Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Meminta Petunjuk
"Mas nggak mampir dulu?" tanya Shofi yang saat ini menghentikan sepeda motornya di depan halaman rumahnya.
"Lain kali aja, udah mau Maghrib soalnya. Salam aja ya buat ibu, Hamzah, sama Keinan juga," jawab Awan.
"Iya, Mas. Ya udah kalau gitu. Makasih udah dianterin ya."
"Iya, sama-sama. Aku langsung balik ya, Mbak. Assalamu'alaikum," pamit Awan.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas," jawab Shofi sekaligus berpesan.
Awan menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kemudian mulai menjalankan kembali sepeda motornya. Sesaat setelah Awan pergi Shofi pun kemudian masuk ke halaman rumahnya.
"Assalamu'alaikum," salam Shofi begitu memasuki rumahnya.
"Wa'alaikumsalam, Kak," jawab Aminah yang sedang melipat pakaian di sofa ruang tamu.
Shofi kemudian menghampiri sang ibu lalu mencium punggung tangan kanannya.
"Nak Awan nggak mampir?" tanya Aminah.
"Eh, e-enggak Bu. Udah mau Maghrib juga katanya. Oh iya, ibu dapat salam tadi dari Mas Awan," jawab Shofi sedikit gugup.
"Wa'alaikumsalam," ucap Aminah membalas salam dari Awan yang disampaikan oleh Shofi tadi.
"Keinan mana, Bu?"
"Lagi siap-siap sama Hamzah. Habis ini mau ke masjid katanya."
"Oh. Ya udah kalau gitu kakak masuk dulu ya, Bu."
"Iya, Kak."
Shofi beranjak meninggalkan ibunya, melangkah menuju ke kamarnya.
☘️☘️☘️
Saat ini Shofi, Keinan, Aminah, dan Hamzah sedang makan malam bersama.
"Om Ganteng nggak kesini ya, Bun?" tanya Keinan setelah menyelesaikan makan malamnya.
Shofi sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari putranya itu.
"Ehem. Emangnya kenapa Om Ganteng harus kesini?" tanya Shofi setelah berdehem pelan untuk menormalkan kembali ekspresinya.
"Kan tadi Om Ganteng bilang dia mau ngajakin Bunda bicara. Berarti Bunda pulangnya pasti dianterin dong sama Om Ganteng. Tapi kok Om Ganteng nggak nemuin Keinan sih?"
Shofi salah tingkah. Putranya itu memang seringkali berpikiran terlalu dewasa, tidak seperti anak seusia dirinya yang lain. Shofi melihat ke arah Aminah. Dilihatnya ibunya itu menganggukkan kepalanya pelan. Shofi pun kemudian menghela nafas.
"Om Ganteng tadi nggak bisa mampir, soalnya kan udah mau Maghrib. Makanya Om Ganteng langsung pulang," kata Shofi menjelaskan.
"Yah, padahal kan Kei pengen ketemu sama Om Ganteng," keluh Keinan dengan cemberut.
Lagi-lagi Shofi dan Aminah saling berpandangan.
"Gimana kalau Keinan telepon Om Ganteng aja," usul Aminah.
"Nah, iya tuh. Keinan minta tolong sama Om Hamzah aja buat telponin Om Ganteng-nya," lanjut Shofi.
"Jangan ngadi-ngadi deh, Kak. Udah jam berapa ini, Hamzah mau berangkat kerja. Kalau enggak Hamzah bisa telat nanti," tukas Hamzah cepat.
"Kenapa nggak pakai HP kakak sendiri aja sih? Hamzah mau siap-siap dulu nih," lanjut Hamzah yang kemudian berlalu untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Iya, Bun. Tolong telponin Om Ganteng dong, Bun. Keinan pengen ngobrol sama Om Ganteng," pinta Keinan dengan wajah memelas.
Shofi sempat dilema untuk mengambil keputusan. Tapi akhirnya Shofi tidak tega juga melihat wajah memelas putranya itu.
"Hmh, ya udah deh. Bunda telponin. Tapi Keinan ngomong sendiri loh ya sama Om Ganteng-nya," kata Shofi.
"Iya, Bun," balas Keinan bersemangat seraya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Video call aja ya, Bun. Keinan pengen bisa lihat wajahnya Om Ganteng."
"Telepon biasa aja ya, Kei," bujuk Shofi.
"Nggak mau, maunya video call," rengek Keinan.
"Hmh, iya deh iya," Shofi pun akhirnya mengalah.
Shofi kemudian mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Awan yang baru tadi siang dia simpan. Begitu terdengar nada sambung, Shofi kemudian menyerahkan ponselnya tersebut kepada Keinan.
"Nih, Keinan tunggu sampai Om Ganteng angkat teleponnya, ya," kata Shofi seraya mengulurkan ponselnya.
"Oke, Bun, makasih," balas Keinan tersenyum senang setelah menerima ponsel dari tangan bundanya itu.
Tidak lama kemudian panggilan pun akhirnya tersambung juga, menampakkan wajah Awan dalam ponsel Shofi tersebut.
"Keinan? Assalamu'alaikum, sayang," sapa Awan dari seberang sana terdengar begitu bersemangat setelah melihat wajah Keinan.
"Wa'alaikumsalam. Om Ganteng," pekik Keinan tak kalah bersemangatnya. "Bunda HP nya Keinan bawa ke kamar, ya," ijin Keinan kepada Shofi.
Shofi pun hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
"Keinan lagi apa?"
"Keinan habis makan malam. Om Ganteng udah makan belum?"
Samar-samar Shofi masih bisa mendengar perbincangan antara Keinan dengan Awan, membuatnya tersenyum kecil. Baru kali ini dia melihat putranya bersemangat seperti itu dengan orang lain.
Tidak lama kemudian Hamzah pun keluar dari kamarnya kemudian berpamitan kepada Aminah dan Shofi, hendak berangkat kerja sambilan di kafe milik dosennya, Bu Yolanda.
Sesaat setelah Hamzah berangkat, Aminah menghampiri Shofi yang saat ini sudah selesai mencuci piring.
"Kak," panggil Aminah.
"Iya, Bu," jawab Shofi seraya mengeringkan tangannya menggunakan kain lap.
"Nak Awan tadi pasti sudah mengutarakan niatnya kepada kakak, kan?" tanya Aminah hati-hati.
Shofi menghentikan sejenak aktivitasnya, terkejut mendengar pertanyaan sang ibu. Karena sudah selesai mengeringkan tangannya, Shofi pun kemudian menggantung kembali kain lap tersebut ke tempatnya semula.
"Sudah, Bu," jawab Shofi yang sudah berbalik kembali menghadap ke arah Aminah.
"Terus apa jawaban kakak?"
"Kakak belum kasih jawaban, Bu. Kakak nggak bisa langsung kasih jawaban tadi. Terus kata Mas Awan, dia juga ngasih waktu kok buat kakak untuk mempertimbangkan semuanya baik-baik sebelum akhirnya kakak kasih jawaban ke dia," jawab Shofi dengan menundukkan wajahnya.
Aminah tersenyum lembut. Ditepuknya pundak putri sulungnya itu.
"Nanti sholat istikharah ya, Kak. Meminta petunjuk kepada Allah SWT," pesan Aminah.
"Iya, Bu. Pasti," balas Shofi.
☘️☘️☘️
Shofi membuka pintu kamarnya. Melangkah masuk ke dalam, dapat Shofi lihat Keinan yang ternyata sudah tertidur nyenyak dengan menghadap ponsel yang dia senderkan pada bantal di sebelahnya agar bisa tetap berdiri.
"Eh, sudah tidur rupanya," kata Shofi seraya tersenyum.
Shofi kemudian menghampiri Keinan. Diciumnya kening Keinan penuh sayang kemudian menyelimutinya sampai sebatas bahu. Shofi kemudian mengambil ponselnya dari bantal. Dan begitu terkejutnya Shofi begitu melihat wajah Awan di layar ponselnya saat ini yang sedang tersenyum.
"Masya Allah," kaget Shofi. "Ma-maaf, Mas. Aku nggak tau kalau panggilan videonya ternyata belum selesai," lanjut Shofi tergagap.
"Nggak pa-pa kok, Mbak, santai aja," balas Awan. "Tadi Keinan minta ditemenin cerita sampai dia bobok katanya. Makanya panggilan videonya masih belum mati."
"Oh, gitu ya, Mas. Maaf ya Mas, jadi ngerepotin."
"Enggak ngerepotin sama sekali kok, Mbak. Santai aja."
"Mmm, ya udah, kalau gitu aku tutup dulu ya, Mas," kata Shofi berpamitan.
"Iya, Mbak. Selamat malam. Selamat beristirahat. Assalamu'alaikum."
"Iya, Mas. Wa'alaikumsalam."
Tut.
Sambungan telepon pun terputus. Shofi memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa berdebar-debar.
"Astaghfirullah hal adziim," lirih Shofi beristighfar, tidak ingin berpikiran yang macam-macam.
Meletakkan ponselnya di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, Shofi pun kemudian merebahkan tubuhnya di sebelah Keinan.
☘️☘️☘️
Seperti pesan ibunya tadi, malam ini Shofi pun terbangun dari tidurnya. Setelah mengambil wudhu kemudian melaksanakan sholat tahajud, Shofi pun melanjutkannya dengan melaksanakan sholat istikharah.
Selesai beristighfar dan berdzikir Shofi pun kemudian mengangkat kedua tangannya, memohon kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
"Yaa Allah, Yaa Rahman, Yaa Rahim, aku memohon petunjuk memilih yang baik dalam pengetahuan-Mu, aku mohon ditakdirkan yang baik dengan kodrat-Mu, aku mengharapkan karunia-Mu yang besar. Engkau Maha Kuasa dan aku adalah hamba-Mu yang dhaif."