
Calvin mendudukan tubuhnya yang terasa kaku, persendiannya terasa nyeri akibat bekerja tidak tahu waktu dan istirahat demi bisa kembali lebih cepat. Untuk Jani tentu saja, dirinya merasa rindu tidak ada Jani beberapa hari saja.
“Kak….kok sudah bangun.” Jani berjalan dengan cepat menghampiri Calvin masih dengan spatula di tangan kirinya.
Jani menempelkan punggung tangannya di kening Calvin.
“Alhamdulillah sudah tidak demam.” Ucapnya dengan sumringah.
“Apa aku demam semalaman?” Jani mengangguk. “Kau bergadang?” Lagi-lagi Jani mengangguk. Terlihat dari lingkar matanya yang sedikit berkantung.
“Sedang apa Jan?”
“Jani buat bubur untuk Kakak. Bibi hari ini cuti seperti jadwalnya.” Tunjuk Jani pada jadwal kerja Bibi yang tertempel di madding kamar mereka.
“Kenapa repot-repot buat Jan, kau kan bisa pesan.” Ucap Calvin dengan lemas. Padahal hatinya sedang berbunga-bunga merasa bahagia ada yang memperhatikannya di saat sakit seperti ini.
Jani menggeleng. “Kata Mas Angga, bubur buatan Kak Gina penuh energi cinta saat Mas Angga sakit, jadi Mas Angga lebih cepat pulih.” Kata-kata Jani mampu membuat Calvin tersenyum pagi-pagi buta.
Jani juga tersipu malu mengucapkan alasannya yang asal-asalan. Jani hanya lagi-lagi ingin merasakan mengurus Calvin dengan benar sebagai seorang istri.
“Jani suapi ya Kak.” Calvin mengangguk.
Kapan lagi bisa merasakan perhatian Jani selain saat dirinya sakit seperti ini.
“Enak tidak Kak?” Jantung Jani berdegub kencang, meski sering memasak, Jani tahu sekali selera makanan mereka sangat berbeda jauh. Mungkin ini pertama kalinya Kak Calvin makan bubur buatan rumahan.
“Enak sayang, aku langsung sembuh ini.” Ledeknya membuat Jani tersipu.
“Maaf yah masakan Jani pasti tidak seenak koki-koki Kak Calvin dan Bibi.” Calvin mengusap pipi Jani dengan lembut.
“Ini makanan paling enak yang pernah aku makan di muka bumi ini. Tidak ada yang mengalahkan.” Lagi-lagi Jani tersipu malu. Bisa-bisanya bubur ayam buatannya cocok di lidah Kak Calvin yang kaya raya ini.
“Kakak bisa saja.” Wajahnya merona dengan malu-malu.
“Oh iya Jan, aku hari ini mungkin pulang larut. Ada meeting dengan beberapa klien yang tertunda karena kemarin aku di luar kota.”
“Tidak istirahat dulu Kak, demam loh Kak semalam.” Lirih Jani ingin mengamuk tapi tidak berani membantah apalagi bersuara tentang isi hatinya.
“Aku bisa minum vitamin Jan, pekerjaanku banyak sekali sayang.”
Sudah dua kali yah pagi ini kau panggil-panggil aku sayang!.
Teriaknya dalam hati.
Bukan urusanku lah, dia ini yang sakit. Bisa-bisanya yang ada di kepalanya hanya pekerjaan.
“Makan malam nanti jangan menunggu ku ya Jan. Aku pasti tidak sempat makan di rumah.” Jani mengangguk, wajahnya malas sekali yang mata Calvin tangkap. Senyum cerianya lenyap begitu saja entah kenapa.
“Apa ada yang ingin Jani bicarakan?”
Misalnya tentang tamu bulanan mu Jan? Apa sakit? Apa kau butuh bantuanku? Apa yang bisa aku lakukan Jan?
Bicara dalam hati.
Jani tersenyum. “Tidak ada Kak, setelah ini Jani juga ingin siap-siap ke kampus.” Calvin ingat janjinya tempo hari.
“Besok aku kosong Jan, kita cari keperluan PKL mu yah besok.” Jani mengangguk. Senyumnya masih malas, Calvin jadi penasaran kenapa bisa berubah semudah itu emosinya.
“Jan, Kak Calvin antar ke kampus yah. Kita bisa pergi lebih awal.”
“Tidak usah Kak, Jani tidak ada kuliah pagi.” Padahal tadi dirinya sendiri yang bilang akan siap-siap ke kampus.
“Ok kalau begitu, aku siap-siap ya Jan.”
Jani dengan kesal menuju dapur membawa piring kotor bekas Calvin makan. Ingin marah sekali karena Kak Calvin tidak perduli dengan dirinya sendiri seperti ini. Dia terlalu berlebihan saat bekerja, bahkan tubuh sakitnya pun di paksa terus beraktifitas.