"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Cemburu
“Aku udah siap,” suara Cassie terdengar dari arah pintu kamar, membuat Bram yang sedang menunggu di ruang tamu langsung berdiri.
Bram menoleh. “Mau aku bantu bawain sesuatu?”
Cassie menggeleng kecil. Rambutnya diikat sederhana. Riasannya tipis. Tapi bagi Bram, itu cukup untuk membuatnya terdiam sejenak. Ia menahan diri untuk tak terlihat terlalu memandangi.
Cassie masih menjaga jarak padanya. Walaupun Bram mendekat selalu ada jarak di antara mereka. Namun, Bram yakin kalau usaha tidak mengkhianati hasil.
“Enggak usah, Bram,” ucap Cassie sambil mengambil tasnya. “Cuma kontrol biasa, kan.”
Bram mengangguk. “Iya. Tapi biar aku yang nyetir.”
Cassie sempat menatap sejenak, ragu. Namun ia mengangguk. “Baiklah.”
Di dalam mobil, suasana sempat hening. Bram tak banyak bicara. Ia hanya sesekali melirik Cassie di kursi penumpang. Wanita itu tampak tenang, sesekali menatap keluar jendela.
“Cassie,” Bram memecah keheningan. “Aku senang kamu izinkan aku ikut hari ini.”
Cassie tersenyum tipis. “Kamu masih suamiku, kan?”
Bram menggenggam setir erat-erat, ada harap yang tumbuh. “Makasih sudah masih mau menganggap begitu.”
Cassie tidak menjawab. Tapi ada sekilas lirikan ke arahnya. Cassie tidak mau memberikan terlalu banyak kesempatan pada Bram. Dia takut untuk berharap pada sesuatu yang belum pasti.
Sesampainya di rumah sakit, mereka berjalan berdampingan. Bram sempat ingin menggenggam tangan Cassie, tapi ia urungkan. Wanita itu masih tampak menjaga jarak.
Saat di ruang tunggu, perawat memanggil nama Cassie, lalu mempersilakannya masuk ke ruang dokter. Cassie menatap ragu pada Bram.
Cassie berdiri. “Kamu tunggu di sini?”
Bram sudah bersiap berdiri. “Kalau boleh, aku temani sampai selesai”
Cassie mengangguk pelan.
Mereka masuk bersama. Di dalam, seorang pria muda dengan jas dokter berdiri dari belakang meja. Wajahnya cerah, senyumnya lebar. Tapi mata itu segera berubah begitu melihat Bram ikut masuk.
“Cassie?” sapa dokter itu ramah. “Wah… sudah lama, ya. Kamu makin kelihatan sehat.”
Pria muda itu tersenyum ceria pada Cassie. Bram menatapnya dengan tajam. Tidak menyukai seseorang tersenyum hangat pada istrinya. Dia merasa perhatian Cassie tidak lagi berpusat padanya.
Cassie terlihat sedikit kikuk. “Halo, Dokter Revan…”
Bram memperhatikan. Ada sesuatu dari cara pria itu memandang Cassie—terlalu akrab, terlalu… nyaman.
Revan Dirgantara berjalan mendekat, tanpa memandang Bram. “Senang lihat kamu semakin membaiki. Tapi aku enggak nyangka kamu datang bersama...” ujar Revan menggantungkan ucapannya.
Cassie tampak ragu menjawab, lalu memperkenalkan, “Ini… Bram.”
Revan mengangguk kecil. Senyum sopan, tapi tatapannya tajam. “Senang bertemu… akhirnya.”
Bram mengulurkan tangan, dan mereka bersalaman. Dingin. Tanpa ketulusan. Pria itu yakin kalau Revan mengetahui tentang dirinya. Mungkin dari Jessie.
“Silakan duduk. Aku akan periksa sebentar,” kata Revan, lalu fokus ke Cassie. “Masih sering sakit kepala?”
Cassie mengangguk. “Kadang-kadang. Tapi sekarang agak mendingan.”
Revan mengangguk sambil mencatat. “Kita perlu terus pantau perkembangan kamu. Luka trauma seperti kamu alami itu tidak hanya soal fisik.”
Seketika ruangan terasa penuh ketegangan. Bram menatap Revan, tak suka dengan nada bicara yang seolah menyudutkan. Namun, dia menyadari bila hal yang terjadi karena andil dirinya,
“Lakukan yang terbaik untuk istriku, pastikan Cassie menjalani perawatan terbaik,” ucap Bram tenang, tapi tegas. Pria itu menekankan pada kata istri yang tersemat dalam ucapannya.
Revan hanya tersenyum miring. “Tentu. Tapi bukan cuma soal perawatan medis. Lingkungan dan orang-orang di sekitarnya juga menentukan pemulihan emosionalnya.”
Cassie tampak gugup. Jujur, suasana di ruang dokter itu membuatnya tidak nyaman.“Dokter, mungkin kita lanjutkan terapinya saja?”
Revan mengangguk. “Baik.”
Setelah selesai, Cassie keluar lebih dulu. Bram tampak ingin mengatakan sesuatu pada Revan.
Sebelum keluar, Revan berkata pelan pada Bram, “Aku tahu siapa kamu, Pak Bram. Dan aku juga tahu apa yang sudah kamu lakukan pada Cassie. Jadi, tidak perlu kamu menekankan padaku tentang statusmu."
Bram menatap tajam. “Aku di sini karena aku suaminya.”
“Benar,” balas Revan. “Tapi bukan berarti kamu yang terbaik untuknya.”
Bram mengepalkan tangan. Tapi ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Revan dalam-dalam sebelum melangkah keluar.
Di luar ruangan, Cassie berdiri menunggu sambil memeluk tasnya. Saat melihat Bram, ia mencoba tersenyum.
“Kamu ngobrol lama sama dokter Revan?”
“Sedikit,” sahut Bram sambil membuka pintu mobil. “Aku baru tahu, dia teman lama kamu?”
Cassie mengangguk. “Teman SMA. Dia baik. Mungkin terlalu perhatian.”
Bram hanya mengangguk. Tapi di dalam hatinya, cemburu mulai menumpuk.
Malamnya, Bram kembali ke unit apartemennya yang bersebelahan dengan milik Cassie dan Jessie. Ia duduk di kursi, menatap kosong.
Cassie… Revan… Semua itu berputar di kepalanya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Jessie.
Aku belum bisa menemani Cassie. Kamu bisa jaga Cassie? Dia masih sering lupa minum obat dan… suka nyendiri.
Bram menatap layar lama, lalu mengetik:
Aku akan jaga dia. Terima kasih sudah percaya.
Bram berdiri di balkon apartemen, menatap ke unit di sebelah. Lampunya masih menyala. Ada bayangan Cassie di balik tirai. Bram menghela napas.
“Aku akan jaga kamu… bahkan kalau kamu belum sepenuhnya mengingatku.”
Bram bertekad mengganti semua kenangan buruk dengan hal yang indah sebelum Cassie benar-benar mengingat hubungan mereka. Namun, Cassie tampak sangat sulit didekati hingga Bram harus berusaha lebih keras. Belum lagi, dia khawatir dengan dokter Revan.
Ketika sedang melamun, dia mendengar suara bel berbunyi. Segera dia beranjak dari balkon dan membuka pintu apartemen. Tanpa menduga, seseorang yang sangat tidak dia inginkan kembali mengusiknya.
"Apa lagi maumu?"
***
Bersambung....
Terima Kasih telah membaca...
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍