Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Setelah kejadian itu, Suci berhenti sekolah. Dia juga pindah rumah. Kami tak pernah bertemu lagi dengannya. Aku pindah ke sebelah Bulan. Sementara Wisnu terpaksa dirawat di rumah sakit.
"Lo yakin Alex ga bakalan marah?" tanya Bulan.
"Ga lah, dia kan ga cemburuan juga. Lagian kan gue ke sini karena kasian," jawabku.
Kami turun dari bus dan berjalan kaki menuju rumah nenek Wisnu.
"Bau banget!" umpat Bulan. Aku langsung menyenggolnya agar dia bisa menahan diri.
"Permisi!" Aku mengetuk pintu rumah tersebut dan melihat nenek Wisnu sedang duduk di kursi rotan sembari mengurut betisnya dengan minyak.
"Masuk, Nduk," ucap beliau dan kami menyalaminya.
"Ini kebutuhan nenek selama Wisnu di rumah sakit. Kami cuma mau nganter ini Nek, jadi ga bisa lama-lama," ucapku.
Setelah berbincang sebentar, kami kembali ke rumah sakit dan melihat keadaan Wisnu. Di sana ada Alex. Itu cukup mengejutkan untukku. Apakah dia akan marah?
Tiba-tiba Alex merangkulku di hadapan Bulan dan Wisnu. "Gue pacaran sama Mutia. Mulai sekarang, lo harus sadar diri," ucapnya pada Wisnu.
"Lex, timing-nya ga tepat," balasku.
"Gue ga peduli lo pacaran sama siapa. Gue cuma mau cepet balik," balas Wisnu yang hendak bangkit. "Aw!" tiba-tiba ia meringis sebab tangannya terasa sakit.
Refleks, aku hendak menolongnya, namun Alex menarikku untuk tetap berada di dekapannya. "Biar Bulan aja."
Bulan membantu Wisnu untuk duduk. "Tangan lo patah," ucap gadis itu.
"Suci gimana?" tanya Wisnu.
"Setelah keadaan lo kayak gini, lo masih nyariin dia?!" omelku.
"Suci udah di drop out dari sekolah. Video dia kemaren kesebar di medsos," jelas Bulan. "Ga nyangka banget dia kayak gitu."
"Dia cuma butuh duit," balas Wisnu.
"Nyari duit ga mesti kayak gitu, Nu! Bulan juga nyari duit kok! Ga seaneh Suci kok!" balasku.
"Dia tulang punggung ...."
"Tulang punggung keluarga? Dia dipaksa biayain adeknya yang ga tau diri itu? Kita berdua tau kok keluarga Suci kayak gimana. Tapi kan masih banyak pilihan hidup yang lain," jelasku memotong kalimat Wisnu.
"Coba liat lo sekarang! Gimana? Lo jadi kayak gini gegara Suci, Nu. Lo ga kesian apa sama nenek lo? Nenek lo sendirian di rumah gegara cucunya ada di sini! Di rumah sakit ditonjokin orang demi belahan jiwa! Ga malu apa lo? Ga mikir? Nenek lo cuma punya lo di dunia ini! Kalo lo kenapa-kenapa, dia gimana? Ga sampe otak lo buat mikir ke sana? Lo rela nenek lo kesepian demi cewek kayak Suci? Gila lo! Tolol!" umpat Bulan kesal.
Tiba-tiba Alex menarik tanganku untuk ke luar ruangan. Pasti dia mau marah! Pasti dia akan bertanya kenapa aku bisa sedekat ini dengan Wisnu. Pikiranku sudah berkeliling.
"Wisnu cuma tinggal berdua sama neneknya?" tanya Alex.
Aku mengangguk sebab takut dia marah padaku.
"Terus sekarang neneknya gimana?" tanyanya lagi.
"Ya sendirian di rumah. Wisnu itu ngidupin neneknya, dia jarang masuk sekolah soalnya kerja ngepul barang rongsok. Terus dia benerin, terus dia jual lagi. Emak bapaknya udah cerai dan Wisnu ditinggalin sama neneknya," jelasku.
"Kamu tau dari mana? Kan kamu bilang kamu ga kenal sama dia."
Tuh kan! Dia pasti nanyain ini!
"Aku tau dari Bulan," jawabku berbohong.
"Terus yang ngurus neneknya sekarang, siapa?" tanya Alex lagi.
"Ga ada."
***
Keesokan harinya saat aku dan Bulan menjenguk Wisnu di rumah sakit, kami sudah mendapati nenek Wisnu berada di dalam ruangan.
"Loh, Nenek bareng siapa?" tanyaku.
"Tadi ada temennya Wisnu ke rumah, Nenek diajakin buat jenguk Wisnu. Nenek ga mau pulang, di sini aja ngurusin Wisnu. Makasih ya semuanya," ucap nenek Wisnu.
Aku menoleh pada Bulan.
"Sejak kapan Wisnu punya temen?" bisiknya.
Aku jadi berpikir bahwa itu Alex. Aku sampai tersenyum melihat nenek. Ternyata Alex juga sepeduli itu. Mungkin dia masih gengsi untuk menunjukkan sisi iba terhadal Wisnu.
"Namanya siapa, Nek?" tanyaku.
"Ga tau, Nenek ga nanya."
Aku menganggukkan kepala.
"Oh iya, Mutia. Ini biaya rumah sakitnya gimana? Nenek ga punya uang," ucap nenek membuatku terdiam sejenak. Kami juga tidak punya uang. Kami hanya anak sekolahan. Bulan juga bekerja hanya untuk dirinya sendiri sebab kebutuhan hidupnya sudah tidak lagi dipenuhi oleh sang ayah semenjak memiliki ibu tiri.
"Bentar ya, Nek," ucapku menarik Bulan ke luar ruangan.
"Gimana? Kita juga ga punya uang!" ucapku begitu kami menjauh.
"Mending kita tanya ke pihak administrasi dulu, soalnya gue ada sih duit tapi ga banyak. Kalo sekiranya ga mahal-mahal amat, ya gue bisa bantu," ucap Bulan.
Kami sepakat untuk bertanya kepada pihak administrasi. Tapi ....
"Biaya pengobatan, kamar dan lain-lain untuk Wisnu Pradana, sudah dilunasi untuk perawatan seminggu ke depan."
"Loh, siapa yang bayar, Mbak?" tanyaku.
"Dibayar atas nama Rendi Pradana."
Rendi Pradana?