Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mas kalau mereka dekat jujur
Aku membayar belanjaan di kasir, lalu menggenggam kantong plastik berisi camilan dan es krim itu. Di luar, panas Palu menyambut, tapi hatiku justru terasa dingin—tenang dengan keyakinan yang makin mengeras.
Kami melangkah ke mobil. Bian duduk rapi di kursi depan, memeluk kantong belanjaannya seolah harta karun.
“Om,” katanya tiba-tiba, memecah sunyi, “nanti kalau Mama sedih lagi… Om jangan pergi ya.”
Aku menoleh, menatapnya sebentar sebelum menyalakan mesin.
“Om di sini, Nak,” jawabku mantap. “Om nggak ke mana-mana.”
Ia tersenyum kecil. Senyum yang menguatkan.
Mobil melaju meninggalkan parkiran. Dalam kaca spion, bayanganku sendiri tampak berbeda—lebih tegas. Aku sadar, ini bukan lagi soal sepupu, bukan sekadar nostalgia masa kecil. Ini tentang memastikan seorang perempuan baik dan dua anaknya aman, terlindungi, dan tidak lagi merasa sendirian.
Sesampainya di rumah, Anna membuka pintu. Tatapannya langsung tertuju pada Bian dan kantong di tangannya.
“Itu apa?” tanyanya.
“Es krim,” jawab Bian ceria. “Buat Mama sama Ayyan.”
Anna terdiam sejenak, lalu tersenyum—senyum yang tulus, hangat, meski mata itu menyimpan lelah. Ia mengusap kepala Bian.
“Makasih, Nak.”
Aku berdiri di ambang pintu, menyaksikan momen kecil itu. Di balik kesederhanaannya, aku melihat kekuatan yang tak tergoyahkan.
Dan aku tahu—
apa pun badai yang akan datang,
kami akan menghadapinya bersama.
Mas Rian muncul dari arah tangga, menggenggam tangan Ayyan. Langkahnya tenang, senyumnya terpasang rapi—terlalu rapi untuk suasana yang sebenarnya rapuh.
Begitu melihat kami, Ayyan langsung melepaskan genggaman ayahnya.
“Abang!” serunya riang.
Ia berlari kecil menghampiri Bian, memeluknya erat seolah baru berpisah lama. Bian tertawa, membalas pelukan itu tanpa ragu. Satu hal yang selalu membuat dadaku menghangat—dua bocah ini begitu saling menjaga, seakan dunia mereka hanya berisi satu sama lain.
“Pelan-pelan, Yan,” tegur Anna lembut, meski bibirnya ikut tersenyum.
Rian berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan anak-anaknya dengan tatapan yang sulit kubaca. Ada rindu di sana. Ada sesal. Dan ada kegelisahan yang berusaha ia sembunyikan.
“Terima kasih sudah antar jemput,” ucap Rian akhirnya, menatapku. Nada suaranya sopan, tapi kaku.
Aku mengangguk singkat. “Sama-sama.”
Sunyi menyusup di antara kami bertiga.
Aku bisa merasakannya—jarak yang tak kasatmata, tapi nyata. Anna berdiri di sisi anak-anak, refleks melindungi. Rian di seberang, mencoba mendekat tanpa benar-benar tahu caranya. Dan aku… berdiri di tengah, siap menjadi tembok jika perlu.
Ayyan menarik tangan Bian, menunjukkan kantong plastik. “Ini es krim buat Mama sama Adek. Om Alif yang beliin.”
Rian melirik kantong itu, lalu menatap Anna. “Kamu belum makan yang manis-manis sejak pagi,” katanya, mencoba terdengar ringan.
Anna mengangguk tipis. “Nanti,” jawabnya singkat.
Aku menangkap getar kecil di suaranya—bukan takut, tapi lelah.
Bian menoleh padaku, lalu ke ayahnya. “Pa, aku bantu Mama ya,” katanya, dewasa untuk usianya.
Rian tertegun sepersekian detik, lalu mengangguk. “Iya… bantu Mama.”
Anak-anak berlari ke arah dapur. Tawa kecil mereka menjauh, meninggalkan kami bertiga di ruang tamu yang kembali sunyi.
Aku melangkah setengah langkah ke depan, menatap Rian lurus. Tidak mengancam. Tidak ramah. Hanya jelas.
“Mas,” kataku tenang, “anak-anak itu saling jaga karena mereka belajar dari ibunya. Jangan rusak itu.”
Rian menelan ludah. Tatapannya turun sesaat. “Aku… lagi berusaha,” katanya lirih.
Aku tidak membalas. Kadang, diam adalah jawaban paling jujur.
Anna memecah hening. “Aku mau ke dapur,” ucapnya. Ia menatapku sekilas—pandangan yang penuh makna. Aku mengangguk kecil.
Saat ia berlalu, aku menoleh kembali ke Rian. “Kalau mau dekat dengan mereka,” kataku pelan, “mulai dari jujur. Ke mereka. Ke Anna. Ke diri sendiri.”
Rian terdiam. Untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, bahunya turun.
Dari dapur terdengar tawa Bian dan Ayyan. Suara itu menenangkan—pengingat bahwa di tengah kekacauan orang dewasa, anak-anak masih punya alasan untuk tertawa.
Aku berdiri di sana, menjaga jarak yang perlu, siap melangkah jika badai kembali datang.
Karena satu hal sudah kupastikan: selama aku di sini, mereka tidak akan sendirian.
semangat thor