Devan Ganendra pergi dari rumah, karena iri dengan saudara kembarnya yang menikah dengan Dara. Karena dia juga menyukai Dara yang cantik.
Ia pergi jauh ke Jogja untuk sekedar menghilangkan penat di rumah budhe Watik.
Namun dalam perjalanan ia kecelakaan dan harus menikahi seorang wanita bernama Ceisya Lafatunnisa atau biasa dipanggil Nisa
Nisa seorang janda tanpa anak. Ia bercerai mati sebelum malam pertama.
Lika-liku kehidupan Devan di uji. Ia harus jadi kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama Nisa.
Bagaimana penyelesaian hubungan keluarga dengan mantan suaminya yang telah meninggal?
Atau bagaimana Devan memperjuangkan Nisa?
Lalu apakah Devan menerima dengan ikhlas kehadiran Dara sebagai iparnya?
ikuti kisah Devan Ganendra
cusss...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Akrab
Bu Trimah akhirnya pulang setelah mengungkapkan uneg-unegnya kepada Nisa. Nisa pun kembali ke ruang tengah, dimana disana masih ada Devan.
"Jadi mau beli baju?" Tanya Devan kepada Nisa yang sudah masuk kembali.
"Jadi, kamu ga ada ganti baju kan?"
"Iyasih, ya udah ayuk. Mumpung masih terang!" sahut Devan yang mulai berdiri.
"Emang bisa jalan sampai pasar?" Nisa melihat Devan yang masih kesakitan karena lukanya.
"Bisa!" Sahut Devan." bukannya naik motor?" Lanjut Devan sambil melirik Nisa.
"Motornya di pakai mbak Jannah sama mas Hasan, ngantar ngaji!"
"Pakai motorku, masih bisa kayaknya. Ga parah ini rusaknya!" Devan memilih pakai motornya sendiri. Tadi pagi sempat di panasin, yakin lah masih bisa jika buat berboncengan sampai pasar.
"Yakin mas?" Sahut Nisa. Devan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Akhirnya keduanya pun keluar rumah bermaksud pergi ke pasar untuk membeli pakaian buat Devan.
"Orang masih kesakitan gitu kok!, udah mas di rumah aja. Biar aku beliin. Ukurannya berapa?" Kesal Nisa karena Devan masih merintih kesakitan.
Terpaksa Devan mengiyakan permintaan Nisa. Kemudian memberikan nomor dan ukuran pakaian yang akan di beli.
"Emang bisa naik motor begini?" Tanya Devan kepada Nisa.
Namun tak selang berapa lama Nisa sudah naik di motor Devan. Meski kakinya jinjit karena tinggi jok motornya.
"Bisa!, tenang aja!, aku dah biasa pakai yang begini!" ucapnya kemudian melajukan kendaraannya lewat jalan perkampungan, sebelum sampai di jalan raya.
"ck ck ck....Anak ini!"
Devan menggelengkan kepala melihat Nisa memakai motor sport miliknya. Kemudian ia pun duduk di teras samping rumah.
Sepi, karena anak mas Hasan masih mengaji dan pulangnya habis Maghrib. Begitu juga dengan Janah dan Hasan, kakak iparnya.
Devan menghela nafas panjang, memikirkan nasib yang tiba-tiba punya istri.
"Lho kok di luar?, Nisa mana?" Tanya Jannah yang baru pulang sendirian, tanpa di temani Hasan suaminya.
"Lagi beliin baju mbak. Tadi mau ikut tapi masih sakit!" Sahut Devan sambil bersandar di bangku teras.
"Lha wong begitu kok mau di paksain. Udah istirahat sana!" perintah Jannah kepada Devan. Devan hanya mengangguk.
"Udah masuk!, udah mau Maghrib ini!" Lanjut mbak Jannah memerintahkan Devan untuk masuk ke rumah.
Devan pun mengikutinya, kemudian menutup pintu dan masuk ke kamar mandi.
"Mau ngapain ke kamar mandi?"
"Wudhu mbak!"
"Ohhh!, kalau sudah bilang ya!, mbak mau mandi!" Ucapnya kemudian masuk ke ruang tengah lalu ke kamarnya.
Selesai Wudhu, Devan memanggil mbak Jannah, kalau dirinya sudah selesai.
Devan akhirnya masuk ke kamar Nisa untuk menunggu adzan lalu sholat Maghrib.
Adzan Maghrib pun tiba, Devan bersiap untuk sholat sendiri di kamar.
Ketika sedang sholat, Nisa masuk dan melihat Devan tampak khusyuk.
Kemudian ia pun ikut sholat Maghrib di belakang Devan.
Doa Devan terdengar oleh Nisa, membuat air matanya mengalir membasahi pipi Nisa.
Bagaimana tidak menangis, jika doa Devan adalah untuk kebersamaannya dengan Nisa. Apalagi Devan memohon petunjuk untuk bisa menjadi kepala keluarga yang baik nantinya.
Devan terkejut ketika Nisa ada di belakangnya. Kemudian ia berbalik sambil bersila di hadapan Nisa.
Nisa pun mencium punggung tangan Devan, seakan sudah menjadi pasangan yang sesungguhnya.
"Kenapa menangis?" tanya Devan yang melihat air mata Nisa mengalir dari sela-sela matanya.
Nisa menggelengkan kepala," Terimakasih!" ucapnya, kemudian melipat mukena dan sajadah miliknya.
Devan kemudian bangkit dan duduk di tepi ranjang.
"Biar aku yang lipat mas!" Ucap Nisa ketika melihat Devan menunduk mengambil sajadah.
Devan pun membiarkannya. "Sudah pulang?"
"Sudah lah!, kan cuma beli baju buat kamu!" Sahut Nisa sambil menyeka air matanya yang mulai mengering.
Keduanya tampak canggung, karena memang belum akrab sama sekali. Sehingga kali ini Devan mencoba untuk berbicara, mengakrabkan diri.
"Mau ganti kaos?" Tanya Nisa ketika melihat Devan sedang memeriksa belanjaannya.
Dua kaos dan celana pendek. Kemeja dan celana panjang. Serta pakaian dalam buat Devan.
"Nanti aja!, ini punya mas Hasan biar sekalian besok cuci!" Sahut Devan.
"Pas ga ya kira-kira?" Ucap Nisa sambil mengepaskan kaos di badan Devan. "Tapi aku beli yang murah!"
"Tak apa, yang penting bisa menutupi badan!" Sahut Devan sambil mencoba kaosnya.
"Mbok ya itu kaosnya dilepas dulu kalau mau coba!" Ucap Nisa ketika melihat Devan tidak membuka kaosnya mas Hasan terlebih dahulu.
"hehe!, Dingin Nis!" Sahutnya.
Kemudian Devan mengambil dompetnya yang ada di meja.
"Berapa tadi belanjanya?" Tanya Devan, mengenai belanjaan Nisa buat Devan tersebut.
"Udah ga usah!, entar aja kalau mas udah kerja!"
"Udah ini ATM bawa aja!" Ucap Devan memberikan ATM berwarna gold. Nisa menggelengkan kepalanya, karena belum mau menerima dari Devan.
"Ga usah mas!, buat cadangan mas nanti!" Ucap Nisa.
"Udah pakai aja!, PINnya 123456!"
Nisa mau tak mau menerimanya, meski sebenarnya ia masih mempunyai tabungan selama ini, untuk kehidupan selanjutnya.
"Anggap saja itu nafkah dariku!" Lanjutnya.
"Makasih ya mas!, ini aku simpan!" Sahut Nisa.
"Jangan di simpan, pakai saja!, habisin juga tak apa!" Ucapnya, sambil menaruh kembali dompetnya ke meja.
"Pemborosan!" celetuknya. Meski Nisa belum tahu isi dalam ATM tersebut. Nisa memang tidak suka menghambur-hamburkan uang yang di milikinya.
"Bulik!, ajarin belajar dong!"
Tiba-tiba anak lelaki mas Hasan datang tanpa mengetuk pintu. Hanif minta di ajarin belajar oleh Nisa.
Nisa pun mengangguk, "PR ya?" tanya Nisa, kemudian berlalu meninggalkan Devan.
Devan mengikutinya hingga ruang tengah, berharap bisa akrab dengan keponakan Nisa itu.
Hanif dan Hanifa hanya menatap Devan sekilas. Karena memang belum akrab selama ini. Baru dua hari bersamanya.
"Makan dulu Van!" ucap mas Hasan yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
"Iya mas! nanti aja bareng Nisa!"
"Suapin?" Celetuk Nisa yang sedang mengajari keponakannya belajar. Meski menoleh sebentar, namun senyumannya tidak terlewat oleh Nisa.
"Boleh!" Sahut Devan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Weeyy!, pak lek sudah gedhe kok minta di suapin!" Celetuk Hanif yang sebentar menoleh ke arah Devan ketika belajar. Namun kembali mengalihkan pandangannya ke arah Nisa.
"Ya biarin to nang!" Sahut Mas Hasan sambil duduk di sebelah Devan. Ia masih saja mengusap rambutnya dengan handuk. Mungkin sehabis keramas.
Melihat mas Hasan yang tampak tidak kedinginan, membuat Davin merasa kedinginan. Sebab memang tidak terbiasa dengan cuaca di kampung ini. Kalau siang panas banget. Kalau sore sampai malam dingin banget. Serasa di daerah pegunungan.
"Kok merinding kenapa Van!" Tanya mas Hasan melihat Devan seperti bergidik.
"Dingin mas!"
"Udah mandi?" Tanya Mas Hasan.
"Sudah mas!, tadi sore." Sahutnya. Namun badan semakin tambah dingin, meski ruangan ini tidak ber-AC.
"Lhaaa!, badanmu panas gini kok. masuk angin kamu?" Ucap mas Hasan sambil memegang pelipis Devan. Panas ternyata.
"Ga tahu mas. Rasanya menggigil!" Sahut Devan.
"Ya udah sono!, buat istirahat!" Ucap mas Hasan, meminta Devan istirahat lebih dahulu.
Devan akhirnya masuk ke kamar, untuk merebahkan badannya serta berselimut agar tidak kedinginan.
"Makan dulu Van!"
Mbak Jannah menyuruh Devan makan dahulu sebelum istirahat di kamar. Devan memang terlihat pucat malam ini. Mungkin belum terbiasa dengan suasana di kampung ini.
"Nggih mbak!"
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
ibu tirinya, Nisa???
lanjut thor ceritanya
lanjutkan
jadi semangat bacanya deh
kog bisa2nya kek gitu
kan mayan ada devan yg jadi jaminan
cwek tuh perlu bukti ucapan juga lhooo
pokoknya yg bilang habiskan semua nya 😅😅😅😅