Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Malam itu terasa berbeda.
Entah karena kelelahan atau karena kegelisahan yang menumpuk, Kinara menyadari satu hal, Arman tidak turun untuk makan malam. Biasanya, seberapa pun dinginnya pria itu, ia selalu muncul sekadar formalitas. Namun malam ini, meja makan dibiarkan kosong dari kehadirannya.
'Ini kedua kalinya…' batin Kinara bergumam.
Ini juga pertama kalinya Arman pulang larut, melewati jam-jam malam sejak Kinara tinggal di rumah itu. Namun suara Nyonya Ratna terus terngiang jelas di kepalanya.
'Kamu istri Arman. Sudah seharusnya tidur sekamar dengannya,'
Kini Kinara berdiri di dalam kamar Arman, kamar yang luas, dingin, dan terlalu sunyi. Ia mondar-mandir, jemarinya saling menggenggam, napasnya tak teratur. Berkali-kali ia melirik pintu, ingin keluar, ingin kembali ke kamar lamanya.
'Ini cuma karena permintaan mamanya aku harus menjelaskan pada Pak Arman,'
pikirnya.
Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, langkah pelayan terdengar di koridor. Kinara membeku.
Pelayan itu menoleh, tatapannya seolah sudah tahu apa yang ingin Kinara lakukan. Tanpa berkata apa pun, ia hanya menunduk hormat, namun kehadirannya cukup membuat Kinara mengurungkan niat.
Dengan langkah berat, Kinara kembali ke dalam kamar. Waktu berjalan lambat, detik terasa panjang. Ia tidak mendengar suara mobil yang berhenti di depan teras rumah. Tidak tahu bahwa Rudi baru saja mengantar Arman pulang.
Bahkan ketika lift pribadi lantai dua terbuka dari arah ruang kerja, Kinara sama sekali tidak menyadari bahwa suaminya telah kembali.
Sampai akhirnya, pintu kamar terbuka.
Kinara tersentak, jantungnya hampir meloncat keluar. Ia menoleh sekilas dan menangkap siluet seseorang di ambang pintu.
'Mama Pak Arman…'
itu yang pertama kali terlintas di pikirannya.
Tanpa berpikir panjang, Kinara segera naik ke atas kasur, menarik selimut, lalu memejamkan mata. Napasnya diatur, tubuhnya dipaksa rileks, berpura-pura tenggelam dalam tidur.
Ia tidak tahu dan bahkan sama sekali tidak tahu. Bahwa sosok yang kini berada di luar pintu kamar itu bukan Nyonya Ratna melainkan Arman.
Kening Arman langsung berkerut begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di atas ranjangnya. Sejak kecelakaan itu, kamar ini tak pernah ia bagi dengan siapa pun. Kecuali, kemarin Aksa memaksa untuk membuat Kinara tidur dengannya. Dan malam ini Arman berpikir tidak mungkin Aksa kembali memaksa Kinara.
Suara halus kursi roda yang bergerak membuat Kinara ikut mengernyit. Ada sesuatu yang berbeda dari langkah kaki pelayan atau suara tongkat ibunya. Detik berikutnya, kesadaran itu menghantamnya.
'Pak Arman…'
Kinara membuka mata dengan cepat. Belum sempat Arman membuka suara, ia lebih dulu bangkit setengah duduk.
“Aku dipaksa tidur di sini,” ucapnya tergesa, nadanya jujur tanpa basa-basi. “Aku sudah menolak, tapi Nyonya Ratna memaksa. Pelayan juga ... mereka seperti sudah diinstruksikan.”
Kening Arman semakin mengeras.
Ingatan lama menyeruak. Dulu, betapa sulitnya ia membuat ibunya menerima Amira. Berapa banyak alasan yang harus ia susun, berapa banyak pertengkaran yang harus ia lewati. Namun Kinara, wanita yang baru masuk ke hidupnya diterima begitu saja, tanpa perlawanan dan membuat ibunya curiga.
“Kamu boleh tinggal di kamar ini,” ujar Arman akhirnya, datar.
Alis Kinara terangkat.
“Selama Mama ada di rumah,” lanjut Arman, menatap lurus tanpa emosi, “kamu tidur di sini. Jangan sampai Mama curiga.”
Kinara terdiam sejenak, lalu mengangguk ragu.
Arman merogoh sisi kursi rodanya, mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal dan menyodorkannya. Kinara menatapnya, ragu, tangannya tak kunjung bergerak.
“Ambil,” perintah Arman singkat.
Setelah didorong beberapa detik, barulah amplop itu berpindah ke tangan Kinara. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya ada sebuah kartu ATM, berkas surat kendaraan, dan satu kunci mobil yang masih terbungkus plastik.
“Mobilnya datang besok pagi,” kata Arman. “Aku tahu kamu akan mulai bekerja.”
Kinara menatap isi amplop itu, jantungnya bergetar. Hangat menjalar perlahan, sesuatu yang nyaris membuat matanya memanas.
“Ini … terlalu berlebihan,” ucapnya lirih. “Aku tidak...”
“Itu karena kamu mengembalikan suasana rumah ini,” potong Arman cepat. “Kamu menjadi mommy untuk Aksa.”
Kinara menatapnya, berharap ada nada lain di suara itu. Namun yang ia dapatkan hanyalah garis wajah dingin yang sama.
“Aku hanya memberi hadiah,” lanjut Arman. “Jangan berpikir macam-macam. Sesuai perjanjian, tidak ada cinta. Tidak ada perhatian lebih. Ini hanya reward.”
Kalimat itu jatuh seperti air dingin.
Setelah mengatakannya, Arman memutar kursi rodanya menuju kamar mandi, meninggalkan Kinara dalam sunyi yang mendadak terasa berat.
Untuk sesaat, Kinara sempat berpikir mungkin mereka bisa menjadi pasangan suami istri seperti kebanyakan orang. Mungkin waktu bisa melunakkan sikap Arman.
Namun malam itu, dengan punggung Arman yang menjauh dan kata-kata dingin yang tertinggal, Kinara sadar satu hal, menjadi seseorang yang berdiri di sisi Arman
bukan perkara tinggal di kamar yang sama.
Keesokan paginya, Arman dan Kinara turun bersama menuju ruang makan.
Sedikit terlambat, begitu mereka tiba, Aksa dan Nyonya Ratna sudah lebih dulu duduk rapi di meja panjang itu. Beberapa pelayan berdiri di sisi ruangan, menunduk hormat setelah memastikan menu sarapan tersaji sempurna.
“Daddy … Mommy…” sapa Aksa ceria, matanya berbinar melihat mereka datang bersamaan.
Kinara membalas senyum itu, sementara Arman hanya mengangguk singkat.
Nyonya Ratna menatap putranya cukup lama, seolah menimbang sesuatu, sebelum akhirnya membuka suara.
“Lima tahun, Ar,” ucapnya pelan namun tegas. “Lima tahun kamu mengurung diri. Sekarang kamu mulai keluar rumah lagi, pulang malam, kembali ke kantor.”
Arman mengaduk sarapannya tanpa menatap ibunya.
“Aku senang,” lanjut Ratna. “Aku benar-benar senang melihat perubahanmu. Kamu mulai kembali ke hidupmu yang dulu.”
Sendok Arman berhenti bergerak.
Ratna menghela napas kecil, lalu berkata hati-hati, “Karena itu … Mama ingin kamu mempertimbangkan terapi lagi. Untuk kakimu.”
Sendok itu diletakkan Arman di atas piring.
Ratna segera mengangkat tangan, nada suaranya melembut.
“Bukan karena Mama terbebani melihatmu seperti ini. Jangan salah paham.” Ia menatap Arman penuh kasih. “Mama hanya ingin menyemangatimu. Kamu berhak memulai hidupmu lagi.”
Pandangan Ratna lalu bergeser pada Kinara.
“Sekarang kamu tidak sendiri. Ada Kinara di dekatmu.”
Arman menoleh ke arah Kinara, tatapannya tajam, seolah meminta jawaban atau pembelaan. Kinara terkejut sesaat, lalu menarik napas dalam. Dengan ragu namun mantap, ia angkat bicara.
“Pak Arman berhak kembali ke kehidupan sebelumnya,” ucapnya pelan tapi jelas. “Mencoba lagi … tidak ada salahnya. Apa pun hasil akhirnya.”
Ia melirik Aksa sekilas, lalu kembali menatap Arman.
“Saya akan tetap menjadi Mommy Aksa.”
Ruangan itu seolah hening beberapa detik.
“Satu hal yang harus Bapak tahu,” lanjut Kinara, suaranya sedikit bergetar namun tulus, “saya tidak pernah malu menjadi bagian dari keluarga ini.”
Arman membeku.
Ada sesuatu yang menghantam dadanya pelan tapi dalam. Ia berdehem cepat, memalingkan wajah, menyembunyikan perubahan ekspresi yang nyaris terbaca.
“Baik,” ucapnya singkat setelah beberapa detik. “Aku akan menjalani terapi dan pengobatan.”
Aksa langsung tersenyum lebar.
“Beneran, Daddy?”
Ratna ikut tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Mama bangga padamu, Ar.”
Kinara menunduk kecil, dadanya terasa lega tanpa sadar, ia baru saja menjadi alasan Arman berani melangkah lagi.
Setelah sarapan usai, suasana rumah kembali bergerak cepat.
Rudi datang menjemput Arman tepat waktu. Kursi roda Arman didorong masuk ke dalam mobil dengan rapi. Aksa lebih dulu diantar ke sekolah, bocah itu melambaikan tangan riang dari balik jendela mobil, membuat Kinara tersenyum hangat meski hatinya sedikit tegang menghadapi hari pertamanya bekerja.
Mobil kembali melaju.
“Mobilmu akan sampai sekitar jam sepuluh,” jawab Arman datar tanpa menoleh. “Sementara ini ikut saja kami.”
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi berarsitektur modern logo perusahaan farmasi ternama terpasang mencolok di bagian depan. Arman menatap gedung itu lama, keningnya berkerut.
Gedung itu tidak asing dan justru terlalu familiar.
Masuk ke sana terasa sama sulitnya dengan pertama kali ia kembali ke perusahaannya sendiri. Apalagi perusahaan ini, saingan Mission Bar namun bergerak khusus di bidang farmasi, riset, dan obat-obatan. Dunia yang berbeda, tapi medan perangnya sama kejam.
Kinara turun dari mobil lebih dulu. Ia merapikan pakaiannya, lalu menunduk sopan.
“Terima kasih, Pak Arman. Terima kasih juga, Pak Rudi.”
Arman hanya mengangguk singkat.
Namun sebelum Kinara melangkah pergi, Arman menoleh pada Rudi, suaranya direndahkan, tajam, dan penuh perintah.
"Rudi,"
"Iya, Tuan."
"Apa wajah ku kelihatan tua? Kenapa dia terus memanggil ku Bapak? Tidak bisakah dia menggantikan dengan nama lain?" tanya Arman dingin, Rudi tersenyum.
"Tuan, bisa meminta Nyonya memanggil Anda dengan sebutan yang Anda suka," ujar Rudi.
“Awasi semua kegiatan Kinara di gedung ini.”
Rudi sedikit terkejut.
“Maksud Tuan…?”
“Pastikan dia aman,” potong Arman dingin. “Dan laporkan siapa pun yang terlalu dekat dengannya.”
Rudi mengangguk pelan, memahami maksud yang tidak diucapkan.
Kinara yang sudah beberapa langkah menjauh tidak mendengar percakapan itu. Ia melangkah masuk ke gedung besar itu dengan kepala tegak, tanpa tahu bahwa sejak saat itu, setiap geraknya akan berada dalam pengawasan, bukan hanya sebagai karyawan baru, tetapi sebagai seseorang yang tanpa sadar mulai mengusik batas pertahanan Arman.
Kinara baru saja melangkah melewati pintu putar ketika langkahnya terhenti mendadak.
Lift di depannya terbuka. Seseorang keluar tepat di saat yang sama ia melangkah maju.
Bruk.
Tubuh Kinara limbung ke depan. Tasnya hampir terlepas dari genggaman, dan refleks ia memejamkan mata, bersiap jatuh, namun sebuah tangan kuat menahan lengannya, tangan lain sigap melingkar di pinggangnya, menahan tubuh Kinara agar tidak terjerembap ke lantai marmer yang dingin.
Kinara tersentak, matanya terbuka lebar.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi, berwajah tampan dengan rahang tegas dan sorot mata tenang. Setelan jasnya rapi, auranya gelap dan licik jelas bukan karyawan biasa.
Pemuda itu menunduk sedikit, menatap Kinara dengan senyum tipis yang sopan.
“Kami tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Namun reaksi Kinara justru sebaliknya. Matanya melotot, napasnya tertahan. Wajahnya memucat seketika seolah baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ada di hadapannya.
Tangannya refleks mendorong dada pria itu, mundur satu langkah.
“Kamu...” suara Kinara tercekat, nyaris tak keluar.
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....