Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
"Huft ..." Maryam menghembuskan nafas dan kembali menarik nafasnya dalam sebelum turun dari kereta yang ditumpanginya, berharap semua sesak di dadanya hilang seiring tempat baru dimana kakinya berpijak, Garut.
"Ateu ..." suara anak kecil yang tak asing di telinga Maryam mengalihkan fokusnya, wajahnya seketika berubah ceria dengan senyum lebar terukir di bibirnya saat mendapati sang keponakan melambaikan tangan ke arahnya.
Saat di kereta tadi, dia sudah bertukar pesan dengan sang kakak. Kakak pertama Maryam menawarkan untuk menjemput karena kebetulan di rumahnya sedang kedatangan adik dari suaminya yang sudah akrab dengan Maryam yang dengan senang hati bersedia menjemput Maryam.
"Syaqila sama siapa?" Maryam memeluk keponakan pertamanya yang sudah kelas enam SD itu setelah sang keponakan mencium tangannya.
"Sama Om Ahmad, Om Ahmadnya lagi ke toilet dulu."
"Kesini nya naik motor atau ..."
"Mobil Ateu, punya temannya Om Ahmad."
"Ouh, ya sudah kita tunggu Om Ahmad."
"Iam, sudah sampai?" adik dari kakak ipar Maryam yang bernama Ahmad datang menghampiri Maryam dan keponakannya.
"Iya, maaf ya A Ahmad jadi merepotkan."
"Enggak kok, lagi santai juga kebetulan ada temen yang berkunjung jadi sekalian jalan-jalan aku ajakin menjemput kamu."
"Ini, kenalkan teman aku." Ahmad menunjuk seorang pemuda yang sejak tadi duduk tidak jauh dari tempat Maryam dan Syaqila. Maryam tidak tahu jika lelaki itu adalah teman Ahmad yang menjemputnya.
"Qila kenapa gak bilang sama Ateu kalau itu teman Om Ahmad?" bisik Maryam di telinga keponakannya.
"Hhe ...lupa." jawab Syaqila dengan wajah nyengirnya.
"Agam." Laki-laki yang diperkirakan lebih senior usianya dari Maryam itu mengulurkan tangan untuk berkenalan. Maryam pun tersenyum sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Agam pun tersenyum tipis, hampir tak terlihat, dia melakukan hal yang sama dengan Maryam, menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Perjalanan mereka menuju kediaman kedua orang tua Maryam pun dimulai. Agam yang mengendarai mobil, Ahmad sudah menawarkan diri untuk membawa mobil tetapi Agam menolak dan membiarkan dirinya mengendarai mobil mewah itu.
Maryam dan Syaqila duduk di jok belakang sementara di depan Ahmad duduk di samping kemudi.
"Mau mampir dulu ke tempat lain gak?" lima menit perjalanan yang diisi dengan keheningan dihangatkan dengan suara Agam.
"Mauuuu ..." teriak Syaqila antusias, dia menoleh ke arah tantenya meminta persetujuan.
"Emangnya Qilla mau kemana?"
"Ke Yogya dulu Ateu lah ..." Yogya yang dimaksud Syaqilla adalah Yogya supermarket.
"Minta izin dulu sama Om Agam dan Om Ahmad."
"Om boleh gak?"
"Boleh dong, apa sih yang enggak buat ponakan Om yang cantik." Ahmad yang menjawab sementara Agam hanya mengacungkan jempol.
Agam pun melajukan mobilnya ke arah pengkolan, pusat kota Garut yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan.
"Dia adik ipar kakak kamu?" tanya Agam saat berdua dengan Ahmad, sedangkan Maryam dan keponakannya sudah naik ke lantai atas untuk membeli apa yang diinginkan Syaqilla. Kedua pemuda itu lebih memilih menunggu di dalam mobil.
"Iya."
"Cantik." ucap Agam pelan namun masih terdengar oleh Ahmad.
"Ish dari mana kamu tahu dia cantik? Maryam kan pakai cadar." tanya Ahmad heran.
"Wanita cantik mah dilihat dari matanya aja cukup." kelakar Agam sambil tertawa diujung ucapannya.
"Heummm, oke oke percaya deh sama player mah. Haha ..."
"Aku mah player insaf."
"Baguslah, eh tapi jangan macam-macam ya, Maryam sudah punya suami loh."
"Oiya?" Agam tampak tidak percaya.
"Aku kira dia masih gadis."ucapnya pelan sembari menggelengkan kepala.
Hanya setengah jam waktu yang digunakan Maryam dan Syaqilla untuk berbelanja. Dua kantong kresek berlabel Yogya ditenteng dua wanita beda generasi itu.
Tepat pukul delapan malam Maryam tiba di rumah kedua orang tuanya. Suasana haru pun melingkupi pertemuan Maryam dengan kedua orang tuanya. Ini adalah kali kedua Maryam pergi ke Garut semenjak menikah, rasa rindu tentu tak terbendung lagi kepada Abah dan Ambunya.
Tidak banyak obrolan antara Maryam dan kedua orang tuanya. Hanya berbicara tentang kabarnya saat ini dan kesibukan Ibra yang baru bisa datang besok sore.
"Sekarang sebaiknya Iam istirahat ya. Besok Khadijah dan Aisyah akan datang siang katanya." Ambu meminta putri bungsunya untuk beristirahat. Kedua kakak Maryam juga akan datang besok bersama keluarganya.
"Iya Ambu, Iam pamit ya, Bah."
"Ya, istirahatlah." sahut Abah yang masih anteng dengan kitab di pangkuannya.
Maryam memindai setiap sudut kamar yang baru ditempatinya lagi setelah hampir sebelas bulan dia tinggalkan. Semuanya masih sama tak ada yang berubah. Sesuai dengan perkataan Ambu setiap kali bervideo call jika kamarnya selalu dijaga dan dibersihkan.
Hamparan kasur yang berbalut seprai merah muda seolah menarik tubuh lelah Maryam untuk segera terlentang. Dan saat langit-langit kamar menjadi objek tatapan Maryam seolah kembali memutar ingatan tentang fakta yang dilihat oleh mata kepala Maryam sendiri perihal kebersamaan suami dan wanita masa lalu nya di dalam mobil yang sama.
"Akang, dua kali aku melihatmu bersamanya padahal alasanmu katanya kesibukan pekerjaan tapi ternyata ..."
Tes ...
Air mata Maryam tiba-tiba keluar dari sudut matanya.
Keesokan harinya, Maryam tampak lesu. Entah mengapa setiap kali dirinya teringat akan semuanya yang dilakukan sang suami membuatnya merasa sedih dan tidak bersemangat.
Tepat pukul lima sore Ibra tiba di Garut. Keluarga besar Maryam menyambutnya dengan ramah.
Silaturahmi keluarga besar Abah dan Ambu pun dimulai setelah Magrib. Ibra tidak pernah jauh-jauh dari istrinya selama silaturahmi berlangsung. Hal ini tentu membuat semua orang berkesimpulan jika rumah tangga Maryam dan Ibra sangat baik.
Bukan hanya keluarga inti Maryam yang hadir malam itu, tetapi juga seluruh keluarga besar dari pihak Ambu dan Abah. Hal ini rutin dilakukan setiap akan menjelang mulan Ramadan.
"Bagaimana kabarnya Mas? Sudah lama kita tidak bertemu." Azhar, suami dari Kakak pertama Maryam, yaitu Khadijah membuka percakapan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, para tamu sudah berangsur meninggalkan kediaman abah dan ambu tinggal keluarga ini saja yang memang berencana akan menginap.
"Alhamdulillah baik, Mas." Azhar memang ada keturunan Jawanya, sehingga dia dipanggil Mas begitu pun dia memanggil yang lain demikian, walaupun statusnya dia ipar paling sulung.
"Waktu kapan ya, Mas pernah ke Bandung nengok orang tua santri yang sakit. Pas lagi nunggu lift sempet ngeliat orang yang mirip Mas Ibra di rumah sakit, dilihat-lihat memang Mas Ibra, tapi pas mau manggil gak jadi karena sepertinya saya salah, hanya mirip saja. Soalnya tiba-tiba ada perempuan yang datang gelendotan di tangan orang itu, sepertinya istrinya dan bukan Maryam." Mas Azhar tergelak di akhir kalimatnya, sementara Ibra tersentak, Ibra memang pernah berada di rumah sakit beberapa hari ke belakang.
Maryam memejamkan mata setelah mendengar cerita kakak iparnya, dia pun mengingat hari dimana dia sempat melihat Ibra dan Tasya di rumah sakit Harapan Kita.
"Mas Azhar ke rumah sakit Harapan Kita?" tanya Maryam menanggapi,
"Iya, rumah sakit swasta yang besar itu, nyaman lagi di sana kayak bukan seperti di rumah sakit." jawab Mas Azhar antusias.
"Waktu hari Kamis tanggal delapan belas bukan Mas Azhar ke Bandung?" Maryam melirik wajah suaminya yang mulai menegang.
"Iya iya bener, kok Iam tahu?" Mas Azhar penasaran.
"Kenapa Mas Azhar gak nelpon Iam kalau ke Bandung? Kebetulan Iam juga ke rumah sakit Harapan Kita pada hari itu." Jelas Maryam membuat Ibra seketika membola, pikirannya mengingat-ingat kapan tepatnya dia ke rumah sakit itu menemani Tasya.
makin nyut2tan hati ini,gmn ibra perasaan mu stlh tau semua yg kau lakukan tak dpt d sembunyikan dr istri,krn perasaan istri itu sangat peka.....
maryam semangat😭💪