Takdir mempertemukan Deanda Federer yang hanya seorang gadis miskin dengan seorang Putra Mahkota Alvero Adalvino dari Kerajaan Gracetian. Negara dengan sistem pemerintahan monarki absolut, di mana ucapan Raja adalah hukum mutlak.
Alvero dikenal tampan, cerdas, sekaligus sosok pengusaha hebat, namun juga dikenal keras, arogan, dingin, sekaligus dikenal playboy karena tidak pernah bersama dengan gadis yang sama lebih dari satu bulan. Namun beberapa rumor juga menyebutkan bahwa Alvero seorang gay. Untuk meredam rumor dan mempertahankan posisinya sebagai calon Raja sekaligus untuk dapat membalas dendam, Alvero sengaja menjebak Deanda untuk menikah dengannya.
Bagaimanakah perjalanan cinta mereka? Kenapa harus Deanda yang dipilih oleh Alvero? Dan apakah Deanda bisa menerima Alvero dan jatuh cinta padanya dengan perbedaan status yang begitu jauh? Ikuti perjalanan cinta mereka yang penuh perjuangan sekaligus romantis.
Cerita ini hanya fiksi semata, maaf jika ada kesamaan tokoh, nama, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JE270608, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RAHASIA PUTRA MAHKOTA
Kehadiran Alvero di pesta malam ini cukup membuat Deanda terkejut, tapi mengingat posisi tinggi Evan di negara ini, Deanda merasa memang sudah seharusnya yang hadir di sini adalah orang-orang penting termasuk Alvero Adalvino. Ketika mata Deanda melirik ke arah Alvero dilihatnya laki-laki itu sudah tidak lagi ada di tempatnya semula, membuat mata Deanda tanpa sadar mulai memutari ruangan untuk mencari sosok laki-laki yang dikaguminya itu.
Aku benar-benar gila jika mengharapkan Putra Mahkota Alvero melihat ke arahku, apalagi berharap memiliki kesempatan untuk mengobrol dengannya, ingin sekedar mendengar suaranya.
Deanda berkata dalam hati sambil memandang ke arah Danella yang setelah menyapanya sebentar tadi sudah kembali bergabung dengan para wanita seumurannya yang menjadi undangan pestanya malam ini.
Untuk beberapa saat Deanda harus beberapa kali menahan nafasnya melihat bagaimana banyaknya tatapan mata para gadis yang terlihat iri, bahkan tidak suka dengan sikap Evan yang terlihat begitu menghormatinya sejak awal kemunculannya, Evan selalu mendampinginya. Sehingga apa yang dilakukan Evan membuat Deanda merasa tidak nyaman.
"Duke Evan, tidak seharusnya Anda terus menerus menemani saya," Evan tersenyum mendengar perkataan Deanda.
"Tidak ada seorangpun yang kamu kenal di sini, mana tega aku meninggalkanmu sendirian di sini," Evan berkata sambil memandang ke arah Deanda yang sedikit mendongakkan kepalanya memandang ke arah Evan.
"Tenang saja Duke Evan, tidak akan ada yang perlu dikhawatirkan, saya bisa menjaga diri," Evan tertawa kecil mendengar apa yang dikatakan oleh Deanda.
"Tentu saja, aku percaya sepenuhnya kamu bisa menjaga diri, bahkan seorang pencopet profesional bukanlah tandinganmu. Tapi para laki-laki single di ruangan ini yang aku rasa tidak bisa menjaga diri mereka untuk tidak mendekat ke arahmu," Wajah Deanda langsung memerah mendengar kata-kata Evan yang secara tidak langsung memuji kecantikannya.
"Tapi saya serius Duke Evan. Tidak sopan jika sebagai tuan rumah Anda hanya menghabiskan waktu Anda dengan saya," Deanda berkata sambil melihat Evan yang sedang menganggukkan kepalanya kepada seorang laki-laki yang menyapanya sambil tersenyum dan dari wajahnya laki-laki itu terlihat begitu menunggu kesempatan untuk dapat mengobrol dengan Evan.
"Maaf Duke Evan. Lebih baik Anda menyapa tamu-tamu Anda. Jika diijinkan, saya akan mengambil beberapa makanan kecil untuk mengisi perut," Evan kembali tertawa mendengar kata-kata Deanda yang begitu terus terang.
"Baiklah, silahkan menikmati sajian makanan di pesta ini. Semoga kamu menyukainya," Evan menggerakkan tangannya ke arah meja panjang di kanan kiri ruangan yang tampak berisi penuh makanan lezat.
"Saya khawatir saya akan kehilangan kendali saat menikmati suguhan makanan yang semuanya terlihat lezat Duke Evan," Deanda berkata sambil tertawa dengan wajah senangnya, membuat Evan tersenyum melihatnya, wajah gadis cantik yang bersikap apa adanya, tanpa berusaha menyembunyikan jati dirinya dengan pura-pura menjadi orang lain.
"Asal kamu menyukainya, kamu boleh menghabiskan semuanya," Tawa Deanda semakin lebar mendengar penawaran dari Evan.
"Saya tidak serakus itu itu Duke Evan. Saya akan menyisakan sedikit untuk Anda," Deanda berkata sambil mengangkat tangannya di depan wajahnya, menyatukan ujung ibu jarinya dan ujung jari telunjuknya ke arah Evan sambil menyipitkan matanya, membuat Evan langsung tergelak.
"Ok, aku percaya kamu tetap akan menyisakan sedikit untukku. Baiklah, nikmati makan malammu Nona Deanda. Ingat untuk menyisakan sedikit saja untukku, jangan terlalu banyak," Evan berakata dengan tawa masih menghias bibirnya, sedang Deanda langsung tersenyum dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arah Evan, setelah itu berjalan ke arah meja panjang yang di atasnya tersaji bebagai jenis makanan yang tampak lezat, dan beberapa diantara belum pernah dilihat oleh Deanda sebelumnya, membuat Deanda sedikit menelan ludahnya karena rasa lapar di perutnya yang sedari siang karena sibuknya mengurus dandanan bersama Danella untuk pesta malam ini belum sempat mengisi perutnya sama sekali.
Deanda sedang berjalan mengelilingi meja panjang itu, mencoba mengambil satu persatu setiap menu yang ada untuk mencicipnya ketika handphone di tasnya bergetar. Dengan satu tangannya Deanda berusaha membuka tas tangannya dan mengambil handphonenya.
Apa kamu sebegitu senangnya menghadiri pesta di kediaman Duke Evan sehingga menolak untuk bertemu denganku? Mulai sekarang simpan nomerku baik-baik dan jangan berpikir untuk mengacuhkanku demi pria lain. Atau sebegitu sukanya kamu dengan makanan yang ada di pesta ini? Aku bahkan bisa memberikan makanan seperti itu untukmu setiap hari, tiga kali sehari, atau sebanyak apapun yang kamu inginkan.
Melihat sebuah baru yang masuk dan membacanya, Deanda langsung meletakkan piring berisi makanan yang ada di tangannya. Mata Deanda berkeliling memandang sekitar, berusaha mencari sosok seseorang yang paling mungkin mengirim pesan barusan dengan gaya sok berkuasanya, Tuan Alvi.
Deanda hanya bisa menarik nafas dalam-dalam melihat tidak ada seorangpun yang dalam bayangannya adalah Alvi. Sosok Alvi yang tidak pernah lepas dari maskernya dan gaya pakaian santai yang dikenakannya setiap mereka bertemu membuat Deanda sulit untuk menebak yang manakah Alvi diantara para tamu undangan yang datang dengan memakai pakaian rapi dan resmi di ruang pesta ini.
Deanda masih terus berkeliling menyusuri tiap sudut ruang pesta dengan matanya terus menatap tajam mencoba untuk menemukan sosok Alvi, sampai di dapatinya sosok Putra Mahkota Alvero yang terlihat sedang berbicara dengan serius dengan seorang gadis cantik dengan gaun pestanya yang terlihat mewah dan indah. Gadis itu tampak begitu serius menatap ke arah Putra Mahkota Alvero yang tampak tersenyum sedang wajah gadis cantik itu tampak begitu tegang, bahkan terlihat sedikit menunjukkan bahwa gadis itu sedang marah.
Apa yang sudah terjadi diantara mereka? Apa itu salah satu gadis yang pernah digosipkan dekat dengan Putra Mahkota Alvero sebagai kekasihnya? Sayang sekali, padahal sepertinya gadis itu terlihat cocok dan sepadan dengan Putra Mahkota, Deanda bertanya-tanya dalam hati.
Tunggu...
Deanda berkata dalam hati dengan kakinya yang sudah hampir menjauh dari tempat di mana terlihat Alvero sedang berbincang serius dengan seorang gadis, kembali terdiam, menahan langkahnya.
Sepertinya aku pernah tahu gadis itu..., tapi..., di mana ya?
Deanda kembali berkata dalam hati sambil mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat-ingat siapa gadis cantik yang sedang bersama dengan Alvero.
Ah, aku ingat, itu pasti Putri Desya Edarian, adik tiri Putra Mahkota Alvero, Deanda berkata dalam hati sambil tersenyum setelah berhasil mengingat siapa gadis cantik yang sedang bersama dengan Alvero dan segera melangkah pergi meninggalkan temapt itu.
Desya Edarian adalah putri dari Eliana Edarian, yang merupakan ibu tiri dari Alvero dengan suami pertamanya yang meninggal sebelum menikah dengan Raja Vincent Adalvino yang merupakan ayah kandung dari Alvero, setelah Larena Hilmar yang merupakan permaisuri sekaligus ibu kandung Alvero meninggal dalam sebuah kebakaran hebat ketika Alvero masih kecil. Pangeran Dion Adalvino adalah adik dari Desya Edarian, beda ayah, satu ibu, sedangkan Dion dengan Alvero, beda ibu, satu ayah. Desya Edarian diharuskan menggunakan marga dari ibunya, sejak Eliana Edarian menikah dengan Raja Vincent Adalvino. Gadis itu tidak diperbolehkan memakai marga Adalvino karena bukan anak kandung dari Raja Adalvino, tetapi juga tidak diperbolehkan untuk memakai marga ayah kandungnya untuk menghormati posisi Raja Vincent Adalvino yang saat ini menjadi suami sah Eliana Edarian, sehingga diputuskan Desya harus memakai marga ibu kandungnya.
# # # # # # #
Deanda menghembuskan nafas lega dari bibirnya begitu berhasil melarikan diri dari serbuan para undangan pria yang berusaha mengajaknya berkenalan dan mengobrol. Setelah berhasil meenghindar, Deanda yang tadinya meminta ijin untuk ke kamar mandi sedikit mengendap-endap sambil mengawasi sekeliling agar dia bisa keluar dari ruangan pesta tanpa dilihat oleh para undangan lain.
Karena gerakan gesitnya, Deanda berhasil keluar dari ruang pesta, dan berjalan ke sisi lain bangunan rumah Evan, sehingga tanpa sadar Deanda sudah melangkah ke luar, ke arah taman di samping bangunan mewah itu. Deanda baru saja berencana mencari tempat untuk bisa duduk dan menikmati suasana malam yang terlihat cerah ketika dilihatnya sesosok seorang laki-laki sedang berdiri dengan tubuh membungkuk, dengan satu tangannya memegang sandaran kursi taman dengan erat dan tampak aneh.
Dengan ragu-ragu Deanda berjalan mendekat ke arah laki-laki berpakaian resmi yang menunjukkan bahwa dia adalah salah satu tamu undangan. Begitu jarak Deanda semakin mendekat ke arah laki-laki itu, Deanda langsung tersentak kaget melihat sosok Alvero yang wajahnya terlihat memerah dengan satu tangannya memegang dadanya dan tampak begitu kesakitan.
"Apa Anda baik-baik saja Yang Mulia?" Mendengar suara seorang gadis menyapanya, dengan gerakan terlihat kaget Alvero langsung melangkah mundur, tapi begitu dilihatnya sosok gadis itu adalah Deanda, Alvero menghentikan gerakannya.
"Maaf Yang Mulia jika saya mengagetkan. Apa Yang Mulia baik-baik saja?" Deanda berjalan mendekat dan dengan reflek memegang pergelangan tangan Alvero yang tubuhnya terhuyung ke samping, tampak seperti orang yang tidak memiliki tenaga dengan nafas tersengal-sengal yang menunjukkan bahwa saat ini dia tidak bisa bernafas dengan normal.
Baru beberapa detik Deanda memegang pergelangan tangan Alvero dan membantunya untuk berdiri dengan normal, sebuah tangan dengan sedikit kasar memegang tangan Deanda dan menariknya untuk menjauh dari Alvero, dengan gerakan sigap Deanda langsung melakukan perlawanan dengan mengibaskan tangannya sehingga lepas dari cengkeraman tangan orang yang baru saja datang itu dan menggerakkan tubuhnya menjauh.
"Maaf Nona, Anda tidak boleh sembarangan menyentuh tubuh Yang Mulia," Begitu Deanda lepas dari cengkeraman tangannya, orang itu segera bergerak ke arah Alvero dan menopang tubuh Alvero dengan satu tangan, sedang tangannya yang lain memberikan sebuah botol kecil berisi cairan bening yang langsung diraih dengan cepat oleh Alvero dan langsung diminumnya.
"Saya tidak ada maksud jahat kepada Yang Mulia, hanya ingin membantunya karena beliau terlihat tidak sehat," Mendengar penjelasan Deanda, laki-laki yang ternyata Erich itu menatap dengan wajah dinginnya kepada Deanda.
"Yang Mulia akan baik-baik saja. Nona tidak perlu khawatir. Anda bisa segera meninggalkan tempat ini dan anggap Nona tidak melihat kejadian apapun barusan dan...," Erich berkata sambil memandang ke arah Alvero yang tampak terlihat sudah membaik dan langsung memberikan tanda dengan melambaikan telapak tangannya kepada Erich agar menghentikan kata-katanya yang sedikit bernada tinggi kepada Deanda.