Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit dan Angkasa
Talita menggandeng tangan mungil Bintang, sementara tangan satunya berisi kantong plastik berisi mainan dan jajanan. Ia tahu dompetnya nyaris kosong, hanya menyisakan beberapa lembar lusuh dan recehan, tetapi ia tidak tega menolak setiap rengekan Bintang. Di balik manik mata dingin anak itu, selalu ada panggilan lembut, “Mama” yang membuat pertahanan Talita runtuh. Senyum kecil Bintang adalah hadiah termahal yang bisa ia beli.
Alun-alun malam itu penuh sesak. Lampu warna-warni dari panggung pesta ulang tahun kota berkelip seperti bintang jatuh. Musik, suara teriakan anak-anak, dan klakson kendaraan bercampur menjadi riuh yang memekakkan telinga. Talita menggenggam erat tangan Bintang, mencoba mencari celah untuk menyeberang. Lalu lintas padat, orang-orang berdesakan, membuat langkah terasa melelahkan.
Tiba-tiba, Bintang menarik tangannya.
“Mama, ayo cepat!” serunya polos, melihat jalan yang sesaat agak sepi.
Talita hendak melangkah, namun kilatan lampu dari arah kanan membutakan matanya. Sorot lampu mobil itu menusuk tajam, membuat Talita terangkat tangannya untuk menepis silau.
Seketika, sebuah dorongan keras menghantam tubuhnya.
Bruk!
Talita terhempas ke trotoar, sikunya perih membentur keras. Suara dentuman logam menghantam mengiringi jeritan panik orang-orang.
Talita bangkit sempoyongan, matanya liar mencari.
“Bintang!!”
Anaknya terisak tak jauh dari sana, lututnya lecet dan tubuhnya gemetar ketakutan. Talita segera merengkuhnya, memeluk erat, menciumi ubun-ubunnya.
“Bintang, tenang. Mama di sini.” Namun, dirinya sendiri tak kalah panik.
Kerumunan mulai gaduh. Beberapa pria menyeret paksa pengemudi mabuk dari balik setir mobil yang penyok di bagian depan. Sorak marah, tinju, dan teriakan meledak di udara. Tapi mata Talita terfokus pada tubuh seorang pria yang terkapar di aspal, berlumuran darah. Tubuh yang tadi… mendorongnya.
Beberapa orang berusaha menutup tubuh pria itu dengan koran lusuh.
“Jangan! Jangan tutup!” suaranya parau namun tegas. Talita maju dengan langkah goyah, lututnya hampir luruh.
Dengan gemetar, ia berlutut di sisi pria itu, membuka semua koran yang menutup tubuhnya. Jemarinya dingin saat meraba pergelangan tangan, lalu ke leher. Hampir tak ada denyut… begitu lemah. Napas pun nyaris tak terdengar.
“Ya Tuhan…” desahnya. Tanpa pikir panjang, Talita menepikan rambut pria itu dari wajahnya, memastikan jalan napas terbuka dengan menengadahkan kepalanya sedikit. Ia menempelkan telinga di dekat hidung dan mulutnya, mencoba mendengar helaan. Hanya hembusan tipis, hampir tak ada.
“Bertahanlah, kumohon…”
Dengan keberanian yang bercampur panik, Talita menempatkan kedua telapak tangannya di tengah dada pria itu. Lalu ia mulai menekan dengan ritme keras, cepat, berulang.
Satu… dua… tiga… empat ...
Dadanya naik turun mengikuti tekanan.
Orang-orang terdiam, memandang. Suara riuh berubah jadi lingkar hening yang mencekam. Hanya terdengar suara Talita yang terengah, bercampur isak Bintang. Sesekali ia menutup hidung pria itu, memberi napas buatan, hembusan singkat, lalu kembali menekan dada dengan penuh tenaga.
“Jangan mati, tolong jangan mati…” bisiknya berkali-kali, matanya berair.
Sirene ambulan memecah malam, meraung menusuk telinga. Dua petugas medis berlari membawa tandu. Mereka segera menggantikan posisi Talita, melanjutkan kompresi dada dengan profesional sambil memasang masker oksigen di wajah pria itu.
“Cepat angkat ke ambulan! Jantungnya masih lemah, tapi ada respons!” teriak salah satu paramedis.
Kini, Talita, Bintang, dan pria berlumuran darah itu sudah berada dalam satu ambulans. Bau obat-obatan menusuk hidung. Bintang kembali menangis, tubuh mungilnya bergetar dalam dekap Talita.
Petugas medis menatap Talita. “Kalau tidak ada yang melakukan kompresi jantung lebih awal mungkin dia sudah tidak selamat. Terima kasih, Nona.” Ucapannya singkat, tapi penuh arti.
Talita tercekat. Dadanya sesak, perasaan bersalah dan syukur bercampur jadi satu.
Setiba di rumah sakit, mereka digiring masuk ke UGD. Lampu merah tanda darurat menyala, pintu ruang operasi tertutup rapat. Talita memeluk Bintang erat-erat, berdoa dalam hati. Wajah pria itu masih jelas tergambar di pikirannya. Wajah seorang asing yang rela mengorbankan diri.
Langkah berat pantofel bergema dari lorong. Siluet pria-pria berpakaian rapi muncul seperti bayangan kelam. Dari balik cahaya lampu rumah sakit, seorang pria dengan jas hitam pekat melangkah paling depan. Tatapannya tajam, aura dinginnya menusuk ruangan seperti pisau. Langkahnya yang angkuh dan tegas merambatkan rasa ngeri.
Talita terperanjat, berdiri kaku, darahnya serasa berhenti mengalir. Memorinya terbuka, kenangan 2,5 tahun lalu menghantam.
“Tidak mungkin,” bisiknya kaku.
Pria itu lewat begitu saja, tanpa menoleh. Aroma parfumnya yang dulu membuat Talita muak kini kembali menusuk hidungnya. Tangan Talita mengepal, dadanya naik turun, dendam yang dipendam selama ini mendesak keluar.
“Pindahkan dia ke Asa Medical Center, Seoul,” perintah pria itu dingin, tanpa menoleh sedikit pun.
“Siap, Tuan!” jawab salah satu petugas medis sambil segera bersiap.
Talita mulai mendidih, dadanya naik-turun tak terkendali. Semua amarah yang ia pendam selama ini meledak begitu saja.
“Bangs*t! Baj*ngan!” sumpah serapah itu meluncur deras dari bibirnya. Tangan Talita mengepal\, tubuhnya terhuyung maju\, berniat menghantam kepala pria itu dengan segenap tenaga.
Namun sebelum tinjunya sampai, sebuah tangan keras menepisnya. Seorang ajudan berpakaian hitam yang berdiri di belakang Angkasa langsung bergerak cepat. Dengan kasar ia meraih Talita, mengangkat tubuhnya seakan tak lebih dari karung goni.
“Lepaskan aku! Dasar pengecut! Lepaskan aku!!” jerit Talita sambil meronta, namun sia-sia. Bintang pun ikut terangkat oleh ajudan yang lain, ia menangis histeris.
Suasana rumah sakit mendadak penuh ketegangan. Orang-orang menoleh, terkejut, tapi tak seorang pun berani ikut campur. Aura dingin pria itu, dan barisan pengawal di sekelilingnya, cukup untuk membungkam keberanian siapa pun.
^^^^
Penulis baru mohon dukungannya yaaa...
Klik jempol, love, subscribe atau follow. Klik hadiahnya juga boleh...Hahahah...
Makasiiih... (Love)
makasih sudah mampir