Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Mengungsikan
Lampu ruang rawat masih menyala terang ketika Erlang berdiri di depan jendela kaca, menatap lorong rumah sakit yang tak pernah benar-benar tidur. Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan suara langkah cepat perawat dan bunyi mesin monitor yang ritmis tapi menegangkan.
Di dalam ruangan, Rima terbaring tak bergerak. Tubuhnya penuh selang dan kabel. Wajahnya pucat, jauh dari sosok tegas yang biasa Feni kenal.
Feni duduk di kursi dekat ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat. Ujung jarinya dingin, meski udara ruangan tidak terlalu rendah. Sejak operasi dinyatakan berhasil, tubuhnya justru terasa semakin lemah. Ketegangan yang sempat ditahan perlahan runtuh, menyisakan sisa-sisa ketakutan yang tak tahu harus diletakkan di mana.
Andre berdiri di sisi lain ranjang, menatap kakaknya tanpa berkedip. Rahangnya mengeras. Ia terlihat tenang, tapi Erlang tahu—Andre sedang menahan badai di dalam dirinya.
Dokter baru saja keluar, meninggalkan kalimat yang tak sepenuhnya melegakan: *operasi berhasil, tapi kondisi masih kritis.*
“Itu artinya belum aman,” gumam Andre akhirnya.
Erlang menoleh. “Iya.”
Andre mengusap wajahnya kasar. “Peluru itu terlalu dekat sama saraf. Dan yang nembak… jelas bukan orang iseng.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Feni menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada Andre yang membuat dadanya sesak. Ia tahu Andre polisi. Ia tahu Andre terbiasa dengan bahaya. Tapi kali ini, bahaya itu masuk ke rumah mereka.
Masuk ke hidup mereka.
“Aku minta maaf,” ucap Feni pelan, nyaris tak terdengar.
Andre menoleh cepat. “Jangan bilang gitu.”
“Tapi kalau aku nggak pergi pagi itu—”
“Fen,” potong Andre tegas. “Ini bukan salah kamu.”
Erlang melangkah mendekat, berdiri di belakang Feni. Tangannya menyentuh bahu Feni, memberi tekanan kecil yang menenangkan.
“Kita nggak tahu siapa target sebenarnya,” kata Erlang. “Tapi satu hal jelas—ini terencana.”
Andre mengangguk pelan. “Dan itu yang bikin gue khawatir.”
Ia menatap Feni lama. Tatapan seorang kakak yang terlalu sering kehilangan orang yang dicintainya.
“Fen,” lanjut Andre, suaranya lebih rendah. “Mulai sekarang, lo nggak boleh sendirian.”
Feni mengangkat wajah. “Maksudnya?”
“Sementara waktu, lo ikut Erlang.”
Ruangan itu terasa lebih sunyi.
Erlang menegang. “Ndre—”
“Ini bukan permintaan,” potong Andre. “Ini soal keamanan.”
Feni berdiri setengah refleks. “Aku nggak mau ngerepotin Erlang.”
Erlang langsung menggeleng. “Kamu bukan repot.”
Andre menatap Erlang tajam. “Apartemen lo aman?”
“Lebih aman dari rumah Feni sekarang,” jawab Erlang jujur. “Ada akses terbatas. CCTV. Satpam.”
Andre mengangguk, lalu menoleh ke Feni. “Ini sementara. Sampai kita tahu siapa pelakunya.”
Feni menoleh ke arah Rima. Tubuh kakak iparnya itu terbaring diam, seolah menjadi bukti bahwa bahaya bukan lagi sesuatu yang abstrak.
“Kalau aku ikut Erlang…” suara Feni bergetar, “…Rima aman?”
Andre menarik napas panjang. “Kita semua berusaha bikin itu terjadi.”
Keputusan itu diambil tanpa perayaan. Tanpa rasa lega. Hanya kesadaran pahit bahwa hidup mereka sudah berubah.
---
Malam mulai turun ketika Erlang mengantar Feni keluar dari rumah sakit. Lampu kota menyala satu per satu, memantul di aspal yang masih basah oleh hujan sore.
Feni duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Bayangan dirinya sendiri terpantul di kaca—mata sembab, wajah pucat, tapi berusaha bertahan.
“Kamu nggak harus kelihatan kuat,” ujar Erlang pelan, memecah keheningan.
Feni tersenyum tipis. “Aku capek jadi takut.”
Erlang melirik sekilas. “Takut itu wajar.”
“Dulu…” Feni terdiam, lalu menggeleng. “Nanti aja.”
Erlang tidak memaksa.
Mobil berhenti di basement apartemen Erlang. Area itu sepi, bersih, dengan pencahayaan terang. Erlang mematikan mesin, tapi tidak langsung turun.
“Kita masuk bareng,” katanya. “Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, bilang.”
Feni mengangguk.
Apartemen itu rapi, minimalis, terasa dingin tapi aman. Erlang menyalakan lampu, lalu mengecek pintu dan jendela satu per satu. Kebiasaan yang terlihat otomatis—seolah ia sudah lama hidup dengan kewaspadaan.
“Kamu bisa pakai kamar ini,” ujar Erlang sambil membuka pintu kamar tamu.
Feni melangkah masuk perlahan. Kamar itu sederhana, bersih, dengan seprai abu-abu dan lampu tidur kecil di sudut.
“Aku tidur di sofa,” lanjut Erlang cepat.
Feni menoleh. “Jangan.”
Erlang terdiam.
“Kita udah pacaran lama,” kata Feni pelan. “Aku nggak mau kamu ngerasa harus menjauh cuma karena aku di sini.”
Erlang tersenyum kecil, tapi matanya tetap serius. “Aku cuma mau kamu aman.”
Feni mendekat, memegang tangan Erlang. “Aku lebih aman kalau kamu dekat.”
Kalimat itu membuat Erlang menarik napas panjang. Ia akhirnya mengangguk.
Malam itu, Feni duduk di sofa, membungkus dirinya dengan selimut. Erlang membuatkan teh hangat, lalu duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat untuk saling merasakan napas.
“Kamu gemetar,” ujar Erlang.
“Bau rumah sakit,” jawab Feni jujur. “Bikin aku inget kecelakaan orang tuaku.”
Erlang menoleh penuh perhatian.
“Aku takut kehilangan lagi,” lanjut Feni lirih. “Andre… Rima… kamu.”
Erlang meraih Feni ke dalam pelukan. Tidak terburu-buru. Tidak berlebihan.
“Aku di sini,” katanya. “Dan aku nggak ke mana-mana.”
Feni memejamkan mata, membiarkan dirinya percaya—meski hanya untuk malam itu.
Di luar apartemen, kota terus bergerak seperti biasa. Tapi bagi mereka, satu keputusan sederhana telah mengubah segalanya.
Mengungsikan Feni bukan sekadar soal tempat tinggal.
Itu adalah awal dari perlindungan.
Dan tanpa mereka sadari—
awal dari ancaman yang jauh lebih besar.
...****************...