Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian yang Sesungguhnya
Pagi masih enggan melepaskan embunnya dari langit kota. Markas besar Alexio diselimuti kabut tipis yang menggantung rendah di antara bangunan dan tembok-tembok besi. Di dalam arena latihan, denting logam beradu, napas berat para petarung, dan teriakan pelatih terdengar bersahut-sahutan. Suasana keras dan tidak bersahabat.
Di tengah semua itu, Irene Brilian Ornadi berdiri. Rambutnya terikat sembarangan, wajahnya penuh goresan dan lebam yang belum sepenuhnya pulih dari latihan sebelumnya. Tubuhnya kaku, tetapi matanya menatap lurus ke depan. Di sekelilingnya, para pria berbadan besar tertawa pelan, menyeringai saat melihat tubuh kurus dan luka-luka Irene.
"Apa dia masih belum menyerah juga?" gumam salah satu dari mereka.
"Keras kepala. Tapi keras kepala tanpa kemampuan sama saja bunuh diri," sahut yang lain.
Jay Tanaka, berdiri bersandar pada tiang besi di pinggir arena, menyaksikan Irene bersiap sparring lagi. Ia geleng kepala sambil mencibir.
"Dia perempuan, dan jelas bukan tandingan. Tapi lihat, dia tetap berdiri di sana. Apa dia tidak tahu malu, atau terlalu bodoh untuk merasa takut?"
Hari demi hari, Irene terus menantang rasa sakitnya sendiri. Meskipun tubuhnya memar dan berdarah, ia tetap mengikuti sesi latihan. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuhnya, namun ia tidak pernah berhenti. Malam hari, ketika semua telah beristirahat, Irene masih turun ke arena, berlatih sendiri. Push-up, sit-up, sparring bayangan, hingga tubuhnya benar-benar menyerah.
Ia mengerti satu hal, dunia ini tidak memberi ruang untuk kelemahan. Jika ia ingin bertahan, ia harus mengubur seluruh sisi lamanya yang lembut. Keanggunan yang dulu menjadi kebanggaannya kini dikubur dalam-dalam yang ada hanyalah tekad untuk bertahan hidup.
***
Alexio diam-diam memperhatikannya dari lantai atas markas, tersembunyi dalam bayang dinding dan tirai. Wajahnya dingin, namun matanya menyorot penuh perhitungan. Setiap gerakan Irene, setiap napas berat yang ia tarik, semua tak luput dari perhatiannya.
Malam itu, ketika Irene kembali turun ke arena sendirian, tubuhnya masih dibalut perban di beberapa bagian. Ia berniat hanya berlatih ringan, tapi langkah kaki yang berat menggema dari lorong membuatnya menoleh.
Alexio muncul, mengenakan kemeja hitam dan dasi yang sedikit longgar. Ia melepas jasnya perlahan dan meletakkannya di pagar arena.
"Masih belum cukup dihajar?" tanyanya datar.
Irene mengangguk pelan.
"Belum."
Alexio masuk ke dalam arena.
"Kau bisa tahan berdiri, kau bisa tahan melawan. Tapi jika tak tahu cara menyerang, semuanya sia-sia."
Ia berdiri di hadapan Irene.
"Serang aku."
Tanpa berpikir panjang, Irene melayangkan pukulan cepat ke arah dada Alexio. Tapi pria itu hanya memiringkan tubuh sedikit dan menghindar. Kaki Irene menyusul, tapi lagi-lagi, tak menyentuh sasaran. Dalam sekejap, Alexio memutar tubuhnya dan menahan tangan Irene.
"Jangan hanya gunakan otot. Gunakan otak. Lawan seperti Jay Tanaka punya tubuh besar, tapi titik lemahnya banyak. Ketahui mereka, dan kau akan bisa mengimbangi kekuatannya."
Alexio menunjukkan gerakan cepat, memukul arah perut bagian bawah, lalu mendorong bahu musuh untuk membuat keseimbangan terganggu, dan menghantam lutut dari samping.
"Perut bawah, bahu, lutut, dan leher. Itu target utama. Bahkan pria paling kuat pun akan jatuh jika kau tepat sasaran."
Irene mencoba mengulangi gerakannya. Beberapa kali gagal, tapi Alexio sabar memperbaiki posisi tubuhnya, sudut pukulan, dan keseimbangan langkahnya.
"Lawan seperti Jay Tanaka tak akan memberi celah. Tapi mereka juga sombong. Itu kelemahan lain yang bisa kau manfaatkan," tambahnya sebelum meninggalkan arena.
***
Di kamarnya, Irene duduk di depan meja kecil yang ia sulap menjadi pusat pemetaan taktik. Sebuah papan penuh coretan dan kertas berisi skema musuh.
Pohon hubungan mulai terbentuk:
• Cassandra Ornadi (adik tiri – CEO Ornadi Corp sementara)
• Vania (ibu tiri – penyokong utama kekuasaan Cassandra)
• Kevin Bramasta (saksi palsu di kasusnya)
• Dua pria bayaran (yang membuat video skandalnya)
• Reno (dilingkari merah, diberi tanda tanya besar)
Wajah Reno muncul jelas di pikirannya. Pria yang dulu menjadi pelindung, kini justru mencintai Cassandra. Irene tidak bisa memastikan apakah Reno benar-benar mengkhianatinya atau hanya terjebak permainan.
***
Di ruang taktis markas, Jay, Davin, dan Vincent berkumpul bersama Alexio.
"Dia keras kepala," ujar Jay.
"Tapi aku harus akui, dia mulai punya taring."
Davin menyeringai.
"Aku cek semua database, sosial media, berita lama. Tidak ada orang bernama Rin. Seolah dia muncul begitu saja dari tanah. Aku rasa dia mata-mata."
Vincent hanya angkat bahu.
"Kalau dia mata-mata, dia bodoh. Mata-mata seharusnya tidak menarik perhatian sebanyak itu."
Alexio menjawab singkat, "Awasi dia. Tapi jangan ganggu. Aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa bertahan."
***
Di tempat lain, Cassandra duduk di hadapan puluhan layar. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghapus segala informasi digital yang berkaitan dengan Irene Brilian Ornadi. Foto-foto masa lalu, berita, bahkan arsip hukum. Dalam hitungan hari, jejak digital Irene hilang dari dunia.
"Dunia tak lagi mengenal Irene. Sekarang, dia tak punya identitas."
***
Beberapa minggu kemudian, di arena utama markas besar yang berada di tengah bangunan besar, para anggota mafia berkumpul. Kursi besi melingkar, di tengahnya sebuah arena pertarungan dibatasi garis merah.
Alexio duduk di singgasananya, dengan dagu bertumpu pada tangan, mata tajamnya mengamati dari atas.
Di tengah arena, Irene berdiri dengan pakaian latihan yang lusuh. Luka di tubuhnya masih tampak, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan.
"Jika kau bisa membuat Jay keluar dari batas arena, kau resmi bergabung dalam keluarga ini," ujar Alexio datar.
Jay bangkit dari duduknya, mendengus.
"Aku harus melawan wanita?"
"Ini perintah," balas Alexio tegas.
Davin bersorak dan menyiapkan kamera.
"Kalau sampai kalah, Jay, kau harus keluar dari arena... dan dari gengsi laki-laki selamanya."
Dita berdiri di pinggir arena, menggigit bibir. Diam-diam, ia mulai simpati pada Irene yang tak pernah menyerah. Vincent seperti biasa, berdiri diam di samping Alexio, hanya mengamati.
Jay masuk ke arena.
"Kau tahu ini akan menyakitkan, kan?"
Irene tidak menjawab. Ia mengambil posisi siap bertarung. Dalam pikirannya, teknik Alexio berputar ulang.
Pertarungan dimulai.
Jay menyerang duluan, cepat dan kuat. Pukulan menghantam wajah Irene. Ia terpental mundur, darah menetes dari pelipisnya. Satu tendangan keras menghantam lambungnya, membuatnya tersungkur ke tanah. Penonton mulai bersorak.
"Selesai sudah!"
Jay membalikkan badan, hendak keluar arena. Namun suara desahan terdengar.
Irene, dengan tubuh gemetar, perlahan bangkit. Ia menyeka darah dengan punggung tangannya. Matanya tak lagi lembut. Sorotnya berubah tajam seperti bilah baja.
Jay menoleh. Terkejut.
Irene berdiri. Kaki bergeser, tangan terangkat. Ia menatap Jay dan untuk pertama kalinya, siap menyerang dengan teknik yang diajarkan Alexio.