Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Memanjakan Diri Sendiri
Arumi membakar seluruh barang yang dia miliki sejak awal menikah dengan Raka, kobaran api di depannya seakan menunjukkan kalau dirinya yang lama telah ikut terbakar karena pengkhianatan Raka tersebut.
“Tak ada lagi Arumi anak panti asuhan yang dipungut itu, yang ada hanyalah Arumi yang baru. Arumi Ralina ... istri sah yang kini memegang kendali atas pernikahannya sendiri,” ujar Arumi pada dirinya sendiri dengan seringai yang tak pernah dia tunjukkan selama ini pada siapapun.
Setelah semua barang itu menjadi abu, Arumi beranjak ke kamarnya dan bersiap membeli barang-barang baru yang dia sukai. Uang yang diberikan Raka selama ini cukup untuk berbelanja. Arumi juga ingat beberapa hari lalu Raka memberinya uang bulanan dan kali ini akan dia habiskan untuk kepentingannya sendiri, bukan lagi untuk keperluan dapur.
Lagian selama ini, uang yang Raka berikan selalu dipergunakan oleh Arumi untuk belanja bahan makanan, dan keperluan rumah tangga lainnya. Sangat jarang dia belanja sesuatu untuk dirinya sendiri.
Tujuan utama Arumi saat ini adalah pergi ke salon kecantikan, dia mulai untuk merawat dirinya sendiri terlebih dahulu.
***
Arumi melangkah masuk ke salon kecantikan paling elit di pusat kota itu tanpa ragu sama sekali. Pendingin ruangan menyambutnya dengan dingin yang menenangkan, aroma hair mist dan essential oil bercampur lembut di udara. Lampu-lampu putih kekuningan memantul di cermin besar, memperlihatkan bayangan dirinya yang tampak berbeda. Dia tak lagi seperti Arumi yang selalu meminta maaf pada suaminya.
“Selamat siang, Kak. Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang resepsionis dengan senyum profesional.
Arumi membalas senyum itu dengan lembut dan tipis. “Aku mau perawatan lengkap. Rambut, wajah, tubuh. Semuanya.” Nada suara Arumi terdengar tenang, datar, dan pastinya sangat elegan.
“Baik Kakak, silakan menunggu sebentar ya.”
Arumi duduk di kursi tunggu sebentar, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, lingkar hitam samar di bawah mata, rambut panjangnya tergerai tanpa bentuk, kusam karena terlalu sering diikat seadanya.
Jika dilihat dengan baik, sebenarnya Arumi bukanlah malas merawat diri, dia malah mengutamakan keindahan dirinya agar dilirik oleh Raka hanya saja Raka tak pernah melirik dirinya.
Seorang stylist menghampiri Arumi. “Mbak Arumi ya? Saya Livia. Kita mulai dari rambut dulu?”
Arumi mengangguk. Ia mengikuti Livia ke kursi salon, lalu duduk ketika cape hitam disematkan di lehernya. Rambutnya dibasahi perlahan, air hangat mengalir di kulit kepalanya, membuat matanya terpejam refleks.
Pijatan lembut di kulit kepala membuat napasnya sedikit terhenti. Ia hampir menangis bukan karena sakit, tapi karena baru menyadari betapa lama tubuhnya tidak disentuh dengan kelembutan. Selama ini, sentuhan yang ia terima hanya sebatas kewajiban, tuntutan, dan hasrat sepihak.
“Rambut Mbak cukup panjang dan bagus sebenarnya,” ujar Livia sambil memijat. “Cuma kelihatan capek. Kayak terlalu lama diikat saat masih basah ya Kak.”
Arumi tertawa pelan. “Iya. Aku memang sering melupakan perawatan rambut, biasanya sehabis mandi langsung aku ikat agar tidak berantakan, gak nunggu kering dulu.”
“Lain kali ada baiknya nunggu kering dulu baru diikat ya, Kak.”
“Aku akan merawat lebih baik lagi setelah ini.”
Arumi memilih potongan rambut baru yang lebih pendek namun tegas. Tidak terlalu ekstrem, tapi cukup untuk membuat perbedaan besar. Saat helaian rambutnya mulai jatuh ke lantai, Arumi menatapnya lewat cermin.
Arumi memotong rambutnya hingga ke bawah ketiak karena sebelumnya rambut itu panjang sampai menyentuh pantat.
Ada kelegaan bagi Arumi melihat helaian rambutnya jatuh ke lantai. Seolah tiap helai yang terpotong adalah kenangan yang tidak lagi ia butuhkan.
Setelah rambut, ia berpindah ke ruang facial. Masker dingin dioleskan ke wajahnya, aroma lavender memenuhi hidung. Lampu diredupkan, musik instrumental mengalun pelan.
Di ruangan itu, Arumi akhirnya membiarkan pikirannya mengalir bebas. Ia teringat bagaimana selama ini ia selalu menyisakan uang bulanan untuk dapur, kebutuhan Raka, untuk rumah yang bahkan tidak pernah benar-benar menjadi tempat pulang baginya. Ia teringat bagaimana ia menahan diri setiap kali ingin membeli sesuatu untuk dirinya sendiri seperti baju, sepatu, skincare karena ia merasa tidak pantas.
Perkataan Raka selalu menyakitkan jika dia sudah ingin membeli sesuatu. Raka memang royal dengan uang padanya tapi ketika ia belanjakan, selalu saja pria itu mengatainya dengan perkataan menyakitkan.
Contohnya saja ketika hendak membeli baju baru, Raka akan mengatakan kalau Arumi tidak akan ke mana-mana dan baju itu tidak akan terpakai, mubazir.
Facial berlanjut ke perawatan tubuh. Scrub hangat, lulur wangi, pijatan di bahu dan punggung yang selama ini menahan beban tanpa suara. Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan bahwa tubuh ini layak dirawat, bukan hanya digunakan.
Ketika semuanya selesai, Arumi kembali duduk di depan cermin besar. Perempuan yang menatap balik dari cermin itu bukan lagi Arumi yang sama.
Kulitnya lebih cerah, matanya lebih hidup, rambutnya jatuh rapi membingkai wajah. Senyum kecil terukir di bibirnya, sebuah senyum yang bukan untuk menyenangkan siapa pun, tapi senyum yang lahir dari dalam dirinya sendiri.
“Aku suka hasilnya, aku punya suami yang kaya raya, dia butuh kebahagiaan dan aku juga butuh itu. Apa salahnya menikmati harta suami sendiri,” ucap Arumi pelan yang berbicara pada dirinya sendiri.
Ia berdiri dan mengambil tasnya, lalu membayar tanpa bertanya harga. Untuk pertama kalinya, uang kali ini benar-benar ia gunakan untuk dirinya sendiri tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Saat melangkah keluar dari salon, matahari sore menyambutnya hangat. Arumi mengangkat wajahnya sedikit, menghirup udara dalam-dalam seperti orang yang baru saja bebas dari dalam penjara.
Arumi terus ke mall dan berbelanja barang-barang yang dia sukai dan inginkan selama ini. Tanpa melihat harga, dia mengambil apa yang dia mau lalu membayarnya. Semua uang yang dia pegang saat ini seluruhnya habis dia belanjakan.
Tak lupa dia memesan nasi kotak dengan jumlah yang banyak lalu membagikannya kepada para gelandangan serta panti asuhan terdekat saat akan pulang ke rumah. Hatinya begitu damai dan tenang padahal tadi suaminya baru saja menyatakan sebuah perselingkuhan.
...***...
Arumi menyusun semua barang-barang yang dia beli tadi ke dalam lemari pakaian dan tersenyum ketika semuanya sudah diperbaharui.
Ia melihat seluruh isi kamarnya dan langsung memesan semua perlengkapan yang baru. Kasur, sofa, pajangan, lukisan, dan seluruh yang ada di dalam kamar itu akan dia ganti dengan yang baru.
“Besok barangnya datang dan semua akan terlihat baru sesuai dengan kesukaanku, bukan lagi kesukaan Raka,” katanya dengan rasa bangga.
Arumi menatap pantulan dirinya di cermin, tubuhnya sudah begitu segar dan piyama yang dia kenakan sangat mahal harganya.
Tak lama dia menangis dan duduk di bangku meja riasnya. Menatap lamat-lamat wajahnya itu lalu berujar lirih, “Aku memang tidak tahu diri sudah berharap akan cintamu, Raka. Aku tidak akan pernah menang jika berdebat denganmu, aku selalu menghadapi sikap dingin dan amarahmu setiap saat tapi kali ini, tidak lagi.”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir