Sebuah Cinta mampu merubah segalanya.Begitulah kiranya yang akan dirasakan Mars dalam memperjuangkan cinta sejatinya.
gaya hidup Hura Hura dan foya foya berlahan mulai ia tinggalkan, begitu juga dengan persahabatan yang ia jalin sejak lama harus mulai ia korbankan.
lalu bisakah Mars memperjuangkan cinta yang berbeda kasta, sedangkan orang tuanya tidak merestuinya.
Halangan dan hambatan menjadi sebuah tongkat membuatnya berdiri tegak dalam memperjuangkan sebuah cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16
"Semua akan baik baik saja Amara." ucap Mars membuat Amara tersadar jika dirinya sudah menempelkan kepalanya di tubuh Mars.
Amara berdiri tegak dengan mengusap air matanya mencoba untuk terlihat tegar di mata Mars.
"Terima kasih." jawab Amara
"E.... Untuk uang aku akan berusaha secepatnya mengembalikan." ucap Amara begitu saja, walau ia juga tidak tahu dari mana ia akan mendapatkan uang sepuluh juta lagi, padahal uang kerusakan mobil dua puluh lima juta saja baru di cicil satu kali.
"Jangan pikirkan itu, aku tidak menganggap ini adalah hutang Amara." jawab Mars menatap mata Amara yang sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
"Kenapa kamu masih ada di sini?!!!" kata Amar dengan nada tinggi dan emosi namun tidak dengan suara keras.
"Dan kamu Amara. Kenapa kamu begitu menikmati bersama dengan predator seperti itu. Karena kaya?? Kamu mau jadi bagian dari wanitanya untuk mendapat uang?? Menjijikan sekali Amara." ucap Amar dengan mata melotot, Amar dari kejauhan masih melihat ketika Amara tanpa kesadaran menempelkan kepalanya di dada Mars, ketika Mars berada di hadapannya, dan hal itu membuat Amar merasa jijik pada Amara, karena menurut sudut pandang Amar, Amara terlalu mudah berdekatan dengan Pria yang baru ia kenal, padahal sudah hampir lima bulan mereka mengenal satu sama lain.
"Aku..."
"Aku apa??" potong Amar ketika Amara hendak menjawab, ia membentak Amara membuat Amara terkejut
"Jangan bentak Amara seperti itu." cegah Mars, ia merasa tidak rela jika orang yang dicintainya ada yang menyakiti.
"Jangan ikut campur. Sekarang pergi dari sini sebelum aku kembali memukulmu." ucap Amar menantang Mars.
"Amar sudah...." lerai ibunya.
"Biarkan saja Bu, aku tidak pernah takut dengan brengsek seperti ini." ucap Amar, membuat Ibunya memohon pada Amar agar tetap tenang karena ayahnya sedang sakit.
"Amar dia yang sudah menyelesaikan biaya rumah sakit. Tadi jika tidak di bayar segera, dokter tidak akan melakukan operasi." ucap Amara
"Berapa??!" tanya Amar. Amara pun menyerahkan bukti biaya rumah sakit tertulis sepuluh juta, yang membuat Amar terdiam sejenak. Sebagai seorang Pria sangat malu bagi Amar jika harus menjilat lidahnya sendiri dan harus meminta maaf pada Mars. Tanpa berpikir panjang Mars pun menyuruh Mars untuk tetap di sana sampai ia kembali.
Tak mengerti apa yang akan di lakukan oleh Amar, akhirnya Mars pun bersedia menunggu. Semenjak Mars mengetahui Amar adalah saudara Amara, ia memilih terlihat mengalah, bahkan raut wajahnya pun sudah berubah, tak ada lagi raut wajah emosi dan marah lagi.
Amara sendiri tidak tahu apa yang akan di lakukan oleh Amar, ia merasa cemas takut Amar akan melakukan hal hal yang membahayakan Mars, mengingat Amar tipe lelaki yang mudah emosi.
Satu jam Amar datang dengan membawa sebuah amplop coklat, Amara segera bangkit di ikuti Ibu juga Mars yang ikut berdiri, karena sebelumnya mereka duduk di ruang tunggu, setelah Ayah Amara di pindahkan ke ruang Iain, namun belum bisa di besuk, membuat semua menunggu di kursi tunggu.
"Sepuluh juta."
"Dan ini dua puluh empat juta."
"Lunas."
"Mulai sekarang menjauh dari keluargaku, aku tidak mau berurusan bahkan melihat wajahmu pun aku tak sudi." ucap Amar di hadapan Mars sambil mengulurkan amplop coklat itu pada Mars, namun Mars hanya melihat mata Amar saja, tanpa ingin menerima amplop tersebut.
Amar meraih tangan Mars dan meletakan uang itu di tangan Mars, dan Mars tidak bisa berbuat apa apa. Ia memilih pergi tanpa pamit pada siapa pun, walau dalam hatinya ingin sekali berucap jika ia ingin melunaskan hutang mereka, dan mengatakan jika ia melakukan itu semua karena ia sangat mencintai saudara kembarnya, namun bibir Mars kelu.
Amara sendiri hanya diam saja melihat hal tersebut, sebenarnya ia sangat tidak rela dengan perkataan Amar, namun ia tidak mau memperkeruh keadaan, karena ayahnya dalam keadaan sakit. Hanya wajahnya saja yang merasa ia tidak rela dengan kepergian Mars, terlebih Mars sudah menyelamatkan ayahnya tadi. Jika bukan bantuan dari Mars, mungkin kondisi ayahnya semakin buruk karena terlambat operasi atau penangananya.
"Dari mana kamu mendapat uang sebanyak itu Amar?" tanya ibunya penasaran, sejak tadi ia hanya diam dengan tingkah Amar.
"Aku menjual motorku." jawab Amar seraya duduk di kursi dan mulai memijat pelipis kepalanya yang masih berdenyut keras.
"Appa??" kata Amara juga ibunya secara bersamaan karena terkejut dengan ucapan Amar.
"Sudahlah Bu. Aku masih kerja, jadi bisa membayar angsuranku sendiri." jawab Amar pelan, walau hatinya sebenarnya ada rasa tidak menerima dengan keputusannya sendiri.
"Tapi itu motor baru Amar." Ibunya mulai sedih dengan keputusan putranya, dan ia memeluk putranya yang sudah berkorban untuk keluarga.
Amara tertegun mendengar penuturan Amar, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana selain ikut memeluk Amar. Bagaimana pun keputusan Amar, bagi Amara itu adalah keputusan terberat bagi Amar. Sebuah motor impian Amar sejak kecil, namun belum sempat ia berbahagia dengan motor barunya ia harus menjual karena sebuah insiden.
Di tempat lain Mars masih memandang amplop yang ia pegang. Mars sudah sampai di kamarnya, ia merenung di sofa tempat favoritnya untuk bersantai.
Pikirannya melayang membawa pada bayangan masa lalu, Amara yang di jemput Amar, pertengkarannya dengan Amar ketika di kantor polisi, sampai perkelahian dengan Amar. Bayang bayang itu semakin nyata dan menganggu pikiran Mars saat ini. Mars pun mengusap wajahnya dengan kasar sebagai gambaran ia sedang putus asa. Ia sangat menyesal tidak mencari tahu dulu siapa Amar, dan hanya tersulut emosi. Kini ia sudah membuat garis hitam sendiri dalam keluarga Amara.
Ponsel Mars berdering terlihat Bara sedang melakukan panggilan, Bara menanyakan keberadaan Mars yang langsung di jawab Mars jika dirinya sedang di rumah. Tak berapa lama pun Bara sudah sampai di kamar Mars, ia melihat wajah kawannya yang penuh dengan memar juga luka di bibir. Bara baru mengetahui jika Mars berkelahi karena Mars tidak masuk kampus. Bara duduk di hadapan Mars dan melihat wajah Mars penuh luka.
"Bro....??" panggil Bara namun seakan mengundang pertanyaan kenapa dengan wajahnya yang terluka. Ia sedikit terkejut dengan luka di wajah Mars. Karena sebelumnya, Mars belum pernah terlibat sebuah pertengkaran apalagi perkelahian.
"Aku membuat kesalahan Bara." jawab Mars dengan tatapan kosong menatap ke depan, bayangan itu masih berseliweran di otak Mars.
"Orang yang aku persulit dengan masalah, ternyata saudara kembar Amara." tambah Mars dengan mengalihkan pandangan matanya menatap wajah Bara, yang juga sedang memperhatikan dirinya dengan serius, yang sedang menceritakan Amar.
Bersambung.....