NovelToon NovelToon
CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:755
Nilai: 5
Nama Author: Rii Rya

dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

eps 16. TAK TERDENGAR TAPI BISA MERASAKAN

~~jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungannya ya💜

"Aku tuli, Elena. Tapi rasa bersalahku berteriak paling nyaring saat kau menangis karena aku."

                         ~

"Kenapa kamu terus berjalan sendirian tanpa menunggu suster, hah?!" Elena berdiri di depan Alejandro dengan tangan di pinggang, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang ia tahan sejak tadi.

Alejandro hanya memandangi wajah gadis itu dengan tenang. Ia tahu Elena sedang marah, meskipun tak sepatah kata pun bisa ia dengar. Tapi ekspresi gadis itu sudah cukup berisik.

"Dan kenapa kamu nekat keluar dari kamar perawatan tadi pagi? Kamu pikir kamu itu pahlawan super? Kamu bahkan masih jalan sambil seret tiang infus!" Elena masih mengomel, nada suaranya meninggi, tangannya ikut-ikutan ikut bicara.

Alejandro hanya menyilangkan tangan di dada. Ia mengangkat alis dengan gaya seolah bertanya, "Sudah selesai?"

Elena mendengus. "Oh, jangan pasang tampang begitu. Aku tahu kamu pura-pura nggak ngerti," katanya sambil menunjuk-nunjuk dada Alejandro. "Kamu bisa baca gerakan bibirku! Jangan sok polos!"

Alejandro melangkah mendekat, dan tanpa peringatan, ia menangkup wajah Elena dengan kedua tangannya. Gerakan itu cukup untuk membuat gadis itu refleks diam.

"Aku memang tidak bisa mendengar," ucap Alejandro pelan, matanya menatap dalam. "Tapi aku tahu kamu sedang khawatir. Dan... itu cukup membuatku merasa sedikit lebih hidup."

Elena yang tadi galak kini langsung salah tingkah. Wajahnya memerah, tapi dia tetap tak mau kalah.

"Khawatir? Siapa bilang aku khawatir? Aku cuma..."

"Elena."

"Aku cuma kasihan, itu saja!"

"Elena."

"Aku tidak mau kamu pingsan di lorong rumah sakit, lalu semua orang panik dan mengira zombie bangkit dari ICU!"

"Elena," ucap Alejandro sekali lagi, kali ini dengan suara lebih rendah dan lembut.

Gadis itu pun diam. Napasnya berat, wajahnya kesal, tapi matanya menatap pelan. Ia benci saat Alejandro berhasil meluluhkan amarahnya begitu cepat.

"Kau terlalu keras kepala," gumamnya.

"Tapi aku tahu, satu-satunya suara yang paling ingin kudengar di dunia ini sekarang... adalah suara mu," bisik Alejandro.

Elena tidak membalas. Ia hanya menghela napas panjang, memutar badan, dan bergumam lirih, "Ya sudah, aku beliin kamu jus... Tapi jangan jalan sendiri lagi, Alejandro! Atau kupasangi lonceng di kaki kamu biar ketahuan tiap kabur!"

Alejandro tersenyum lebar. Ia tak mendengar omelan terakhir itu, tapi melihat punggung Elena yang masih mengomel sambil berjalan pergi, membuat hatinya terasa hangat dan lebih nyaring daripada suara apa pun.

Pagi itu, langit tampak biru pucat. Udara masih menyimpan embun yang belum pergi. Di halaman belakang rumah sakit, Alejandro duduk di bangku panjang sambil memegang buku tipis berjudul "Bahasa Isyarat untuk Pemula."

Jari-jarinya bergerak kaku berusaha menirukan bentuk-bentuk yang tertera di buku. Ia salah beberapa kali. Bahkan terlalu sering. Tapi setiap kali gagal, ia mencoba lagi. Dan lagi. Sampai keningnya berkeringat.

Dari balik jendela lantai dua, Elena memperhatikannya. Gadis itu mengernyit pelan, hatinya mencelos. Satu sisi, ia merasa hangat. Alejandro melakukan semua itu demi bisa "mendengar" nya. Tapi sisi lainnya, ia menahan diri. Jangan terlalu berharap.

"Dia hanya bodyguard... Dia hanya ingin bisa menjaga aku," bisiknya, seolah menegur hatinya sendiri. "Lagi pula, cinta pertamanya... sudah tiada. Apa mungkin masih ada ruang di hatinya?"

Beberapa menit kemudian, Alejandro kembali ke kamar. Saat Elena masuk, ia langsung berdiri lalu melakukan gerakan tangan sederhana.

"Halo."

Elena tercengang. "Kamu... belajar?"

Pria itu tersenyum. Ia menunjuk dirinya, lalu membentuk dua gerakan lagi.

"Aku."

"Coba."

"Tapi... kenapa?" Elena bertanya pelan, meskipun ia tahu, pria itu tak bisa mendengar suaranya. Alejandro merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik satu kalimat.

Karena aku ingin mendengarmu, bahkan saat kau hanya diam.

Elena menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca. Ia duduk, mencoba menyembunyikan gemetar di ujung jemarinya.

"Kamu tahu... Aku masih bingung," katanya sambil menatap jendela, tidak berani menatap Alejandro secara langsung.

"Kenapa kamu lakukan ini? Karena kamu penjagaku? Karena merasa bertanggung jawab?"

Alejandro terdiam. Wajahnya menegang. Ia kembali menulis di ponselnya.

Awalnya iya. Tapi sekarang... aku hanya ingin ada di dekatmu.

Bukan karena tugas. Tapi karena kamu membuat dunia yang hening ini terasa ramai.

Aku tidak tahu sejak kapan. Tapi aku ingin membuatmu merasa cukup. Meski mungkin kamu belum percaya.

Elena menutup mulutnya. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah. Ia berdiri, membelakangi Alejandro, lalu menatap langit dari balik kaca.

"Aku bukan Kirana, Alejandro..." suaranya pelan, nyaris seperti bisikan yang menyakitkan. "Dan aku tak bisa bersaing dengan kenangan."

Alejandro berdiri. Ia berjalan perlahan mendekat, lalu mengetuk pelan bahu Elena. Saat gadis itu menoleh, ia melihat Alejandro menulis satu kalimat terakhir di layar ponselnya.

Aku pun tak ingin kau jadi Kirana... Karena aku mulai menyukai Elena. Bukan siapa pun. Hanya kamu, gadis cerewet.

Mata mereka bertemu. Hening. Tapi tak ada yang terasa kosong.

Elena tak menjawab. Tapi kali ini, ia tak lagi menjauh. Ia membiarkan dirinya berdiri dekat pria itu. Diam-diam berharap... semoga hening itu benar-benar berubah jadi rumah yang baru.

sementara itu...

Sean Rajendra telah lebih dulu pulang dari rumah sakit dan kini menjalani rawat jalan di rumah. Namun bagi pria penuh aksi sepertinya, terkurung di dalam rumah tanpa boleh menyentuh pekerjaan apa pun adalah siksaan tersendiri.

Ia menarik napas panjang, membiarkan tubuhnya bersandar di balik sandaran empuk tempat tidur. Kebosanan menggelayuti setiap detik waktunya. Alana, istrinya melarang keras dirinya keluar rumah, bahkan hanya untuk sekadar melihat-lihat keadaan markas.

Di tengah rasa jenuh yang memuncak, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan masuk dari salah satu anggota organisasinya.

"Ya, bagaimana?" sapanya, suara beratnya terdengar tegas namun datar.

Melalui sambungan itu, terdengar suara tegang dari ujung sana.

“Laporan dari tim kami di lapangan, Tuan. Kami sudah menyisir lokasi kejadian dengan teliti, tapi tidak ada jejak mayat, ataupun identitas Arthur. Sepertinya dia berhasil kabur atau telah dievakuasi lebih dulu oleh anak buahnya sebelum ledakan terjadi. Pihak kepolisian pun turut meninjau lokasi, namun hasilnya nihil.”

Sean menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih. Ketika panggilan berakhir, ia meletakkannya dengan kasar di atas meja.

Psikopat kecil itu masih hidup.

Dengan geram, ia menoleh ke arah pintu. Suasana rumah tampak tenang. Ia menyibak selimut tebal yang menyelimutinya, dan perlahan turun dari ranjang.

Langkahnya ringan, nyaris tak bersuara. Seperti seorang penyusup di rumahnya sendiri, Sean mengendap-endap memeriksa setiap sudut rumah untuk memastikan Alana tidak berada di sekitar.

Tak ada tanda-tanda keberadaan sang istri.

Kesempatan kabur.

Dengan gerakan cepat, ia kembali masuk ke kamar dan mengganti pakaian.

Di sebuah ruangan bernuansa hitam dan putih yang berkelas namun dingin, Sean berdiri membelakangi jendela, satu tangan diselipkan ke saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam sebuah lencana emas kecil, sebuah lambang kepercayaan dan juga beban masa lalu.

Pintu terbuka.

Langkah sepatu resmi menggema memasuki ruangan.

"Siapa Anda?" tanya sebuah suara maskulin.

Sean menoleh, dan ekspresi datarnya berubah seketika.

"Dirgantara?" ujarnya tak percaya. "Astaga… aku hampir tidak mengenalimu."

Dirgantara mengangkat alis dan terkekeh kecil. "Kau masih hidup ternyata. Silakan duduk."

Sean menyeringai dan menjatuhkan dirinya di kursi kulit yang nyaman. 

"Bagaimana kabar detektif amatir? Oh, maaf. Sekarang kau sudah jadi Kepala Polisi rupanya. Hebat juga kau." Ia tertawa ringan, menertawakan gelar lama temannya.

Dirgantara ikut tertawa, lalu mulai menyiapkan kopi di mesin otomatis. 

"Sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu. Kalau tidak salah… saat pernikahan Ben dan Donna, ya?"

Sean mengangguk pelan. 

"Kau makin sukses rupanya. Bagaimana kabar kalian?"

Dirgantara tersenyum sambil menuang kopi panas ke dalam dua cangkir. "Yerin sedang mengandung anak pertama kami. Usianya sudah delapan bulan. Kami bersyukur, walaupun usia tak lagi muda, setidaknya kami masih diberi kesempatan."

Ia menyodorkan secangkir kopi pada Sean.

Sean menerimanya sambil menatap temannya itu dalam diam. Waktu seolah berhenti sejenak. Ada rasa yang menyesak di dadanya, entah itu rasa bersalah... atau mungkin penyesalan.

Dirgantara lalu mengenakan seragamnya dan bersandar di mejanya.

"Jadi, ada urusan apa kau mencariku? Jangan bilang kau kembali terlibat urusan besar lagi. Kukira kau sudah pensiun dari dunia gelap itu," ujarnya sambil tertawa singkat.

Sean meneguk kopinya, lalu berkata pelan, "Kau pikir aku melakukan semua ini demi diriku sendiri? Ini bukan sekadar urusan pribadi. Masih ada kejahatan yang belum terselesaikan… masih ada nama-nama yang belum diadili."

Dirgantara menajamkan tatapannya.

"Maksudmu apa?"

Sean menatap lurus padanya, lalu bicara dengan nada lebih serius. 

"Kau pasti sudah dengar soal insiden bom di kawasan XXX beberapa waktu lalu."

Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Dirgantara berdiri refleks dan mengusap wajahnya kasar.

"ASTAGA… jadi kau pelakunya?!"

Sean mendecak kesal dan melempar majalah yang ada di mejanya ke arah Dirgantara.

"Masih sialan seperti dulu, ya! Aku belum selesai bicara, dan kau langsung menuduhku! Ck… otakmu tidak pernah berubah!"

Ia memegangi rusuknya yang masih terasa nyeri karena luka yang belum pulih, napasnya terengah sebentar.

Dirgantara mengangkat tangan. "Maaf, refleks. Kau datang-datang, bicara soal bom… Aku sempat berpikir kau kembali menjadi Sean yang dulu."

Sean menunduk, lalu terkekeh kecil dan pahit.

"Percayalah, aku lebih lelah menjadi Sean yang dulu… daripada kau sebagai polisi yang selalu datang belakangan."

Dirgantara terdiam, lalu perlahan kembali duduk. 

Tatapan mereka saling mengunci.

Di ruangan itu, dua sahabat lama, dua pria dari sisi hukum yang berbeda, akhirnya kembali dihadapkan pada jalan yang sama yaitu mengungkap kebenaran yang lebih besar dari dendam pribadi.

1
Mamimi Samejima
Terinspirasi
Rock
Gak nyangka bisa sebagus ini.
Rya_rii: terima kasih 😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!