Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 (Beef teriyaki)
Trek…
Vanila mematikan lampu kamar, hendak tidur ketika di saat yang bersamaan handphonenya berbunyi nyaring, terlihat panggilan masuk dari kontak Edgar.
“Ha—”
‘Saya di kamar tamu.’
“Kamar tamu?” Vanila tidak menangkap maksud dari ucapan Edgar.
‘Iya saya di sini, kemari lah!’ Titah Edgar dengan nada yang terdengar serius.
“Bapak butuh sesuatu? Air putih, buah, atau mau saya masakin lauk kalau mau makan nasi?”
‘Tidak, saya cuma mau kamu.’
Lalu panggilan diputus secara sepihak oleh Edgar.
Vanila langsung mematung saat mendengar permintaan yang sangat jujur dari Edgar. Waktunya akan segera tiba cepat ataupun lambat, suka tidak suka Vanila harus tetap menyerahkan diri sebagai ganti untuk uang yang sudah dirinya terima. Tapi setidaknya jika sudah terlaksana, apalagi jika Edgar sudah merasa bosan. Setidaknya Vanila bisa segera keluar dari lingkaran setan yang sedang menjebaknya saat ini.
Vanila meletakan handphone di atas nakas, beranjak dari ranjang kecil miliknya, lalu keluar.
Dengan perasaan gugup, Vanila berjalan ke arah sebuah pintu kamar yang tertutup. Dimana mereka hampir melakukannya disana beberapa waktu lalu.
Tok tok tok…
Vanila mengetuk kayu di hadapannya lebih dulu, lantas menekan gagang pintu sampai benda itu terbuka perlahan.
Dan disanalah Edgardo Fariz Santos, duduk di sofa dengan hanya berbalutkan jubah mandi. Wajahnya terlihat lebih segar, rambut klimis setengah kering, tampak menggoda saat beberapa helai rambut menjuntai ke depan menyentuh kening.
“Masuk, Van. Tutup lalu kunci pintunya!” Titah Edgar tanpa menoleh, karena sibuk melihat layar handphone.
Vanila melangkah masuk, menutup pintu dan juga menguncinya sesuai keinginan Edgar.
“Kemarilah!”
Edgar menekan tombol power di ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu di atas nakas tepat di samping sofa yang tengah ia tempati.
Vanila mengangguk saja. Memangnya apalagi yang harus Vanila lakukan?
“Bapak sudah mandi?”
Basa-basi yang sangat basi, tapi tidak apa setidaknya Vanila mulai bisa mengendalikan diri. Hal itu bahkan di sadari Edgar, bahwa kini Vanila terlihat lebih biasa saja dan mulai dapat membaur.
“Seperti yang kamu lihat.”
“Kalau begitu biarkan saya mandi juga,” Vanila meminta izin.
“Oh, ya. Sure!”
Edgar menjulurkan tangan ke arah pintu kamar mandi berada, memberi isyarat kepada Vanila untuk segera melakukannya.
Sebenarnya bisa saja Vanila tidak melakukannya. Tapi lihatlah, bahkan Edgar menyempatkan diri, padahal dia bisa semena-mena tanpa harus memikirkan apapun.
Klek…
Vanila menutup pintu kamar mandi, lalu berdiri di hadapan kaca wastafel.
“Baiklah Vanila, cukup jadi profesional saja. Dia memberimu uang, lalu kamu berikan apa yang dia inginkan. Selesai!”
Sementara di luar kamar, Edgar kembali menyalakan handphonenya saat merasa belum cukup puas dengan informasi yang dia gali dari Irgi.
Entah punya mantra apa, tapi pesona Vanila mampu menarik Edgar untuk mencari tahu lebih dalam latar belakang gadis itu Padahal sebelumnya Edgar tidak pernah mau peduli pada teman tidurnya, cukup bersenang-senang lalu lupakan.
Walau sesekali melakukan reuni saat merasa rindu.
Setelah 15 menit Vanila habiskan hanya untuk membersihkan diri. Akhirnya perempuan itu keluar, menggunakan Bathrobe yang terlihat sedikit kebesaran.
Rambut panjangnya yang sudah dikeringkan Vanila biarkan terurai.
“Sudah selesai?”
Vanila sedikit memperlihatkan senyum, kemudian mengangguk.
“Oke come!” Edgar menepuk-nepuk pahanya.
Meminta Vanila untuk duduk di sana.
Dan ya, lagi-lagi Vanila tidak menolak. Perempuan itu hanya terus mendekat, lalu duduk di atas pangkuan Edgar.
Sikapnya berubah 180 derajat.
Jika awalnya terlihat takut, malu dan canggung. Kali ini Vanila tampak biasa saja, bahkan tidak banyak bertanya apalagi sampai menolak.
“Saya senang kamu yang seperti ini,” bisik Edgar seraya menyentuh rambut Vanila dan membelainya.
Vanila diam, mereka saling menatap.
“Tingkah kamu hampir membuat saya gila. Saya harus menikah, padahal itu sesuatu yang sangat saya hindari. Lalu pergi untuk memberikanmu waktu agar benar-benar siap.”
“Terima kasih karena bapak sudah sangat pengertian. Saya memang butuh waktu untuk menyesuaikan diri, tapi tidak perlu khawatir karena sekarang saya sudah siap!”
Jari-jari tangan Edgar beralih mengusap kulit pipi Vanila yang terasa sangat lembut.
“Saya ingin menciummu, … tapi karena kamu larang maka tidak saya lakukan.”
Vanila mengangguk.
“Baiklah, tidak ada waktu untuk menunda lagi.”
Edgar meraup tubuh Vanila, mengangkatnya dengan mudah dan berjalan mendekati ranjang tidur.
Bughhh…
Tubuh Vanila mengampul di atas tempat tidur saat Edgar menjatuhkannya kesana.
Vanila memperhatikan Edgar, dia berdiri di ujung ranjang sambil membuka tali dan melepaskan jubah mandinya.
‘Ah ya ampun!’
Kali ini Vanila merasa gugup, tiba-tiba saja bayang-bayang rasa perih saat Edgar berusaha menembusnya kembali muncul.
Pria itu merangkat naik, meraih ujung tali bathrobe Vanila kemudian menariknya.
Edgar tersenyum penuh arti.
Lihatlah perempuan muda ini. Terlihat sangat menggoda seperti mangga mengkal yang begitu menyegarkan.
“Saya tidak akan memakainya dulu, mungkin nanti.”
“Maksudnya gimana?”
“Rubber.”
Vanila tidak mengerti. Namun, saat hendak bertanya Edgar justru menyentuh kedua kakinya, membuat perlahan dan merangsek untuk memposisikan diri.
“Ini akan sakit.”
“Saya tahu. Kita hampir berhasil waktu itu,” Vanila mengingatkan.
Senyuman di bibir Edgar semakin mengembang.
“Kali ini saya tidak mau menahan diri lagi.”
Vanila mengangguk.
“Bisa tahan?”
“Bisa.”
“Good girl!” Bisik Edgar.
Lantas Edgar mengarahkan miliknya hingga menyentuh milik Vanila, menekan perlahan lalu mendorong pinggulnya.
Sorot mata Vanila terus tertuju pada Edgar, bibir bawahnya ia gigit karena berusaha menahan sesuatu.
“Vanila berhenti menatap saya seperti itu!” Edgar memberi peringatan.
Susah payah dia menahan diri, tapi Vanila seolah terus memancing hasratnya.
Akan tetapi Vanila tak mendengar, perempuan itu terus memperhatikan Edgar yang baru saja ia sadari ketampanannya.
“VANILA, stop menantang saya?”
Tatapan Vanila berubah sayu, alisnya melengkung, kening mengkerut dengan bibir perlahan terbuka.
“Mmmhhh sakit!”
Pria itu berhenti sebentar.
Edgar membungkuk, menyerahkan diri agar Vanila memeluknya hanya sekedar untuk menyalurkan rasa sakit.
“Katakan sesuatu jika sudah siap,” Edgar berbisik tepat di samping telinganya.
Vanila bahkan merasakan jika ujung hidung Edgar menempel di pipinya, sampai hembusan nafas yang terasa hangat menyapu wajah.
Perasaan Vanila meminta perempuan itu menoleh, dan tampaklah wajah tampan Edgar yang begitu dekat.
“Oke ayo!” Vanila memberi instruksi.
Cukup lama saling memindai, memperhatikan satu sama lain sampai tidak sadar bahwa bibir Edgar perlahan menyentuh bibir Vanila secara tidak sengaja.
Insting alamiah Vanila membuat kedua bibirnya merenggang. Dengan segenap perasaan Edgar langsung mengecup salah satunya, dan ketika Vanila tidak menolak barulah ia menyambar bibir perempuan yang tampak sambat menggoda itu.
Vanila hanya meletakan telapak tangan di rahang tegas pria itu saat dirinya tak mampu mengimbangi ciuman Edgar yang sangat menggebu-gebu.
Suara deru nafas, decapan dan leguhan pelan saling bersahutan.
Ketika Edgar merasa Vanila sudah terbawa suasana, barulah dia menekan miliknya sekaligus sampai menembus palang pertahanan yang sangat sulit dilalui.
“Hhhhhh…”
Vanila menahan nafas, saat rasa perih langsung terasa di area pribadinya, dan menjalar hingga terasa ngilu ke perut bagian bawah.
“Everything is gonna be okay, breath babe. Breath!”
***
“Van, nasinya masih belum matang? Saya lapar.”
Pertanyaan kesekian kalinya dari Edgar, sampai-sampai Vanila menghembuskan nafasnya berkali-kali karena mulai merasa kesal.
Lagian punya banyak duit kenapa ga orde aja sih? Kan lama kalo harus masak. Belum lagi di bawah sana masih terasa mengganjal, kalau perih udah ga harus di jelasin.
“Van?”
“Astaga. Kalau sudah matang saya bawa kesana,” sahut Vanila.
“Lho kok sewot?”
“Bapak sih!”
“Kok saya!?”
Dengan raut wajah datar Edgar menunjuk dirinya sendiri.
Vanila mendekati meja makan sambil membawa piring berisi beef teriyaki yang baru saja selesai dia masak, lalu disimpannya di atas meja makan.
“Nasinya nyusul!”
Vanila menarik salah satu kursi dan duduk, satu tangannya kebawa menyentuh perut bawah yang terasa nyeri.
“Masih sakit ya?”
“Ya bapak kira gimana?”
“Ya sudah kalau begitu pesan pizza saja.”
Edgar mengambil ponsel dan membuka aplikasi pesan makanan.
‘Kenapa ga dari tadi?’
Vanila menggaruk kepalanya sendiri, dia kesal tapi tidak bisa melakukan apa-apa.
“Kita udah selesai kan, pak?”
“Hemmm,” Edgar menjawab dengan gumaman.
“Kalo gitu ayo talak saya!”
Mata Edgar langsung bergerak, menatap Vanila dengan sedikit kilatan marah yang terlihat.
“Kan bapak cuma mau per—”
“Minta apapun asal jangan talak!”
Vanila terlihat semakin kebingungan.
“Tidak sekarang, Van. Apasih lagi lapar juga kok bahas soal talak, … tunggu saya pesan pizzanya dulu.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Wah pak Irgi cepu nih 😂😂
Jangan lupa follow, komen, like, gift😘
(ig @aurins99) kepoin ada visual bapak Ed sama kak Van😎💅