NovelToon NovelToon
Membawa Benih Mafia

Membawa Benih Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Aliansi Pernikahan / Iblis
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: CantiknyaKamu

Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MBM

Embun masih menyelimuti kaca jendela. Udara dingin pagi menyusup pelan melalui celah balkon yang belum tertutup sempurna.

Alaska baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk tergantung di bahunya, rambutnya masih basah, namun sorot matanya sudah kembali tajam.

Ali dan Amar sudah menunggu di lorong dengan pakaian hitam formal. Tapi kali ini, Alaska tak membawa Amar dalam perjalanan ini.

Alaska (mengancingkan lengan kemeja):

“Ali, sampaikan ke Amar bahwa dia tetap di sini. Aku terbang ke Italia bersama Tio dan Nadya.”

Ali:

“Baik, Tuan. Jet pribadi sudah siap pukul lima tepat.”

Alaska berjalan menyusuri lorong menuju tangga utama. Di bawah, para maid dan pengawal sudah berbaris menunggu instruksi. Sancha masih tertidur, tak tahu bahwa pria yang mencengkeram hidupnya akan meninggalkannya untuk sementara.

Sebelum keluar dari pintu utama, Alaska berhenti.

Alaska (datar, tapi tegas):

“Selama aku di Italia, buka akses seluruh rumah untuk Sancha. Biarkan dia keluar kamar, berjalan di taman, atau membaca di ruang musik. Tapi…”

Ia menatap semua pengawal satu per satu. Tatapan yang cukup untuk membuat punggung siapa pun berkeringat.

Alaska:

“Tidak ada yang boleh masuk rumah ini. Tidak ada tamu. Tidak ada kurir. Tidak ada tamu keluarga. Dan jika kalian sampai memberi akses pada siapa pun…”

Ia mengangkat alis, tak perlu melanjutkan ancamannya. Para pengawal dan maid menunduk dalam.

Maid Naif (pelan):

“Kami mengerti, Tuan.”

Alaska:

“Dan satu hal lagi… jangan pernah sebut pada Sancha bahwa aku terbang ke Italia. Jika ia bertanya, cukup bilang aku sedang bekerja di dalam kota. Jelas?”

Para staf:

“Jelas, Tuan.”

Sebuah mobil hitam sudah menunggu di luar. Tio berdiri bersandar di bodi mobil, mengenakan coat panjang. Nadya menutup wajahnya dengan syal tebal, udara pagi terasa membeku.

Tio (mengangguk):

“Kita siap?”

Alaska (datar):

“Waktunya menyelesaikan yang tertunda.”

Mereka masuk ke mobil, dan berangkat menuju bandara pribadi.

Langit timur mulai berwarna merah muda samar—pertanda fajar dan rahasia yang tertinggal di balik mansion megah itu.

Sinar matahari menerobos jendela besar kamar Sancha.

Untuk pertama kalinya sejak dikurung, udara luar menyentuh wajahnya langsung.

Sancha mengenakan gaun rumah putih polos, rambutnya dikuncir longgar ke belakang. Ia membuka pintu kamar perlahan, dan terkejut saat tidak ada penjaga berdiri di depan pintu.

Tak ada pengawalan. Tak ada pengawasan ketat seperti biasanya.

Mansion ini terasa… tenang.

Sancha (gumam):

“Apa… tidak ada yang menjaga? Atau… ini jebakan?”

Ia melangkah pelan. Tapi setelah dua belokan, dan bertemu maid Naif yang hanya tersenyum sopan dan menunduk, Sancha sadar: ia bebas menjelajah.

Sancha duduk di bangku kayu bawah pohon besar. Di sekelilingnya, hewan-hewan peliharaan Alaska bermain bebas—mencerminkan sisi tak terduga dari pria dingin itu.

Seekor kelinci putih berlari pelan mendekati kaki Sancha.

Ia tersenyum lembut dan mengangkat kelinci itu ke pangkuannya.

Sancha (pelan, tertawa kecil):

“Lucu… jadi dia juga pelihara ini… padahal kupikir semuanya pasti singa atau ular.”

Dari kejauhan, seekor anjing doberman duduk diam di bawah pohon, menjaga sekeliling.

Beberapa burung eksotis terbang bebas di kandang terbuka.

Setelah merasa bosan di taman, Sancha mendekati Naif yang sedang menyiram tanaman dekat teras belakang.

Sancha:

“Boleh… aku ke perpustakaan?”

Naif (tersenyum):

“Tentu, Nyonya. Tuan sudah mengizinkan, hanya saja… ada rak tertentu yang tidak boleh disentuh. Rak di ujung kiri bertanda emas.”

Sancha:

“Aku mengerti. Aku hanya ingin… membaca dan menenangkan kepala.”

Ruangan besar itu sunyi. Dinding tinggi dihiasi ribuan buku. Meja besar terletak di tengah ruangan dengan lampu baca antik.

Sancha berjalan pelan, jari-jarinya menyentuh punggung buku seperti menelusuri kisah-kisah yang belum sempat ia pahami.

Matanya terpaku pada satu rak bertuliskan “Filsafat, Sejarah, dan Politik Dunia Bawah.”

Sancha (gumam):

“Ini… buku-buku mafia?”

Ia tidak berani menyentuh lebih jauh. Tapi langkahnya terhenti saat menemukan satu buku kecil, tak dikunci, berjudul: “Darah dan Kepercayaan: Catatan Tertutup 1991.”

Langit sore berwarna oranye lembut, burung-burung mulai kembali ke sarang.

Sancha melangkah ringan menuju taman, mengenakan cardigan tipis dan sandal rumah.

Ia duduk kembali di bangku kayu, matanya langsung menatap kandang kelinci.

Seekor kelinci putih besar meringkuk di pojok kandang, tubuhnya bergetar, dan perutnya tampak tegang.

Sancha (pelan):

“Dia… hamil… seperti aku… tapi kenapa dia kesakitan begitu…”

Naluri keibuannya tersentuh.

Sancha berdiri dan memanggil Naif yang sedang menyapu jalan setapak.

Sancha:

“Naif, kelincinya akan melahirkan, tolong hubungi dokter hewan…”

Naif (gugup):

“Saya… saya tidak bisa, Nyonya… maaf, tapi perintah Tuan sangat jelas. Semua tindakan hanya boleh atas perintah langsung Tuan Alaska.”

Sancha menatap Naif, dan meskipun kecewa, ia tidak menyalahkan perempuan baik hati itu. Ia mengangguk, lalu melangkah cepat ke arah dua pengawal di pintu taman.

Sancha:

“Saya butuh telepon. Sekarang. Saya mau bicara langsung dengan Tuan Alaska.”

Kedua pengawal saling pandang. Salah satu dari mereka menyerahkan ponsel khusus komunikasi internal.

Sancha menerima ponsel itu dengan tangan bergetar, lalu menekan tombol panggil ke nomor yang sudah tertulis: “Tuan A.”

Nada sambung.

Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Tiba-tiba, suara dingin terdengar dari seberang.

Alaska (serius):

“Apa yang terjadi?”

Sancha:

“Kelincimu mau melahirkan. Dia kesakitan. Kalau kau masih punya hati, datangkan dokter hewan sekarang juga.”

Hening sejenak.

Alaska:

“Kau menggangguku hanya untuk itu?”

Sancha (menahan amarah):

“Kalau kau tak datang, aku akan menyelamatkannya sendiri. Aku akan keluar dari rumah ini dan cari pertolongan di luar. Dan kalau aku sampai menghilang, itu salahmu.”

Alaska terdiam. Ancaman itu cukup untuk membuat nadanya berubah.

Alaska (tegas tapi lebih lunak):

“Tunggu lima menit. Dokter akan ke sana. Jangan sentuh apa pun sampai dia datang.”

Klik. Sambungan terputus.

Sancha menatap ponsel itu dengan napas tersengal. Naif yang sedari tadi diam akhirnya bicara.

Naif (kagum):

“Nyonya… Anda berhasil membuat Tuan bereaksi…”

Sancha (pelan):

“Aku hanya tak bisa diam melihat makhluk hidup kesakitan…”

Dokter berpakaian rapi masuk bersama satu koper kecil. Ia langsung masuk ke kandang kelinci, dan dalam waktu singkat… suara lembut anak kelinci pertama terdengar.

Sancha menutup mulutnya, menangis perlahan.

Tangannya menyentuh perutnya sendiri. Ia tahu… waktu itu akan tiba juga untuk dirinya. Tapi setidaknya, hari ini—ia sudah menyelamatkan satu nyawa kecil lebih dulu.

1
Faulinsa
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!