Lima tahun telah berlalu sejak Edeline putus dengan kekasihnya. Namun wanita itu masih belum mampu melupakan mantan kekasihnya itu. Setelah sekian lama kehilangan kontak dengan mantan kekasih, waktu akhirnya mempertemukan mereka kembali. Takdir keduanya pun telah berubah. Edeline kehilangan harapannya. Namun tanpa dirinya sadari ada seseorang yang selama ini diam-diam mencintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eriza Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16 Kembali Untuk Mengenang
...Bab. 16...
...KEMBALI UNTUK MENGENANG...
Sejak hari minggu diliburkan, aku selalu mendapati tangan Keith yang lecet atau terluka setiap kali ia masuk kerja. Aku selalu berusaha mengobati lukanya meskipun harus dengan cara paksa. Keith kadang kekanak-kanakan. Ia juga tidak mau memberitahu penyebabnya. Ia malah senang saat aku mengomelinya.
Tiga bulan berlalu. Aku dan Keith tetap berteman seperti biasanya. Ronan juga sudah banyak kemajuan. Begitu pun toko bunga yang tak pernah sepi pelanggan lagi.
Suatu siang ada seorang pemuda datang ke toko. Ia ingin dibuatkan seikat bunga untuk seorang sahabat yang sangat berarti. Namun ia ingin aku yang memilih bunga dan mengikatnya. Jadinya aku memilih mawar kuning yang melambangkan persahabatan, suka cita, dan juga kenangan. Aku juga menghiasnya dengan pita cantik. Setelah pemuda itu pergi aku merasa agak aneh. Sebelumnya tidak ada pelanggan yang meminta ku secara khusus mengerjakannya. Karena biasanya Keith atau Ronan yang melakukannya. Namun kedua pemuda itu juga sibuk jadi aku tak terlalu memikirkannya.
Sore itu ketika aku sedang mengunci pintu toko, seorang pemuda datang ke hadapanku. Ia menyodorkan seikat bunga mawar kuning yang tak asing ke depan wajahku. Bunga mawar yang tadi siang ku ikat. Keith yang tengah menunggu ikut menatap bingung. Aku coba menatap ke wajah pemuda yang tertutup topi itu. Pemuda itu mengangkat topinya. Bibirnya mengembangkan sebuah senyum.
"Hai!" sapanya.
Aku kaget dan tak menyangka. "Ray?!"
"Apa kabarmu? Ini untukmu!" kata Ray. Aku menerimanya meski bingung. Lalu ku suruh Keith pulang duluan.
"Bagaimana kamu tahu?! Dan bunga ini ...." Aku bertanya dengan bingung.
"Ya, aku memang sengaja memberikan bunga ini untukmu. Yang tadi datang membeli bunga di tokomu itu adikku. Kalau tidak keberatan, maukah jalan-jalan sebentar denganku?" tanya Ray.
"Tentu. Kapan kamu ke sini? Kamu tidak mengajak Joan? Kamu sangat tidak sopan, pergi tanpa berpamitan padaku!" ujarku menyinggungnya.
Ray tertawa. "Aku tidak suka mengatakan selamat tinggal. Maaf, tapi setidaknya aku menulis surat untukmu!" Ray membela diri. Ia melanjutkan, "Aku datang bersama Joan dan istriku, Irena. Adikku yang tadi siang membeli bunga denganmu akan menikah. Jadi kami pulang. Ya, hanya acara keluarga."
"Oh," gumamku.
"Jadi, kapan kamu akan mengirimkan undanganmu?" tanya Ray basa-basi.
"Apa?" seruku.
Ray malah tertawa lebar. "Apa kamu mau jadi perawan tua?" ejeknya.
Aku melotot padanya sambil mengacungkan bunga mawar itu. Ingin rasanya ku lempar ke wajahnya. Tangan Ray siap menangkis duluan.
"Enak saja! Siapa bilang aku jadi perawan tua? Aku hanya tak mau terburu-buru sepertimu! Jangan-jangan kamu takut tidak laku, ya?! Makanya buru-buru menikah!" balasku tak mau kalah.
"Aku hanya bercanda. Jangan marah! Bukannya takut tidak laku, hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Hahaha ...." Ray meralat ucapanku sambil tertawa keras.
Aku hanya diam manyun menatapnya. Tanpa diduga langkah kaki kami membawa kami sampai di teluk. Tempat yang penuh kenangan. Sambil terus melangkah menyusuri jembatan. Lalu berhenti di pertengahan, tempat favorit kami. Berdiri di tepi sambil menatap langit sore.
"Tidak terasa ya, waktu sudah berlalu. Banyak hal telah berubah, orang-orang juga berubah, tapi tempat ini tidak pernah berubah. Masih tetap seperti yang dulu," tutur Ray.
"Memangnya apa yang kamu harapkan dari tempat ini? Kupikir sepuluh tahun yang akan datang pun tempat ini akan tetap seperti ini," balasku.
"Memang tidak ada yang bisa diharapkan kecuali datang untuk mengenang," ujar Ray. Sontak aku menatapnya. Ia melanjutkan, "Kenangan memang tidak memiliki akhir, ia hidup tapi juga mati. Kadang menyakitkan seperti duri, namun kadang juga begitu dirindukan. Terlepas dari semua itu, tetap saja kita harus memiliki harapan. Meninggalkan masa lalu bukan berarti membuang kenangan, karena setiap senja pasti menyisakan keindahan. Tidak peduli seberapa jauh aku sudah pergi. Selalu ada satu waktu di mana aku ingin sekali kembali ke tempat ini."
Aku terdiam. Ray kemudian menatapku. "Edeline, apa kamu pernah menyesali pertemuan ini?" tanya Ray dengan serius.
"Aku tidak pernah berpikir begitu. Dulu aku memang tidak ingin ke tempat ini karena tak ingin teringat dengan kenangan kita. Tapi, sekarang aku tidak punya alasan untuk lari lagi. Kamu mungkin benar, seindah apapun kenangan itu tetap tidak dapat mengalahkan indahnya langit senja dari atas jembatan ini," jawabku.
"Terkadang kamu harus lebih fokus pada apa yang ada di depan matamu, bukan yang ada di dalam kepalamu!" Ray menimpali sambil tersenyum lebar.
Aku ikut mengembangkan senyum di wajahku. Matahari yang hampir tenggelam membiaskan cahaya jingga di langit senja. Sekali lagi ucapan Ray membenarkan. Terlalu fokus pada yang semu sehingga melewatkan hal-hal yang begitu luar biasa yang jelas ada di depan mata.
...❀❀❀...
Aku termenung di depan layar laptop yang menyala. Ini sudah hari sabtu, harusnya aku menyalin data kas mingguan ke dalam tiap kolom tabel yang tersusun di layar laptop. Namun mata terasa begitu berat. Tiba-tiba Keith datang dengan secangkir teh.
"Mau kubuatkan kopi saja?" tanya Keith menawari.
Aku menggeleng. Lambungku sangat sensitif terhadap kafein kopi.
"Tidak, terima kasih. Ini saja!" jawabku sambil mengangkat cangkir teh. Seteguk teh Chamomille mungkin akan membuat tubuh lebih segar.
Keith duduk di depanku. Melihat buku yang terbuka di atas meja.
"Apa kamu sedang tidak ada perkerjaan?" tanyaku.
"Tidak ada. Hanya satu pesanan buket kecil. Ronan sedang mengerjakannya," jawab Keith sambil menunjuk Ronan di meja tengah.
"Kalau begitu bisakah kamu selesaikan ini untukku? Aku benar-benar mengantuk," ujarku sembari memutar layar laptop menghadap Keith. Sekalian menjelaskan bagaimana ia harus mengisi kolom tersebut. Keith mengangguk-angguk lalu melakukannya. Sedangkan aku melipat tanganku ke atas meja sebagai penyandar kepala.
"Sepertinya kamu berkencan sampai larut malam, ya?!" ejek Keith.
"Jangan bicara sembarangan! Dia itu sudah berkeluarga dan punya anak. Kami hanya berteman," jelasku.
"Oh, pantas dia memberimu mawar kuning. Aku pikir dia salah membeli bunga ternyata tidak. Hahaha .... Itu berarti kalian memang sudah berteman lama!" ujar Keith.
"Hem, cukup lama. Dia baru kembali dari luar kota setelah bertahun-tahun meninggalkan kota ini," jelasku dengan mata mulai terpejam. Aku tidak ingin menjelaskan terlalu banyak. Biarkan itu tetap menjadi bagian dari kisah masa lalu.
...❀❀❀...
Keith sedang menyelesaikan sebuah pesanan bunga meja yang akan diantar sore ini. Sementara Ronan membersihkan sampah sisa dedauan di lantai. Aku sedang mengemasi barang di atas meja. Setelah meja rapi aku membawa cangkir teh yang kosong ke restroom. Saat hendak keluar berpapasan dengan Keith di pintu. Tanganku menahan dadanya sebab hampir bertabrakan.
"Sorry!" kataku. Langsung berlalu. Namun Keith menghentikan langkahku.
"Edeline .... Tunggu!"
"Ada apa?" tanyaku yang berdiri di depannya.
"Besok kamu ada rencana? Maksudku apa kamu ada kegiatan ... kesibukan atau ...."
Aku langsung menyela. "Aku tidak kemana-mana dan tidak ada jadwal kegiatan alias kosong. Jadi, ada perlu apa?"
"Oh, aku ingin mengajakmu ke luar. Ya, jika kamu mau ...," ujar Keith malu-malu.
"Oke. Besok kamu jemput aku di rumah. Aku akan tunggu!" kataku pasti. Senyum Keith seketika mengembang.
Tiba-tiba dari pintu masuk terdengar suara keras terjatuh. Aku dan Keith berlari menghampiri. Ternyata di sana Ariana dan Ronan sedang terduduk di lantai sama-sama memegang dahi mereka. Sedangkan lantai berserakan sampah dan beberapa barang yang tercecer keluar dari tas Ariana.
"Kalian sedang apa?" tanyaku pura-pura bodoh. Tapi menahan tawa.
"Kami tak sengaja bertabrakan. Saat aku ingin ke luar membuang sampah, Nona ini masuk dengan cepat," jawab Ronan.
"Oooh," gumamku.
"Aduh ... Sakit!" rintih Ariana sambil memegang dahinya.
"Kamu tidak apa-apa, Ariana?" tanya Keith yang ikut membantunya berdiri.
"Tidak," jawab Ariana.
"Maaf ... Aku benar-benar minta maaf ya, Nona!" ujar Ronan dengan sangat tak enak. Meskipun dahinya juga sakit.
"Tidak apa-apa. Aku juga yang ceroboh," balas Ariana sambil tersenyum. Ia mulai memungut barangnya yang jatuh, Ronan juga membantu sambil terus saja meminta maaf.
"Sudah tidak apa-apa. Jangan meminta maaf terus ...," ujar Ariana lebih keras.
Aku tak menghiraukan mereka lagi, aku kembali ke meja. Ariana sudah beranjak dari pintu masuk sedangkan Ronan membersihkan sisa sampah yang tersebar. Giliran Keith yang melayaninya.
"Aku ingin dua ikat Lily putih. Seperti biasa," kata Ariana pada Keith.
Keith mengangguk dan langsung mengerjakannya. "Untuk orang tuamu?" tanya Keith.
"Iya. Siapa pemuda tadi itu, Keith?" jawab Ariana.
"Maksudmu Ronan?! Dia sudah beberapa bulan bekerja di sini. Ngomong-ngomong sudah lama kamu tidak datang ke sini, Ariana?" tanya Keith.
"Iya, hampir tidak ada waktu setelah pindah ke tempat kerja baru. Waktu itu aku datang tapi toko sedang tutup," jawab Ariana.
"Mungkin kamu datang di hari minggu. Sekarang toko memang tutup kalau hari minggu," jelas Keith.
"Iya. Aku baru tahu," ujar Ariana.
"Ini sudah selesai," kata Keith sembari memberikan dua ikat Lily putih yang sudah terbungkus cantik.
"Terima kasih!" balas Ariana. Ia hendak menuju kasir namun Keith memanggilnya sebentar.
"Mm ... Ariana ...."
"Ya? Kenapa, Keith?" Ariana bertanya.
"Apa aku boleh ikut ke makam orang tuamu?" tanya Keith agak ragu.
Ariana tersenyum. "Tentu saja. Aku bisa menunggu sampai toko tutup," jawab Ariana. Ia kembali melangkah ke meja kasir untuk membayar.
Aku memberikan nota serta uang kembalian pada Ariana. Aku mendengar sedikit percakapan mereka tadi. Bukan berniat menguping namun memang terdengar sampai ke mejaku. Jam tutup masih lima menit tapi aku tak ingin menunggu. Aku memanggil Ronan dan Keith untuk pulang. Keith dan Ariana pergi lebih dulu.
"Sampai bertemu besok, Edeline!" kata Keith pelan saat ia lewat di depanku. Aku hanya tersenyum kecil.
"Kakak, siapa gadis itu? Apa dia pacar Keith?" tanya Ronan.
"Bukan. Keith bilang gadis itu seperti adik baginya. Apa kamu tertarik padanya, Ron?" jawabku sambil meliriknya.
"Ah ... Tidak. Aku hanya bertanya. Lagipula mana mungkin gadis semanis itu suka padaku?!" kata Ronan malu-malu.
"Kalau kamu tidak coba mengenalinya lebih dekat, mana tahu?!" timpalku sambil berjalan pulang. Ronan masih mengikutiku padahal jalan pulang kami tak searah.
"Apa gadis itu akan datang lagi?" tanya Ronan.
"Dia pasti datang, tapi aku tidak tahu kapan. Dia pelanggan setia di toko kita. Jadi, kamu tak perlu cemas tidak bertemu dengannya lagi. Masih ada kesempatan asal kamu beranikan diri," jawabku yakin.
Ronan tersenyum lebar. "Aku akan coba. Kakak ... Jangan bilang pada siapapun, ya!" pintanya.
"Iya!" jawabku. Ronan baru berbalik arah dan melangkah pergi dengan ceria. Aku hanya tersenyum sendiri. Kulihat sekuntum bunga cinta sedang mekar di hati pemuda itu.
karna buka kisah baru itu perlu tenaga jga hirup udara yg pas😌 utk qm edeline semangat ya buat kisah baru nya lgi😌
ga segampang itu menjalani kisah baru dan melupakan yg lama
cari kerjaan baru mngkn akan berubah kehidupan baru dan pastinya akan bertemu dgn org yg baru
semangat
masih nyangkut masa lalu jgn mulai buka halaman baru
bisa aja qm yg selanjutnya menyakiti perasaan nya 🙄 pahamkan itu jgn asal hdup aja🙄
basa basi