Zona Khusus Dewasa + Slowburn
Drasha Season 2
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 ACICD - Jatuh Cinta?
Mobil Ruby berhenti di depan pagar hitam yang menjulang. Wanita itu merapikan kacamatanya dan menoleh pada sebuah rumah mewah yang tampak seperti vila modern dengan fasad kaca besar, taman tapi dan logo tim. Itulah Gaming House (GH) Aerox Esports.
Wanita itu merapikan posisi id cardnya sebelum turun dari mobil.
Seorang kemudian satpam menyapa dengan ramah dan mengantarkan Ruby ke depan pintu utama di mana seorang wanita dengan rambut tergerai lurus sudah menunggu.
"Selamat datang, saya Kinara, manager Aerox Esports," sapa Kinara ramah, menjulurkan tangannya. "Anda pasti Nona Ruby dari GMG, yah?"
"Iya, saya Ruby, yang ditugaskan meliput tim Aerox Esports divisi Warrior Legends," Ruby menjabat tangan Kinara. "Panggil Ruby saja."
"Oke, mari, Ruby, silakan masuk," ajak Kinara tersenyum lembut.
Ruby mengangguk sopan, merapikan rambut cokelat panjang yang dia selipkan di belakang telinga. Blazer krem yang wanita itu kenakan bergerak lembut saat dia melangkah masuk mengikuti sang manager.
Begitu melewati ambang pintu, aroma ruangan yang sejuk bercampur wangi kayu premium langsung menyambutnya. Lorongnya luas, dihiasi LED lembut dan rak kaca besar berisi piala–piala turnamen yang berkilau terkena pantulan cahaya. Ruby berhenti sebentar, menatap deretan trofi tinggi dan medali yang tertata rapi.
"Ini semua prestasi anak-anak Aerox, sayangnya mereka belum pernah dapat piala WPL," jelas Kinara sambil berjalan di sampingnya. "Semoga saja di final lusa mereka berhasil."
Perjalanan mereka berlanjut melewati ruangan santai dengan sofa abu-abu besar, vending machine penuh minuman energi dan dinding belakang yang ditempeli poster para pemain.
Lalu sebuah pintu geser otomatis terbuka. Begitu masuk, Ruby disambut ruang latihan luas yang dipenuhi cahaya LED kebiruan.
Di tengah ruangan, lima cowok tampan dengan pesona khas masing-masing sedang duduk di kursi gaming, mengenakan headphone, berhadapan dengan PC berkualitas tinggi. Suara keyboard yang cepat dan klik mouse memenuhi udara. Tapi, kehadiran Ruby di sana mampu memecah fokus mereka sekilas sebelum kembali menatap layar.
Kalau tiga pemain yang nonton dari sofa justru spontan menoleh pada Ruby. Mereka terkesima dengan sosok yang begitu cantik di sana.
Bagi mereka, melihat perempuan-perempuan cantik sudah biasa. Deretan Brand Ambassador tim Esports dan para talent selalu menyegarkan mata mereka.
Tapi, saat melihat Ruby, ada pesona yang begitu memikat dari kecantikannya. Kinara sang manager juga mengakui hal itu dalam hati sejak tadi. Cowok yang dikenal paling cuek di antara para pemain pun ikut teralihkan dengan kemunculan Ruby.
Para coaching staff jangan ditanya, mereka yang tadinya penuh analisis juga ikutan pecah fokusnya.
"Sebentar lagi latihannya selesai, Ruby. Silakan duduk dulu," bisik Kinara.
Ruby akhirnya menurunkan dirinya untuk duduk di kursi terdekat, memperhatikan proses latihan itu.
Begitu sesi latihan para pemain Aerox Esports selesai, Ruby mula-mula memperkenalkan diri lalu lanjut melakukan wawancara.
Kinara menjulurkan satu kaleng minuman dingin pada Ruby setelah wawancara sore itu selesai.
"Terima kasih, Kak Kinara," ujar Ruby.
"Sama-sama, Ruby," timpal Kinara akrab, duduk di sebelah Ruby. Dia kemudian menyesap minumannya sendiri.
Ruby kemudian menoleh pada arah lorong masuk, seperti menantikan kehadiran seseorang.
"Pak Adriel akhir-akhir ini sedikit berbeda," celetuk Kinara. Ruby menoleh cepat pada Kinara ketika mendengar nama Adriel disebut.
"Ada apa, Kak?"
"Dia itu orangnya anti sama media, tapi baru-baru ini saya baca artikel tentang Pak Adriel dan sekarang dia kasih izin media untuk meliput anak-anak Aerox."
"Tapi yah, bagus juga, dia akhirnya bisa membuka diri pelan-pelan."
"Memang sebelumnya Pak Adriel seperti apa?"
"Tertutup banget orangnya, kalau dia dateng ke sini kita semua tertekan, kadang anak-anak ngarep dia nggak usah dateng. Tapi, ya siapa sih yang bisa ngatur, kan dia CEOnya."
"Ah, beberapa hari yang lalu dia dateng ngasih traktiran sepuasnya karena anak-anak Aerox lolos grand final WPL. Nah, waktu itu kita agak leluasa karena ponakannya dibawa jadi nggak tegang."
"Narell, yah, Kak?"
"Iya, Narell, kamu kenal?"
"Kenal, Kak, saya pernah ketemu."
"Nahh, kalau ada Narell pasti galaknya ilang kok," Kinara tertawa kecil.
Ruby manggut-manggut. "Oh iya, Kak, kalau gitu, apa Pak Adriel mau datang juga hari ini?" tanya Ruby penasaran.
"Untungnya enggak, info dari Hougan sih katanya Pak Adriel ada urusan bisnis di Jepang selama tiga hari."
"Ohh begitu ya…" Wajah Ruby sedikit murung mengetahui hal itu. Entah kenapa dia mau melihat Adriel.
Ruby memang sebal dengan Adriel yang seenaknya mengatakan Ruby penggoda ataupun licik dan berbagai sebutan lain yang tak disukai Ruby, tapi tak berjumpa beberapa hari ini dengan Adriel membuat Ruby selalu mencari-cari keberadaan pria nyebelin itu.
Ketika masuk di mobilnya, Ruby bersender sebentar. Dia belum menyalakan mesin. Satu tangannya terangkat ke dada. Matanya menyusul terpejam.
Bayangan wajah Adriel kemudian muncul dan Ruby bisa merasakan jantungnya menggedor kuat dari dalam.
"Apa aku beneran jatuh cinta sama Pak Adriel?" gumam Ruby. Tapi, detik berikutnya dia membuka mata cepat dan meluruskan punggung, lalu mencengkram kemudi.
"RUBY, NO!"
Astaga. Bisa-bisanya dia kepikiran kayak gitu.
"Ingat pesan ibu… jatuh cinta itu kelemahan dan segera buang perasaan itu sebelum terlambat." Ruby meyakinkan dirinya sendiri.
"Bagus deh kalau dia ada business trip selama tiga hari, artinya selama aku liput Aerox Esports aku nggak bakalan ketemu dia, dan setelah liputan ini selesai, aku nggak ada urusan lagi sama dia." Bola mata Ruby berkaca-kaca. Cahaya senja memantul di sana.
"Tapi kenapa kenapa rasanya ada yang hilang di sini?" Tangan Ruby meremas kaos di atas dadanya. Dia juga heran. Sejak Bertemu Adriel, dia merasakan berbagai emosi yang tidak bisa dia jelaskan.
Bibirnya yang pink kemudian mengulum rapat. Lalu, Ruby menghela napas berat.
"Aku assassin top tier Crimson Lilies, aku punya ibu yang menyanyangi aku…" Ruby menggigit bibirnya, menahan air yang berkumpul di pelupuknya agar tidak jatuh. "Dia cuma CEO nyebelin yang asal omong dan seenaknya ngatain orang lain! Aku nggak mungkin jatuh cinta sama laki-laki kayak dia!"
Ruby kemudian menghela napas panjang dan menyalakan mesin mobilnya.
"Aku ke mall aja deh, aku butuh buku tentang perang dan cake cokelat sekarang." Ruby akhirnya melajukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sekitar pukul 7 malam, Tamara Alveroz – mama mertua Adriel menyusuri lantai sebuah mall di pusat kota.
Rambutnya tersanggul rapi, dihiasi jepit mutiara. Gaun berpotongan tegas membingkai setiap langkahnya. Di belakang Tamara, asistennya bernama Sophia membawa lima paper bag berlogo premium berisi perlengkapan seni dan satu set alat eksperimen kecil untuk putra bungsunya yang berusia sebelas tahun.
"Pastikan warna birunya yang seri terbaru, Sophia," ujar Tamara tanpa menoleh, suaranya lembut namun otoritatif.
"Baik, Nyonya."
Mereka kemudian berhenti di depan toko berikutnya.
Dan…
Seseorang menarik perhatian Tamara.
Di depan etalase toko kue artisan, berdiri seorang wanita muda berambut cokelat panjang dan sedikit bergelombang. Wanita itu menatap cake cokelat dengan senyum kecil… tapi yang membuat Tamara terpaku adalah wajahnya.
Wajah itu.
Darah Tamara serasa berhenti mengalir. Jantungnya berdegup keras. Tidak, bukan degup, tapi hantaman. Tangannya yang bersarung cincin permata perlahan terkulai, matanya tidak berkedip.
"…Drasha?" bisiknya, lirih, hampir tak terdengar.
Sophia masih sibuk memeriksa struk, tidak menyadari perubahan drastis pada sang nyonya.
Tanpa aba-aba, Tamara melangkah cepat. Tumit stilettonya mengetuk lantai marmer dengan suara tajam. Dia berjalan menembus kerumunan, pandangannya tidak lepas dari wanita itu saat bergerak meninggalkan toko kue.
"Drasha!" suara Tamara pecah.
Namun wanita itu berbelok ke koridor samping.
Tamara mempercepat langkah dengan napasnya yang mulai tidak beraturan.
Begitu dia sampai di tikungan itu…
Tamara kehilangan sosok wanita muda tadi.
Yang ditemukan hanya lantai mengilap, dua remaja lewat sambil tertawa, sepasang suami istri yang mendorong stroller bayi mereka dan hembusan AC pusat yang dinginnya menusuk.
Tamara memutar tubuhnya, menoleh kanan kiri, matanya mencari-cari, wajahnya dipenuhi kebingungan, ketakutan dan secercah harapan yang menyakitkan.
"Tadi itu… Drashaku… itu… dia…" Tamara bergumam, suaranya bergetar.
Langkah cepat terdengar menghampiri. Shopia muncul, sedikit terengah membawa belanjaan.
"Ma-maaf, Nyonya… saya kehilangan Anda tadi. Ada apa, Nyonya?"
Tamara menatap kosong ke koridor sepi, jemarinya bergetar halus.
"…Saya melihat Drasha, Sophia," jawab Tamara, suaranya pecah.
Sophia membeku. Karena mereka berdua tahu satu hal, kalau Drasha telah tiada sepuluh tahun yang lalu.