Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Kejadian Kecil
Sejumlah pekerja kebun sedang sibuk mengurusi kebun, mereka memeriksa satu persatu buah yang akan siap panen.
Denzzel Lambert berjalan bersama mandor Tobin menuju lahan buah sedangkan Amrita terlihat asyik sendiri di belakang mereka sedang memperhatikan area kebun lainnya.
"Kita sudah sampai di lahan kebuh buah yang siap panen, bos", ucap mandor Tobin sembari menunjuk ke arah deretan pohon buah yang siap panen.
"Luas juga lahannya, berapa jenis tanaman buah yang ada di tanah perkebunan Luhan ini", sahut Denzzel.
"Sekitar lima ratus jenis varian buah yang ada disini, kami menanam bibit unggul yang langsung di datangkan dari luar negeri", kata mandor Tobin.
"Luar biasa, ternyata banyak juga jenis buah yang ditanam disini", sambung Denzzel.
"Kurang lebih begitu, kami menyediakan lahan berbeda-beda untuk setiap jenis buah yang ditanam disini karena luasnya lahan kebun di Luhan maka kami membagi tiap lahan sesuai varian jenis buahnya", kata mandor Tobin.
"Ada berapa pekerja disini ?" tanya Denzzel.
"Hmm, pastinya saya tidak terlalu mengingatnya, tapi kira-kira ada ratusan pekerja kebun di Luhan ini", sahut mandor Tobin.
"Banyak juga pekerjanya, kukira lahan perkebunan Luhan merupakan perkebunan kecil", kata Denzzel.
"Tanah perkebunan Luhan sangat luas bahkan hasil buah yang ditanam disini sangat populer hingga ke luar kota karena kualitas buah yang kami punyai termasuk kelas premium", ucap mandor Tobin.
"Apa buah disini juga dikirim ke luar negeri ?" tanya Denzzel.
"Belum terpikirkan sampai ekspor karena permintaan buah di dalam negeri sudah melebihi kapasitasnya bahkan kami sempat kewalahan untuk pemesanannya lagipula biaya akomodasi untuk pengiriman terutama biaya cargonya sangat mahal", sahut mandor Tobin.
"Sayang sekali, tidak dapat mejangkau pasar luar negeri padahal hasil buah disini termasuk berkualitas tinggi", kata Denzzel.
"Ya, memang disayangkan sekali", ucap mandor Tobin seraya melepas topi koboinya.
"Apa kau punya salinan laporan tentang perkebunan Luhan ini karena aku ingin melihatnya ?" tanya Denzzel.
"Ada, kami selalu mencatat hasil pemasukan maupun pengeluaran untuk setiap kegiatan pengelolaan tanah perkebunan Luhan pada buku laporan", sahut mandor Tobin.
Mandor Tobin melirik cepat ke arah Amrita yang sedang mengawasi lahan buah.
"Nona Amrita yang lebih tahu mengenai catatan laporan perkebunan Luhan, anda bisa menanyakannya langsung padanya", kata Tobin.
Denzzel terdiam sejenak lalu menoleh ke arah Amrita kemudian menatap lama.
Melihat dirinya diperhatikan oleh Denzzel Lambert, Amrita lansung tanggap, dia buru-buru meresponnya.
"Aku akan mengambilkan buku laporan itu di ruangan kerjaku, tunggu sebentar, aku segera kembali", kata Amrita.
"Nanti saja, aku masih ingin melihat-lihat tempat ini", sahut Denzzel.
"Mmm..., begitu, ya, baiklah...", ucap Amrita seraya mengangguk pelan.
"Apa bos ingin melihat dari dekat para pekerja kebun, saya bisa mengantarkan bos kesana ?" tanya mandor Tobin.
"Boleh, aku juga ingin tahu kualitas buah disini", sahut Denzzel.
"Mari saya antarkan anda kesana, bos !" ajak mandor Tobin.
"Ya, kita kesana", sahut Denzzel.
Mandor Tobin melanjutkan langkahnya menuju lahan buah sembari memakai kembali topi koboinya sedangkan Denzzel berjalan di belakangnya bersama Amrita.
Melihat Amrita ikut bersama mereka, Denzzel segera memperhatikannya dan berkata padanya.
"Amrita, kau boleh tidak ikut dengan kami bahkan kamu bisa beristirahat jika kau menginginkannya", ucap Denzzel.
"Tidak, aku akan ikut serta bersamamu", sahut Amrita.
"Baiklah, kalau kau memang ingin seperti itu", ucap Denzzel lalu melanjutkan langkahnya.
Ketika Amrita hendak melangkahkan kakinya ke depan, salah satu kakinya tergelincir karena tanah licin.
Sreeeet... !
Amrita menjerit pelan sedangkan kakinya terpeleset.
"Aaaaakhhh... !!!" jeritnya.
Mendengar jeritan Amrita sontak Denzzel langsung bereaksi cepat, dia segera menahan laju tubuh Amrita agar tidak terjatuh.
Denzzel menangkap tubuh Amrita hingga mereka saling berpelukan erat.
"Hati-hati...", ucapnya dengan penuh perhatian.
Amrita berpegangan erat pada Denzzel sehingga dia tidak sampai terjatuh.
"Terimakasih...", sahutnya.
Lama keduanya saling berpandangan satu dengan lainnya sembari saling berpelukan erat.
Amrita segera tersadar cepat lalu memcoba berdiri tegak meski dia masih berpegangan pada lengan Denzzel, suaminya.
"Maaf..., selalu merepotkanmu...", ucapnya dengan wajah bersemu merah.
"Ya, tidak masalah...", sahut Denzzel.
"Hati-hati !" pesan Denzzel.
Namun Amrita merasakan pergelangan kakinya sakit sepertinya kakinya tidak sengaja terkilir sehingga terasa sulit digerakkan bahkan sangat nyeri.
"Aduh ! Aduh ! Aduh !" pekik Amrita.
"Kau baik-baik saja, Amrita", kata Denzzel.
"Entahlah, rasanya kakiku sulit digerakkan bahkan sangat sakit sekali", sahut Amrita.
"Mungkin kakimu terkilir karena terpeleset tadi", kata Denzzel.
"Mungkin saja, rasanya sakit sekali jika dibuat menapak", sahut Amrita.
"Aku akan membantumu berjalan ke tempat lainnya, disini keadaannya tidak memungkinkan", kata Denzzel.
Denzzel mengedarkan pandangannya ke arah sekitar kebun, untuk mencari tempat berteduh sejenak.
"Kita kesana saja !" ucapnya saat Denzzel melihat sebuah bangku kayu di dekat pohon.
"Baiklah, kita kesana", sahut Amrita.
"Mari aku bimbing kesana, Amrita !" ajak Denzzel.
"Ya...", sahut Amrita.
Denzzel memapah Amrita untuk berjalan ke bangku kayu di bawah pohon rindang.
Pada saat Amrita hendak melangkahkan kakinya, rasa sakit menjalar kuat hingga pangkal paha dan membuat dia tidak mampu menapakkan kakinya dengan benar.
Amrita menjerit pelan sembari mencengkram kuat pada pundak Denzzel lantaran rasa sakit yang dia rasakan di kakinya.
"Auwwwh... !!!" jeritnya.
"Kenapa, Amrita ?" tanya Denzzel cemas.
"Auwwwh... !!!" pekik Amrita lagi ketika dia berusaha memaksa kakinya untuk berjalan.
"Apa sangat sakit ?" tanya Denzzel.
"Ak-aku kesulitan menapakkan kakiku, sangat sakit sekali", sahut Amrita dengan punggung membungkuk.
"Jangan dipaksakan !" kata Denzzel.
Mendengar suara jeritan dari Amrita, perhatian mandor Tobin langsung teralihkan kepada pasangan pengantin baru itu.
Mandor Tobin segera berlari ke arah mereka berdua.
"Ada apa, Amrita ?" tanyanya dengan lari tergesa-gesa saat dia menghampiri Amrita dan Denzzel.
"Kakiku terkilir, Tobin", sahut Amrita sembari meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang terkilir akibat terpeleset tadi.
"Terkilir ?!" kata mandor Tobin panik.
"Ya, sakit rasanya jika digerakkan", sahut Amrita dengan kepala menunduk ke bawah.
"Aku akan membantumu", ucap mandor Tobin.
"Ya...", sahut Amrita.
Denzzel segera bereaksi cepat ketika mandor Tobin hendak mendekati istrinya, dia mencegah cepat saat mandor perkebunan Luhan akan menyentuh Amrita.
"Biar aku saja yang menggendong Amrita", cegah Denzzel.
"Oh... ?!" ucap mandor Tobin tertegun diam.
"Ayo, Amrita, aku gendong !" kata Denzzel.
"Eh, iya...", sahut Amrita seraya bergelayut erat pada leher Denzzel.
Denzzel menggendong tubuh Amrita lalu membawanya menuju ke bangku kayu dibawah pohon sedangkan reaksi mandor Tobin terlihat dingin terhadap sikap Denzzel yang melarangnya untuk mendekati Amrita.
Mandor Tobin memandang ke arah pasangan pengantin baru itu dengan sorot mata dalam, dia melihat dari jauh ketika Denzzel membawa Amrita ke bangku kayu.
Tatapannya sendu mengisyaratkan rasa lain dalam hatinya terhadap Amrita namun dia tidak memiliki keyakinan untuk menyampaikan rasa lain dalam hatinya lantaran dia kalah cepat dengan pengusaha estate itu yang berhasil menikahi Amrita dan telah memilikinya.
Tampak dari jauh, di bangku kayu, Denzzel membantu Amrita duduk di bangku itu seraya memijat kaki istrinya yang terkilir.
Pemandangan yang menusuk tajam ke dalam relung hati mandor Tobin ketika dia menyaksikan kedekatan antara Denzzel dan Amrita saat mereka bersama-sama.
Denzzel terlihat begitu penuh perhatiannya terhadap Amrita, saat dia membantu mengurut kaki istrinya dengan penuh kasih sayang sedangkan mandor Tobin hanya bisa melihat semuanya dengan wajah murung dari arah kejauhan, tempat dia berdiri saat ini.