NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 Seseorang Yang Tidak Hadir Di Pesta

Setelah Herald mengantar Clara ke kamarnya, ia kembali menuruni tangga menuju lantai bawah. Awalnya, ia berniat untuk langsung kembali ke kamarnya dan membersihkan diri, tetapi ketika melihat langit yang masih terang dan waktu belum terlalu larut, ia mengubah niatnya. Rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk singgah sejenak di Aula, ingin melihat bagaimana situasi di sana setelah pesta tadi.

Saat ia sampai di Aula, suasananya sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Ruangan megah itu kini tampak lengang, hanya menyisakan beberapa pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa pesta—menggulung taplak meja, merapikan kursi, dan membawa keluar baki-baki perak kosong. Di tengah kesunyian itu, pandangannya tertumbuk pada dua sosok yang tampaknya tidak asing.

"Ah, itu Tuan Astalfo... dan Hermas juga," gumam Herald dalam hati. "Kupikir beliau sudah kembali ke kamarnya."

Dengan langkah ringan, Herald menuruni tangga menuju mereka. Begitu ia cukup dekat, Astalfo yang menyadari kehadirannya segera menoleh dan menyambut dengan anggukan kepala. Herald membalasnya dengan sopan, dan mereka pun berdiri berdampingan, menatap Aula yang mulai kosong.

“Tuan Astalfo,” sapa Herald membuka percakapan, “Kupikir Anda sudah kembali ke ruangan, tapi ternyata masih di sini.”

Astalfo mengangguk pelan, matanya mengamati Aula seperti tengah mencari sesuatu.

“Ya... aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” jawabnya pelan. Lalu ia terdiam sesaat, sebelum menambahkan dengan nada yang lebih rendah, “Dan juga... aku sedang menunggu seseorang.”

Herald mengerutkan alis, lalu memiringkan kepalanya sedikit.

“Menunggu seseorang?” tanyanya dengan nada penasaran.

Astalfo menoleh ke arahnya, lalu mengangkat alis tipis-tipis. “Kau tahu kalau Clara bukan satu-satunya anakku, bukan?”

Ucapan itu langsung membangkitkan ingatan Herald. Beberapa waktu lalu, seorang pengawal pernah menyebutkan tentang kakak Clara—seorang wanita bernama Olivia. Walau belum pernah bertemu, Herald cukup sering mendengar namanya. Sosok anggun, katanya. Karismatik dan cerdas, seorang putri keluarga Enthart yang bahkan ditakuti sekaligus dikagumi oleh para bangsawan muda.

“Hmm... maksud Anda Nona Olivia?” tebak Herald.

Astalfo tampak sedikit terkejut. “Dari mana kau tahu namanya? Clara tidak pernah menyebutnya padamu, bukan?”

Herald tersenyum ringan. “Bukan dari Clara, tidak. Aku mendengarnya dari para pengawal, kira-kira sebulan lalu. Kalau tidak salah, dia kakaknya Clara, ya?”

Astalfo menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Ya... kau benar. Namanya Olivia. Anak pertamaku, dan kakak Clara. Usia mereka hanya terpaut lima tahun. Seharusnya dia hadir malam ini... tapi sampai sekarang pun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Hmph...” Ia menyandarkan tubuh ke sandaran tiang terdekat, tatapannya menunduk. “Aku mulai berpikir... mungkin dia memang tidak ingin datang lagi ke tempat ini.”

Herald diam sejenak. Ucapan itu terasa lebih berat dari yang ia perkirakan. Dari nada suara Astalfo, tersirat kekecewaan—dan mungkin, sedikit rasa bersalah. Jika benar Olivia berusia 21 tahun, kenapa ia tidak tinggal bersama keluarganya? Bukankah seharusnya ia menjadi sosok panutan bagi Clara? Tapi justru ia seperti menjauh, bahkan membuat ayahnya sendiri menunggu tanpa kepastian.

“Kalau boleh bertanya, Tuan Astalfo... kenapa Olivia tidak tinggal di sini bersama keluarga?” tanya Herald hati-hati.

Astalfo tidak langsung menjawab. Ia menunduk, diam dalam pikirannya. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak sedikit muram.

“...Ada hal-hal yang tak semestinya terjadi,” ucapnya akhirnya, pelan, seperti menahan sesuatu. “Dan sebagian dari itu... mungkin salahku.”

Herald menatapnya, ingin bertanya lebih lanjut. Tapi melihat tatapan mata Astalfo yang dalam, seperti sedang berbicara dengan kenangannya sendiri, ia mengurungkan niat. Mungkin bukan tempatnya untuk menggali luka yang belum sembuh.

Astalfo menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Herald kembali, kali ini dengan sorot mata yang sedikit lebih suram.

“Sebenarnya,” ucapnya lirih, “yang terjadi adalah masalah lama... antara Olivia dan Clara. Mungkin tepatnya—perselisihan yang membuat Olivia memilih meninggalkan rumah ini dan tinggal di vila kami yang terletak di ujung utara Elestial.”

Herald mendengarkan dengan tenang, namun pikirannya segera dipenuhi dengan pertanyaan. Masalah antara adik dan kakak memang hal yang lazim—percekcokan kecil, iri hati, atau sekadar perbedaan sifat. Tapi dari caranya Astalfo mengatakannya, ini jelas bukan sekadar pertengkaran biasa.

[Jika Olivia sampai memutuskan pergi dan tak pernah kembali, pasti ada sesuatu yang benar-benar dalam dan menyakitkan. Ini bukan sekadar perselisihan sepele.]

Herald menatap ke depan, berpura-pura memperhatikan pelayan yang sedang memadamkan beberapa lentera gantung, padahal pikirannya sedang menimbang-nimbang situasi.

[Masalah ini... tidak ada sangkut pautnya denganku. Aku bukan bagian dari keluarga mereka.]

Ia menggenggam kedua tangannya di belakang punggung, mencoba menahan rasa ingin tahunya yang perlahan tumbuh. Ia sadar, campur tangan dalam urusan keluarga orang lain, apalagi bangsawan, bukan hal yang bijak.

[Lebih baik aku tidak ikut campur. Kalau pun aku terlibat, itu hanya akan menambah beban. Kalau tidak benar-benar perlu, aku takkan menyentuh masalah ini.]

“Jadi,” ucap Herald akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan kembali ke topik awal, “apakah hari ini Olivia tidak akan datang? Hari sudah mulai terlalu larut.”

Astalfo menatap ke arah jendela tinggi di ujung Aula. Cahaya jingga senja telah meredup, menyisakan bayang-bayang panjang di lantai marmer.

“Kurasa begitu,” jawabnya pelan, lalu memalingkan wajah dengan pandangan yang sulit dibaca—campuran kecewa dan lelah. Ia berbalik tanpa banyak kata, hanya menyisakan suara langkah sepatunya yang berderap perlahan menjauh. “Kalau begitu, aku kembali ke kamar. Herald, istirahatlah... kita masih punya hari esok. Selamat malam.”

Herald membungkukkan sedikit badan dengan sopan. “Selamat malam juga, Tuan Astalfo.”

Ia berdiri diam sejenak setelah Astalfo menghilang di balik lorong. Rasa sepi kembali menyelimuti Aula yang kini hampir kosong sepenuhnya.

Herald menarik napas perlahan. Ia bisa merasakan betapa dalamnya beban yang dipikul pria itu. Padahal sebelumnya, suasana begitu ringan—Clara yang tertawa riang, senyum lembut di wajah Astalfo saat memandang putrinya. Tapi kini... hanya diam dan bayangan masalah lama yang belum terselesaikan.

[Ya... itu masalah mereka. Bukan urusanku.]

Ia membalikkan badan dan mulai berjalan perlahan, mengikuti jejak Astalfo yang sudah lebih dulu pergi. Dalam hatinya, satu hal ia yakini—apa pun yang terjadi antara Clara dan Olivia, ia hanya perlu fokus pada apa yang ada di depannya sekarang. Dan itu adalah Clara.

***

Sementara itu, jauh di utara Elestial—di sebuah vila yang berdiri sunyi di tepi danau...

Bangunan megah itu berdiri tenang, dikelilingi kabut malam yang masih menggantung rendah di atas permukaan air. Vila itu tampak seperti tempat peristirahatan yang damai, namun di dalam salah satu ruangannya, suasana terasa jauh dari tenang.

Di sebuah kamar luas dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau, seorang wanita duduk di depan meja rias. Cermin di hadapannya memantulkan sosok anggun dengan mata keemasan yang tajam dan rambut pirang panjang yang menjuntai ke punggung. Gaun mini berwarna biru tua membalut tubuhnya dengan elegan.

Ia tengah memegang selembar surat, dan dari raut wajahnya yang datar, tampak jelas bahwa isinya tak menggugah hatinya sedikit pun.

“Perayaan untuk dia?” gumamnya dengan nada datar. “Jadi... dia sudah tak mengurung diri lagi. Huh, kupikir itu akan berlangsung lebih lama. Tapi ya, bukan hal yang mengejutkan.”

Tangannya yang lentik melempar surat itu ke atas meja tanpa perasaan. Kertas itu melayang ringan sebelum mendarat, terabaikan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang.

***

Keesokan harinya — di kediaman keluarga Enthart, kamar Clara.

Cahaya pagi baru saja menembus tirai ketika Clara terbangun dengan napas tersengal. Matanya terbuka lebar, dan wajahnya dipenuhi keringat dingin. Ia terduduk di atas ranjang, tubuhnya gemetar, dan sorot matanya penuh kecemasan.

Dalam pikirannya masih terngiang kata-kata yang menusuk seperti duri:

“Clara, sepertinya tugasku sudah selesai. Kau sudah punya pengawal yang lebih baik dariku. Kurasa ini... perpisahan kita. Jadi, selamat tinggal.”

“Herald...?” bisiknya.

Detik berikutnya, Clara melompat dari tempat tidur, panik, berjalan dengan langkah tergesa tanpa arah, tubuhnya berputar-putar di sekitar tempat tidur sambil berteriak:

“Herald!”

“Herald!”

“Herald!!”

Suaranya menggema sampai ke luar kamar, menembus lorong-lorong megah kediaman Enthart. Di sisi lain, Herald yang sedang berjaga di depan pintu mendadak menegakkan badan.

“Apa itu tadi?” gumamnya sambil melirik ke arah pintu. Ketika suara Clara semakin keras dan panik, ia mulai khawatir. “Clara?! Kenapa pagi-pagi begini dia teriak-teriak?”

[Jangan-jangan... ada penyusup?!] pikirnya cemas. [Sial, kalau sampai seseorang menyelinap ke kamarnya—aku harus segera bertindak!]

Tanpa ragu, Herald menarik pedangnya dan dengan satu tendangan keras, pintu kamar Clara terbuka lebar.

“Clara! Bertahanlah, aku akan menyelamatkanmu!!” teriaknya gagah.

Namun begitu masuk, ia malah disambut pemandangan aneh: Clara berlarian dengan panik, tapi sendirian. Tidak ada tanda-tanda bahaya, tak ada penyusup, hanya Clara... dan kepanikan yang tak bisa ia kendalikan.

“Eh... tunggu... apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Herald mengerutkan kening. “Tidak ada siapa-siapa... jadi, kenapa dia...?”

Belum sempat ia menyusun pertanyaan lain, Clara berlari ke arahnya—dan langsung melompat, merangkul tubuh Herald dengan begitu erat hingga mereka terjatuh ke lantai.

“Herald! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!!” teriaknya penuh emosi, menggenggam Herald seolah hidupnya bergantung padanya.

“W-whoa! Clara?! Argh—kau memelukku terlalu kuat! Itu... sakit, tahu!!” rintih Herald dengan wajah merah padam, berusaha melepaskan diri tapi sia-sia.

Namun saat mendengar kata-kata Clara, tubuhnya mendadak terdiam.

[Dia... masih kepikiran soal kemarin, ya? Saat aku bilang akan pulang.]

Herald memejamkan mata sejenak dan menghela napas panjang.

[Hah, dasar putri yang merepotkan... tapi ya, kurasa aku memang salah waktu bicara.]

“Clara... aku tidak ke mana-mana,” katanya akhirnya, pelan, “Aku masih di sini. Tenanglah, ya?”

Herald kini memahami alasan di balik teriakan histeris Clara pagi ini. Melihat tubuh gadis itu masih gemetar dalam pelukannya, ia pun perlahan menyentuh kepalanya dengan lembut, mengusap rambut pirangnya dengan gerakan pelan dan penuh ketenangan.

“Clara... tenang, ya. Aku di sini,” ucapnya dengan nada yang lembut. “Ingat janji kita semalam?”

Clara terdiam sejenak, matanya masih basah, lalu perlahan mengangkat kepalanya.

“Kita sudah janji dengan kelingking,” lanjut Herald sambil mengangkat jari kelingkingnya di hadapan Clara. “Aku tak akan pergi. Bukankah kita sudah sepakat?”

Clara menatap jari itu. Untuk sesaat, wajahnya seperti kembali ke semalam, saat mereka saling menggenggam kelingking dalam keheningan malam. Sebuah senyum kecil pun mulai terbit di wajahnya, walau masih tampak lelah.

“Benar juga... itu hanya mimpi buruk,” gumamnya pelan. “Kupikir... semuanya nyata.”

Dengan napas lega, ia bersandar pelan ke dada Herald, mendengarkan detak jantungnya yang tenang. Herald tidak menolak, membiarkannya diam dalam kehangatan itu sesaat. Setelah beberapa menit, keduanya perlahan bangkit, duduk bersisian di tepi ranjang, saling bertatap dalam diam.

Herald membuka suara lebih dulu, dengan senyum miring dan nada menggoda, “Heh, kamu ini. Selalu saja membuat kekacauan. Kukira tadi ada penyusup. Aku sampai menendang pintu, tahu.”

Clara menunduk malu, pipinya memerah. “Maaf... Aku tadi benar-benar panik. Mimpinya begitu nyata... kamu pergi begitu saja, dan aku sendirian. Rasanya... seperti kehilangan satu-satunya teman yang kumiliki.”

Herald menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Tapi kamu lihat sendiri, aku masih di sini, bukan?” katanya, lalu menepuk pelan dadanya. “Aku tak akan ke mana-mana. Setidaknya... bukan tanpa berpamitan.”

Ucapan itu membuat Clara menatapnya lekat-lekat, seolah mencoba memastikan kebenarannya lewat sorot mata Herald. Setelah beberapa detik, senyum hangat mengembang di wajahnya.

Herald pun menyandarkan punggung ke dinding, kepalanya menoleh sedikit untuk menghindari tatapan terlalu lama. Tapi ketika pandangannya tak sengaja teralihkan ke arah pakaian tidur Clara—dan menyadari bahwa bagian atas bajunya sedikit terbuka hingga memperlihatkan lekuk tubuh yang tidak seharusnya terlihat...

“Uhuk! Uhuk!”

Ia langsung terbatuk-batuk, wajahnya memerah seketika. Dengan gerakan cepat, ia memalingkan kepala ke arah lain, tangan terangkat menutupi mata.

“C-Clara! Pakaianmu—uh, maksudku—pergi mandi, sekarang juga! Kita harus... kita akan jalan-jalan pagi ini!”

Dengan gerakan kikuk, Herald segera berdiri dan melangkah ke pintu, nyaris tersandung karpet saat tergesa-gesa keluar dari kamar.

Clara hanya bisa duduk termangu, mengedip beberapa kali dengan ekspresi bingung.

[Huh? Kenapa dia jadi begitu... aneh?]

Clara masih tidak menyadari apa yang sedang terjadi saat ini.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!