Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Seharusnya Saling Mendukung, Bukan Menjatuhkan
Eva menarik napas panjang, mencoba menahan badai dalam dadanya. Tapi hatinya terlalu penuh. Sudah terlalu lama dia menelan hinaan demi hinaan dari Rista, dan malam ini, semuanya terasa meluap, menggenangi pikirannya. Seakan dinding pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah payah, akhirnya retak, perlahan runtuh.
"Aku tahu aku tidak sempurna," suara Eva terdengar lirih namun menggema di ruang makan yang kembali senyap. Kalimat itu menggantung di udara, lebih dingin dari AC yang menyala di sudut ruangan. "Tapi aku tidak akan meminta maaf karena menjadi diriku."
Semua mata tertuju padanya. Bahkan Lisna, yang semula menikmati momen Eva dihakimi, kini berhenti menyuapi anaknya. Keheningan berubah menjadi sesuatu yang menyesakkan, seperti kabut tebal yang melingkupi dada semua orang di meja itu.
"Aku tidak pernah mengambil apa pun dari kalian. Aku hanya mencintai suamiku, dan aku berusaha sebaik mungkin menjadi bagian dari keluarga ini. Aku ikut dalam segala tradisi, membantu saat ada acara keluarga, bahkan diam saat aku dijadikan bahan hinaan. Tapi kalau memang cintaku dan usahaku tidak pernah cukup, aku tidak akan memaksa.”
Suara Eva sedikit bergetar di akhir kalimatnya, tapi dia tetap berdiri tegak, wajahnya lurus menatap ke depan. Renno hendak membuka mulut, mungkin untuk membela atau sekadar menunjukkan simpati, namun Eva mengangkat tangannya pelan, meminta waktu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Dan Mama…” Eva menoleh, menatap Rista untuk pertama kalinya malam itu. Tatapannya tenang, tapi penuh luka yang dalam, luka yang tak terlihat namun membekas tajam. “Jika ketidakmampuanku melahirkan dianggap membuatku tidak berguna… maka maaf, Mama. Tapi aku percaya, nilai seorang perempuan tidak hanya ditentukan oleh rahimnya. Dan aku sekali lagi mengatakan, jika rahim ku dalam keadaan baik-baik saja. Aku bukan perempuan mandul."
Rista mendengus, namun kali ini tidak membalas. Mungkin karena terkejut, mungkin karena diam-diam, ia tahu Eva benar. Atau mungkin, karena tatapan tajam dari suaminya dan kedua putranya yang memancarkan rasa kecewa.
“Perempuan seharusnya saling mendukung,” lanjut Eva, suaranya mulai terdengar lebih kuat. “Bukan saling menjatuhkan, apalagi oleh sesama perempuan yang pernah merasakan menjadi menantu, menjadi istri, menjadi manusia yang juga pernah salah. Aku mungkin tidak melahirkan anak, tapi aku punya kasih. Aku punya cinta. Dan aku tdak pernah berhenti mencoba.”
"Saat mengetahui suamiku menikah diam-diam, rasanya duniaku hancur. Dan kesalahan terbesar ku adalah menganggap dia sebagai duniaku. Aku menyesal. Dan aku berhenti mencintai kamu, Mas." ucapan Eva di akhir kalimat di tujukan pada suaminya.
Ardian masih menatap Eva. Tapi kali ini, tatapannya berubah. Ada rasa bersalah yang mulai muncul, perlahan-lahan menghantui sorot matanya. Ia tahu Eva tidak bohong. Ia tahu perempuan yang berdiri di depannya ini sudah melalui banyak hal. Dan ia, sebagai suami, tidak pernah benar-benar berdiri di sampingnya. Ardian merasa tertampar dengan perkataan istrinya.
Eva menarik napas sekali lagi. Dalam. Panjang. Seakan mengisi ulang keberaniannya yang hampir habis. Lalu tanpa berkata apa pun lagi, dia meletakkan sendoknya dengan pelan di atas piring. “Maaf, aku sudah kenyang,” ujarnya singkat lalu berdiri.
Langkah-langkahnya pelan, tapi mantap. Ia berjalan meninggalkan meja makan dengan kepala tetap tegak, meski hatinya nyaris runtuh, meski tubuhnya ingin bersembunyi, menangis dalam diam. Tapi dia tidak akan memberi mereka kepuasan untuk melihat air matanya jatuh.
Langkah Eva menjauh, menyisakan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Lisna menunduk, pura-pura menyeka mulut anaknya, menyembunyikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba hadir. Apakah dia merasa bersalah? Tentu saja tidak, dia sangat senang melihat istri pertama suaminya itu terpojok.
Abian menatap pintu tempat Eva keluar dengan rahang mengeras, matanya menatap kosong ke depan, seperti tengah menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Sedangkan Ardian kini menunduk dalam, menghindari tatapan semua orang. Bahkan dirinya sendiri.
Renno hanya bisa menggeleng pelan. “Malam ini… kalian berhasil kehilangan satu-satunya orang yang paling tulus di rumah ini.” setelah mengatakan hal tersebut, Renno berdiri dan meninggalkan meja makan. Dia menyusul langkah Eva.
Tak ada yang menjawab. Bahkan suara angin dari celah jendela pun terdengar lebih jelas daripada bisikan rasa bersalah di hati mereka masing-masing.
Dan malam itu, kehangatan yang seharusnya hadir di meja makan keluarga, berubah menjadi kenangan pahit yang sulit dilupakan. Tidak hanya untuk Eva… tapi juga bagi mereka yang baru sadar, bahwa kehilangan tidak selalu datang saat seseorang pergi selamanya. Kadang, kehilangan hadir saat cinta sudah tidak ingin bertahan lagi.
"Mama puas merusak makan malam ini?" ucap Abian pelan namun penuh penekanan, matanya menatap tajam ke arah istrinya yang masih duduk dengan ekspresi keras kepala.
"Kok Papa malah nyalahin Mama sih?" sahut Rista dengan nada tinggi dan tidak senang, menyilangkan tangan di dada, seolah dirinya adalah pihak yang tersakiti.
"Bukan perihal menyalahkan, tapi kelakuan Mama itu tidak pernah berubah. Selalu saja berkata sesuka hati tanpa memikirkan perasaan orang lain." Nada suara Abian mulai meninggi, nadanya mengandung kelelahan yang bertahun-tahun ia simpan.
Rista membalikkan badannya dengan cepat, dagunya terangkat tinggi. “Tapi Mama bicara fakta. Eva memang perempuan mandul dan tidak layak menjadi menantu di keluarga kita. Apa gunanya jadi istri kalau tidak bisa punya anak?”
Ucapan itu seperti cambuk yang memukul dinding kesabaran Abian. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu berdiri dari kursinya dengan gerakan yang menggelegar.
“Sudah cukup!” suaranya membelah keheningan, membuat semua orang nyaris tersentak. “Papa akan cabut semua fasilitas Mama dan Ardian, jika kalian tidak minta maaf pada Eva. Jangan harap kalian bisa menikmati semua ini. Rumah, mobil, rekening, semuanya. Camkan itu!”
Perkataan itu seperti petir yang menyambar. Ardian menegakkan tubuhnya secara refleks, wajahnya pucat. Rista bahkan sempat kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar selama beberapa detik.
Lisna, yang sedari tadi menyimak dengan diam-diam sambil bermain-main dengan sendok di piringnya, pun akhirnya menegakkan punggung. Matanya melebar, tak menyangka Abian bisa sekeras itu—selama ini lelaki itu selalu tampak pasif terhadap pertikaian dalam keluarga.
"Papa... kamu enggak bisa gitu dong sama Mama!" teriak Rista, akhirnya berhasil menemukan suaranya. Ia segera bangkit dan mengejar langkah suaminya yang sudah berjalan cepat menuju tangga dan hendak naik ke kamar.
“Mama ini kepala keluarga atau perusak keluarga?” balas Abian tanpa menoleh, langkahnya mantap, dan pintu kamar utama terbanting pelan beberapa detik kemudian.
Sementara itu, Ardian masih diam di tempatnya. Ia tak bergerak, hanya menatap kosong pada piring di hadapannya yang kini mulai mendingin. Pikirannya berkecamuk. Kata-kata ayahnya tadi terus terngiang di telinga: jika kalian tidak minta maaf pada Eva…
Ardian menggenggam sisi meja erat-erat. Tangannya dingin. Hatinya makin berat. Ia tahu, semua ini tidak akan berhenti di sini.
Lisna pun bangkit, membopong anaknya yang sudah mengantuk. Tapi sebelum berlalu, ia menatap Ardian tajam. “Kamu pikir Eva akan bertahan selamanya?” gumamnya lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Ardian. “Kalau kamu kehilangan dia… jangan salahkan siapa-siapa.”
Dan seperti itu, meja makan yang tadinya penuh suara, kini hanya menyisakan keheningan dan rasa bersalah yang menggantung di udara, pekat dan mencekik.
Ardian akhirnya berdiri, melangkah perlahan menuju ke luar rumah. Tapi dalam diamnya, satu hal kini mulai tumbuh di hatinya: ketakutan bahwa Eva mungkin benar-benar akan pergi—dan saat itu datang, semuanya akan terlambat.
***