Dendam dua jiwa.
Jiwa seorang mafia cantik berhati dingin, memiliki kehebatan dan kecerdasan yang tak tertandingi, namun akhirnya hancur dan berakhir dengan mengenaskan karena pengkhianatan kekasih dan sahabatnya.
Jiwa yang satu adalah jiwa seorang gadis lugu yang lemah, yang rapuh, yang berlumur kesedihan dan penderitaan.
Hingga akhirnya juga mati dalam kesedihan dan keputus asaan dan rasa kecewa yang mendalam. Dia mati akibat kelicikan dan penindasan yang dilakukan oleh adik angkatnya.
Hingga akhirnya dua jiwa itu menyatu dalam satu tubuh lemah; jiwa yang penuh amarah dan kecewa, dan jiwa yang penuh kesedihan dan putus asa, sehingga melahirkan dendam membara. Dendam dua jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 4. Kata-kata Sambutan Untuk Annabella
Fiorella --yang bersemayam di dalam tubuh Annabella-- melangkah perlahan mengikuti Nindira yang berjalan di depan. Di sampingnya berjalan tenang Bibi Lastri yang tetap setia menemaninya, Annabella.
Sambil berjalan Fiorella alias Annabella tampak terdiam bisu sambil melirik keadaan kediaman Keluarga Winata yang begitu besar dan megah. Namun siapa yang tahu jika di dalam pikirannya sedang bercakap-cakap dengan Annabella tentang keadaan kediaman ini.
Nindira terus saja melangkah seakan menjadi pemandu dua orang wanita beda usia yang terus mengikutinya dari belakang, menyusuri areal serambi depan yang cukup luas.
Tak lama Nindira sampai di ambang pintu yang tertutup rapat. Lalu membukanya tanpa ragu, terus masuk ke dalam tanpa memberi tahu dan mengajak Fiorella.
Karena yang dia tahu gadis yang masih setia mengikut di belakangnya itu adalah Annabella, adiknya yang dia kenal, meski sekarang aura dan perangainya sedikit berbeda. Jadi, buat apa dia memberi tahu dulu dan mengajak masuk.
Nindira terus saja melangkah tanpa henti, menyusuri areal ruang tamu yang luas dan mewah yang menebarkan aroma wangi yang semerbak dan menyegarkan.
Sedangkan Fiorella-Annabella terus saja mengikuti dalam diam sambil mengamati keadaan sekitar dalam lirikan matanya.
Meskipun dalam pikiran Annabella tetap mendeskripsikan setiap yang Fiorella lihat, namun tetap saja Fiorella merasa asing akan keadaan yang baru baginya ini. Namun Fiorella tidak perduli dengan segala rasa asing itu.
Dia mau lihat dulu bagaimana reaksi Abraham Winata serta istri dan anak-anaknya yang lain saat menyaksikan dirinya sebagai Annabella yang tampil beda dengan Annabella yang dulu.
Fiorella sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya seisi rumah ini melihat penampilan dan perangai Annabella yang berbeda.
Dulu Annabella yang lugu yang selalu saja takut jika berbicara dengan orang-orang di rumah ini, yang selalu menundukkan kepala dan amat patuh kepada kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya.
Bahkan Annabella juga takut dan patuh dengan Nikita, adik angkatnya, putri yang paling disayang dan dimanjakan di kediaman Keluarga Winata.
Bagaimana jika mereka semua menyaksikan sikap Annabella yang berani dan menentang?
★☆★☆
Sementara itu di ruang tengah tampak Abraham Winata tengah berkumpul dengan istri dan kedua anak laki-lakinya serta si putri bungsu, Nikita sambil berbincang-bincang.
"Bagaimana keadaan Bella sekarang ya, Pa?" kata Nyonya Chalinda Winata, istri Pak Abraham seolah teringat akan putrinya itu.
Padahal dia termasuk orang yang tidak pernah menjenguk Annabella selama terbaring koma di rumah sakit. Dia hanya sibuk dengan urusan kerjaannya serta memanjakan putri angkatnya.
Bahkan ketika putri kandungnya yang tengah berada di gerbang hidup dan mati saat di antar ke rumah sakit, dia sama sekali tidak mengantar.
Dia bersama suami dan kedua putranya sibuk mengurus drama yang dilakukan oleh Nikita ketika itu.
Perlu diketahui bahwa saat peristiwa mengenaskan itu terjadi, Nikita memutar balikkan fakta yang sebenarnya.
Dia, yang dibantu oleh Vanka dan Stella, mengarang cerita bahwa Annabella terjatuh dari lantai atas akibat bentrok dengan beberapa orang siswa.
Begitu rapinya Nikita menyampaikan berita dusta itu kepada papa mama serta saudara-saudaranya. Tentu disertai dengan drama serta bumbu-bumbu penyedap lainnya.
Mirisnya, Keluarga Winata yang brengsek itu percaya saja apa yang disampaikan Nikita. Karena mereka yakin 100% jika Nikita adalah anak yang baik dan penurut. Sedangkan Annabella adalah anak yang bandel yang selalu menindas Nikita.
Makanya tidak usah heran jika tidak ada yang perduli dengan Annabella ketika itu, termasuk Chalinda Winata, ibu kandungnya.
Keluarga yang sempat perduli dengan nasib tragis Annabella pada saat itu cuma Nindira. Itu pun dia tidak lama mengurus Annabella. Dia menyerahkan sepenuhnya urusan nyawa Annabella saat itu kepada Bibi Lastri.
Karena Nindira keburu ingin melihat keadaan Nikita yang katanya pingsan akibat menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan Annabella.
Sungguh... sungguh... sungguh miris....
"Apa dia masih terbaring koma?" lanjut Nyonya Chalinda seolah mengungkapkan kepeduliannya.
"Untuk apa kamu pedulikan anak tidak tahu malu itu, Ma?" dengus Tuan Abraham Winata bernada sinis. "Perbuatannya itu sudah membuat malu keluarga kita."
"Mati pun anak itu aku tidak perduli," lanjut Abraham Winata makin mendengus marah.
"Ma, Bella itu cuma ingin menarik perhatian kita saja," kata Arden Carroll, Tuan Muda Ke Dua Winata, juga mengungkapkan ketidak peduliannya, "biar ada yang perduli padanya."
"Pa, Ma, Kak Arden, biar bagaimana pun Kak Bella itu masih keluarga kandung kalian," seperti biasa Nikita tampil dengan mode peri yang baik hati dan penyabar lagi pemaaf. "Apapun yang dilakukannya, aku harap... kalian bisa memaafkannya."
"Niki, andai Bella itu punya setengah saja dari sifat baikmu, itu... masih lebih baik," kata Chalinda Winata bernada sedih. "Ini malah... dia tidak memiliki sedikit pun dari sifat baikmu."
Kemudian yang lain ikut memuji perilaku Nikita Angelita yang membuat bangga Keluarga Winata serta membanding-bandingkan dengan perilaku Annabella yang buruk, di mata mereka.
Yang tidak berkomentar sama sekali adalah Dareen Davion, Tuan Muda Pertama Winata, pemuda yang terkenal dengan sikap dinginnya dalam keluarga maupun dalam bergaul.
Lelaki muda yang berwajah es batu itu lebih banyak diam. Dia seakan lebih senang sibuk tenggelam dengan gawainya ketimbang ikut berkomentar.
Namun seketika, kepalanya bergerak ke samping seraya memandang ke satu arah. Yang lain juga ikut memandang ke arah yang sama. Seketika itu juga percakapan langsung terhenti.
Apakah yang terjadi? Atau... siapakah yang mereka lihat?
★☆★☆
Ternyata ketika itu Nindira telah sampai di ruang tengah itu. Tapi bukan gadis itu yang membuat orang-orang itu menghentikan pembicaraan, melainkan seorang gadis remaja yang berada di samping Bibi Lastri.
Dialah Annabella Calista alias Fiorella Devara, gadis yang sedang hangat mereka bincangkan di ruangan ini tadi.
Saat Annabella telah hadir di ruangan ini, suasana langsung terpenjara dalam kebisuan, tenggelam dalam kesunyian. Sedangkan kelima orang yang masih duduk di sofa masih menatap Annabella dengan berbagai ekspresi, awalnya.
Namun mereka seakan bersepakat dalam satu perasaan, mereka merasa jika penampilan dan aura Annabella kali ini berbeda, amat berbeda.
Dulu, wajah cantik Annabella selalu menampakkan keluguan, rasa takut dan minder. Bahkan sama sekali tidak berani mengangkat tinggi kepalanya.
Namun semua itu kini telah lenyap. Annabella yang sekarang, wajahnya menampakkan aura yang dingin dan berani, berani memandang semua orang yang duduk di sofa itu.
Sementara itu Nikita lekat menatap Annabella dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya. Namun dia berusaha sebisa mungkin agar tetap dalam mode tenang, jangan panik.
Tadi dia sempat pucat mana kala melihat Annabella ternyata belum mati. Tapi dia berusaha berpikir jernih dan tenang. Sementara dia berharap gadis itu lupa akan peristiwa yang menyebabkan dia terbaring koma di rumah sakit.
Semoga saja....
Tapi walaupun dia masih ingat, tentu dia tidak berani untuk menceritakannya kepada Keluarga Winata, karena Keluarga Winata sama sekali tidak percaya akan ucapannya.
"Rupanya kamu masih hidup, Bella," kata Arden seketika, sekaligus ucapannya itu membuyarkan suasana bisu dan sunyi di ruangan itu. "Aku kira kamu sudah mati...."
Dia begitu santai mengucapkan kalimat itu sambil memandang hina penuh peremehan dan ketidak pedulian terhadap Annabella.
Tidak ada yang menanggapi ucapan kurang ajar Arden barusan, apalagi menegur perbuatan lancangnya itu. Lebih-lebih Bibi Lastri yang hanya diam saja di samping Annabella.
Kecuali....
"Kak Arden, kamu nggak boleh berkata begitu pada Bella," tegur Nindira bernada tajam. "Kita semua mengharapkan kesembuhan bagi Bella, agar dia bisa memperbaiki diri dan nggak bertidak sembarangan lagi kedepannya."
"Tidak ada yang mengharapkan anak sialan itu sembuh," dengus Abraham Winata dengan sadis, tanpa perasaan bersalah. "Bahkan mati pun papa tidak perduli."
"Pa, Bella baru saja sembuh," Nindira bertindak seakan membela Annabella. "Seharusnya papa nggak ngomong kayak gitu...."
"Kenapa kamu selalu saja membela anak itu, Nindi?" kata Chalinda Winata bernada tenang seolah bersikap bijak. "Tidakkah kamu sadar kalau sikap pembelaanmu itu membuatnya tidak sadar akan perbuatannya."
"Karena merasa ada yang membelanya," lanjutnya bernada menyayangkan tindakan Nindira.
"Ma, seharusnya mama nggak ikut-ikutan juga sama yang lain," tegur Nindira. "Mama seharusnya lebih mendekat pada Bella dan menasehatinya."
"Bella, segeralah berlutut di hadapan papa sama mama!" seketika Dareen berkata bernada dingin, memerintah dengan sangat pada Annabella. "Minta maaf sama mereka dan berjanji agar nggak berbuat onar lagi!"
"Ya, seharusnya kamu minta maaf pada papa dan mama," dukung Arden bernada sinis penuh hinaan. "Minta maaf juga pada Niki. Perbuatanmu kemarin itu membuatnya pingsan, sehingga masuk rumah sakit."
Sejak pertama masuk Annabella alias Fiorella hanya diam saja. Sikapnya begitu tenang, ekspresinya tetap dingin tanpa emosi. Tidak terpengaruh dengan kata-kata sambutan penghuni rumah yang pedas dan tidak berfaedah yang dilontarkan padanya.
Dia juga tidak menggubris perintah Dareen dan Arden, dia tidak menganggap lagi dua pemuda brengsek itu. Bahkan dia juga tidak menganggap kedua orang tuanya itu, termasuk Nindira.
Dia menoleh pada Bibi Lastri yang masih setia di sampingnya, lalu berkata dengan tenang dan lembut, tanpa emosi.
"Bibi, aku lupa kamarku di mana? Bisakah kamu mengantarku?"
"Atau... mungkin aku nggak punya kamar di rumah sebesar ini?!"
★☆★☆★