The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Makanan Liona
Tersentak, Liona kembali mendorong tubuhnya ke atas, melawan rasa tenggelam yang menyeretnya. “Siapa… kamu… sebenarnya?”
“Liona,” jawabnya lirih dengan suara nyaris tak terdengar. “Liona siapa?”
Liona mencoba menjawab lagi, tetapi yang keluar hanya suara serak. Dia menggenggam pinggiran meja dengan erat agar tetap bisa berdiri. “Aku… pembantu baru.”
“Apa itu untuk makan malam?” tanya suara akrab dari belakang saat Harry muncul dari balik bahu saudara-saudaranya dan mengambil tempat duduk di meja makan.
“Aku lapar,” keluhnya.
“Tidak bisakah kalian menunggu mengunyahnya sampai makan malam dimulai?”
“Biarkan pembantu baru yang menjelaskan sendiri apa menu malam ini,” ejek Mikael, tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dariku.
“Aku dengar katanya kamu yang dipekerjakan oleh seseorang,” suara Harry terdengar membela, tapi samar, seolah dia sendiri tak yakin.
Mikael memindai tubuh Liona dari ujung kepala hingga kaki. “Apa kamu benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan semacam ini?” tanyanya datar, tapi dingin dan tajam.
Tenggorokan Liona terasa tercekat ia tidak bisa bernapas. Seolah-olah Mikael bisa melihat betapa rapuh dan tak layaknya Liona berada di sini. Matanya seperti milik hiu yang mencium bau darah di dalam air.
Semuanya berputar.
Liona bisa mendengar detak jantungnya berdentum di telinga, mengalahkan semua suara lain di ruangan itu.
“Tuan Harry… mempekerjakan saya hari ini. Masa uji coba… satu bulan,” gumam Liona, nyaris tak terdengar.
Mikael melangkah maju, mendekatinya. Dia berdiri tepat di depannya menatap Liona dari atas dengan sorot mata yang mengintimidasi. “Aku punya tiga aturan untuk pembantu baru,” ucapnya perlahan, penuh tekanan.
“Satu. Kalau kau melanggar, kau tanggung akibatnya.”
Liona mengangguk cepat, berusaha tidak menangis.
“Dua. Kalau kau berbuat kesalahan, kau keluar.” Liona hanya mampu mencicit kecil sebagai tanda setuju.
“Tiga. Kalau kau mencuri dari keluarga ini… kau akan mati,” ucapnya tajam, seperti bisikan maut di telinga Liona.
Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah menelan ludah—dan dalam benaknya, pertanyaan itu muncul: apakah pakaian yang tersisa di kamar pembantu tadi milik perempuan yang pernah bekerja di sini… yang tidak pernah keluar hidup-hidup?
Liona cepat-cepat mengedipkan mata, menahan air mata yang sudah membakar balik kelopak matanya. Tapi Mikael belum selesai.
“Oh, dan satu aturan lagi,” katanya tiba-tiba.
“Sudahlah, Mikael,” sela Harry dengan nada rendah yang sulit di tebak, apakah itu peringatan atau sekadar basa-basi.
Mikael melirik tajam padanya, lalu kembali menatapku. “Empat. Kalau kau mau menangis, keluar dari rumah ini. Aku tidak tahan dengan orang cengeng.”
Liona takut suaranya akan pecah jika bicara, jadi ia hanya mengangguk pelan, berdoa agar air mata yang hampir jatuh itu bertahan di tempatnya.
Lukas menyipitkan matanya, sorotnya dalam dan penuh penilaian. Liona bisa melihat pikirannya sedang memproses sesuatu di balik mata tajam itu.
Tapi ia tak bisa menebak apa.
“Baunya enak,” kata Harry, memecah keheningan yang canggung saat saudara-saudaranya mulai duduk.
Mikael hanya menggerutu dan menyesap segelas air. Dia memang besar dan tidak berotot seperti Harry, tapi tetap tampak mengintimidasi.
Kemejanya ketat di bagian dada, dan rahangnya tampak terkunci rapat. Dahi berkerut, sorot matanya masih tak beralih dari Liona.
Kakinya gemetar saat mulai menaruh piring-piring saji ke atas meja, lalu perlahan mundur, berjinjit kembali ke aula.
Tubuh Liona menyerah setengah jalan menuju kamar. Aku menutup mulut untuk menahan isak tangis, menyandarkan kepala ke dinding yang dingin.
Dengan susah payah, dia memaksakan diri untuk berjalan lagi, melangkah sisa jarak ke kamar tidur, lalu menutup pintu pelan.
Tidak berguna.
Sampah tak berarti di dunia ini.
Kau menyebut ini bersih?
Kau benar-benar mau makan itu sekarang?
Kau tahu kau bisa menolak, kan? Dia tidak akan membunuhmu hanya karena itu.
Kau pikir aku akan makan makanan menjijikkan itu?
Suara-suara itu bergema di dalam kepala Liona bisikan tajam yang terdengar seperti suara ayah, ibu, saudara perempuan, dan… Bennedit
Suara mereka berubah jadi teriakan nyaring, seperti klakson keras yang memenuhi seluruh pikirannya, menusuk-nusuk setiap bagian tubuhnya dengan kata-kata yang membunuh perlahan.
Liona sempat menggapai mangkuk di sudut ruangan sebelum muntah tak tertahan, lalu jatuh tersungkur ke lantai, membiarkan air matanya jatuh deras.
Tapi ia tahu… Liona tidak bisa terus bersembunyi.
Ia harus keluar lagi.
Dan menghadapi ketiga saudara itu.