Sosok gadis manja dan ceria berubah menjadi gadis yang bersikap sangat dingin saat ayah yang begitu dia sayangi menyakiti hati ibunda tercinta. Ara menjadi gadis yang dewasa, bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi keluarganya. Itu sebabnya Ara berusaha melakukan apapun untuk membahagiakan ibu dan kedua adiknya, termasuk menjadi wanita simpanan dari seorang bule tajir.
Seorang Bule yang Ara sendiri tidak tahu siapa namanya, karena yang Ara tahu hanya nama panggilan pria itu, yaitu Al.
"Jangan tanya namaku! Dan jangan mencoba mencari tahu siapa aku! Hubungan antara kita hanya sebatas ranjang, selebihnya aku tidak mengenalmu dan kau tidak mengenalku."
Ucapan bule tajir itu saat dulu membuat kesepakatan dengan Ara, menjadi hal yang selalu Ara ingat untuk membentengi hatinya.
Bagaimana kelanjutan kisah Ara?
Masukan buku ini ke rak baca kalian, ikuti ceritanya dan dukung selalu authornya. Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Fi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bule 16
"Untuk apa kamu mandi lagi, Ara?" tanya Al terkekeh, melihat Ara keluar dari kamar mandi, sehabis bermain dengannya.
"Mau bagaimana lagi, itu lengket!" jawab Ara sedikit ketus, lalu beranjak ke meja rias untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
Dari belakang, Al mulai bangun. Tetapi dia tak beranjak, hanya menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang dengan tangan saling melipat. Tatapannya tak pernah putus menatap wanita simpanannya.
"Bukankah itu percuma? Karena malam ini pasti kamu akan lengket lagi," kata Al menohok.
Praktis, Ara langsung membalikkan badan. Menatap Al dengan mata menyipit dan bibir yang mengerucut . "Jangan coba-coba menyentuhku lagi. Aku sudah lelah sehari mandi sampai empat kali. Kamu mau aku masuk angin dan menjadi demam karena kelakuanmu?"
"Oh, Sayang ... Padahal sudah kubilang untuk jangan mandi sampai besok. Aku juga memintamu untuk tidak berpakaian, kenapa kamu menutupi tubuhmu dengan handuk?" keluh Al, entah kenapa terlihat jengkel melihat pemandangan Indahnya harus tertutup oleh kain.
Hal ini membuat Ara berdehem, lalu sedikit membuka piyama handuknya bagian atas sampai menampilkan sebagian dadanya. "Itu karena aku ingin menutupi hal ini," katanya dengan malu-malu.
Mata Al melotot, sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Dia begitu puas, dan sangat bangga dengan hasil karyanya yang membuat bagian tubuh Ara banyak tanda kemerahan.
"Mau aku tambah?" tanya Al sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ish, kamu ini!" decak Ara dengan kesal. Dia menyelesaikan kegiatannya, lalu mulai menyusul Al untuk membaringkan tubuh. Dia menggunakan lengan Al sebagai bantal, lalu memeluk tubuh pria itu.
"Kamu tidur?" tanya Al tiba-tiba.
Hal ini membuat Ara kembali membuka matanya. Dia mendongak untuk menatap Al lalu menggelengkan kepala. "Tidak ... aku hanya meresapi harum wangi tubuhmu saja yang membuatku candu," jawabnya dengan jujur.
"Kamu semakin pintar merayu, ya sekarang!" kata Al, reflek langsung mengacak-acak rambut Ara.
"Aku berkata jujur, Al," keluh Ara, "hentikan membuat rambutku berantakan, aku baru saja merapikannya tadi." Ara terlihat kesal saat menangkap tangan Al yang ada di kepalanya.
Bukannya menuruti permintaan Ara, Al malah semakin gencar menggoda wanita itu. Dia bahkan membuat piyama handuk Ara terlepas. "Aku lebih suka melihatmu berantakan, Ara. Apalagi jika berantakan setelah habis bermain denganku," katanya tersenyum lebar, meringis menunjukkan giginya seolah tak merasa bersalah sama sekali.
"Al, hentikan! Jauhkan tangan nakalmu dariku!" pekik Ara sambil tertawa keras, karena kini Al malah menggelitik tubuhnya yang polos. Dia berontak, meringkuk berusaha agar tak terjamah dari jari-jari Al. Tetapi sepertinya lelaki itu tak mau mengalah, dan semakin mendesaknya sampai-sampai perutnya terasa sakit akibat tertawa terus.
Napas Ara terengah, saat Al melepaskan dirinya setelah dia terus-terusan memohon. Ara tampak begitu kepayahan dengan candaan Al kali ini. Meskipun begitu, dia masih bisa tertawa dan malah merasa senang.
Al sendiri ikut merasa lelah, dia mulai membaringkan tubuhnya di samping Ara, tengkurap dan menjadikan perut wanita itu sebagai bantal. "Sepertinya aku lelah, bagaimana jika kita tidur sebentar?" usulnya.
"Itu ide yang bagus," sahut Ara. Dia membiarkan Al berada di atas tubuhnya. Kini, satu tangannya terulur untuk memberikan pelukan di bahu Al. Sedangkan tangan lainnya, dia gunakan untuk mengusap kepala pria bule itu.
Waktu berlalu dalam kesunyian, meskipun Ara mengantuk, nyatanya dia tak bisa memejamkan mata. Dia terjaga malam ini, dan entah mengapa merasa kesepian.
"Apa kamu sudah tidur, Al?" tanya Ara tiba-tiba nyeletuk seolah mencari teman.
"Ya, Sayang, ada apa?" Ternyata Al masih menjawab, lelaki itu masih belum tertidur lelap sehingga bisa mendengar suara Ara.
"Aku merasa kesepian selama ini," ungkap Ara dengan nada lirih.
"Bukannya aku selalu bersamamu?" tutur Al balik, masih memejamkan mata dan terlihat nyaman tiduran di perut Ara.
"Oh, ya? Selalu bersamaku?" beo Ara, mendadak berceletuk kesal. "Lalu ke mana saja kamu selama dua minggu ini? Kamu pergi tanpa memberiku kabar, dan membuatku menunggu lama dengan rindu yang menumpuk."
"Ara!" Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Al terbangun. Dia langsung duduk dan menatap wanitanya itu dengan tajam. "Bukankah sudah kubilang untuk tidak ikut campur masalahku?!" bentaknya menggeram.
Sikap Al membuat Ara sadar, jika dia telah keceplosan menanyakan hal pribadi pada Al. Padahal, Al selalu mewanti-wantinya untuk tak masuk jauh ke ranah pribadi. Melihat Al marah, membuat Ara merasa bersalah.
Dia dengan cepat ikut duduk, meraih tangan Al untuk digenggam. "Maafkan aku, Al ... aku tak sengaja berbicara seperti itu tadi. Aku hanya terbawa suasana dengan kesepianku," tuturnya meyakinkan.
"Jangan ulangi lagi!" kata Al dengan ketus.
Ara mengangguk, memaksakan senyum lalu ikut merebahkan diri. Dia memeluk Al, menyembunyikan wajahnya yang terlihat sedih di dada bidang lelaki itu. Meskipun sikapnya kembali manja saat ini, tetapi hati Ara sedang menangis karena sikap dingin Al barusan.