Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: VELINDRA MEMBOCORKAN RAHASIA
#
Dua hari setelah kunjungan Nayla.
Alviona lagi baca salah satu buku pemberian Nayla di taman belakang—mencoba fokus pada kata-kata motivasi yang tertulis, mencoba percaya bahwa ada jalan keluar dari semua ini—ketika dia mendengar langkah kaki yang familiar.
Langkah yang pelan, hati-hati, kayak gak mau menganggu.
Alviona noleh—dan ngeliat Velindra berdiri beberapa meter darinya, dengan blazer abu-abu rapi dan ekspresi wajah yang... berat. Ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang bikin Alviona langsung merasa ada yang gak beres.
"Velindra Kak..." Alviona menutup bukunya pelan.
Velindra tersenyum tipis—tapi senyumnya gak sampai mata. Dia melangkah deket, duduk di ujung bangku dengan postur yang tegang, tangannya mengepal di atas pangkuan.
"Alviona..." suaranya pelan, ragu. "Aku... aku datang karena ada yang perlu kau tahu."
Jantung Alviona langsung berdegup lebih cepat. "Ada apa, Kak?"
Velindra menghela napas panjang—napas orang yang lagi berusaha kumpulin keberanian. Matanya menatap tanaman di depan mereka, gak berani langsung tatap Alviona.
"Aku berpikir lama... apakah aku harus bilang ini atau enggak. Tapi..." Velindra akhirnya noleh, menatap Alviona dengan tatapan penuh empati. "Kau berhak tahu kebenaran. Tentang... kenapa kau ada di sini."
Alviona meremas buku di tangannya. "Aku... aku gak ngerti..."
"Kau tau kenapa Tuan Daryon menikahimu?" tanya Velindra pelan, tapi pertanyaannya menohok.
Alviona terdiam. Sebenarnya dia tau—karena keluarganya butuh uang, karena keluarga Prasetya butuh "citra baik." Tapi cara Velindra nanya... ada sesuatu yang lebih dalam.
"Ada... ada alasan lain?" Alviona berbisik, suaranya bergetar.
Velindra mengangguk pelan. Tangannya gemetar sedikit ketika dia mulai bicara.
"Dua tahun lalu... Tuan Daryon dan Nona Kireina seharusnya menikah."
Kata-kata itu jatuh seperti bom.
Alviona membeku. Napasnya tertahan.
"Mereka pacaran hampir lima tahun. Tuan Daryon... benar-benar mencintainya. Atau setidaknya, dia pikir begitu." Velindra melanjutkan dengan suara yang makin pelan. "Dia sudah melamar. Sudah siapkan cincin. Sudah atur tanggal pernikahan. Semuanya sudah siap."
Alviona merasakan sesuatu yang berat mulai menekan dadanya.
"Tapi..." Velindra menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Keluarga Kireina menolak."
"Kenapa?" Alviona berbisik nyaris tanpa suara.
"Karena Tuan Daryon terlalu... playboy." Velindra mengucapkan kata itu dengan hati-hati, seperti kata itu masih menyakitkan untuk diucapkan. "Ayah Kireina bilang dia gak percaya Daryon bisa setia. Dia gak mau anaknya jadi korban dari... gaya hidup Tuan Daryon."
Alviona merasakan perutnya mulas. Ada sesuatu yang mulai terbentuk di kepalanya—puzzle yang mulai tersusun jadi gambar yang mengerikan.
"Tuan Daryon... hancur." Velindra melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Aku lihat sendiri. Dia marah. Dia kecewa. Tapi yang paling parah... dia merasa dihina. Egonya terluka."
Velindra noleh menatap Alviona langsung sekarang, dan ada air mata yang mulai berkumpul di pelupuk matanya.
"Dan setahun setelah itu... dia menikahimu."
Keheningan.
Alviona merasakan sesuatu retak di dadanya—bukan retak yang cepat dan dramatis, tapi retak pelan yang menyebar seperti es yang mulai mencair.
"Jadi..." suara Alviona keluar parau, serak, nyaris gak kedengeran. "Jadi aku... aku dinikahi untuk..."
"Untuk membuktikan sesuatu pada keluarga Kireina." Velindra menyelesaikan kalimatnya dengan lembut tapi firm. "Untuk menunjukkan bahwa dia bisa menikah. Untuk... balas dendam pada ego mereka yang sudah melukai egonya."
Setiap kata seperti pisau yang ditancapkan pelan-pelan ke dada Alviona.
"Dan ada satu hal lagi..." Velindra mengusap sudut matanya yang mulai basah. "Tuan Daryon memilih keluargamu... karena kalian membutuhkan uang. Karena kalian dalam posisi lemah. Karena... dia tahu kau tidak akan bisa menolak."
Alviona merasakan seluruh dunianya runtuh. Lagi.
Bukan karena keluarganya bangkrut.
Bukan karena dia kebetulan jadi pilihan.
Tapi karena dia sengaja dipilih.
Dipilih karena dia lemah.
Dipilih karena dia gak punya pilihan.
Dipilih buat jadi pion dalam permainan ego laki-laki yang terluka.
"Maafkan aku..." Velindra berbisik, air matanya jatuh sekarang. "Maafkan aku baru bilang sekarang... Aku... aku gak tahu apakah ini akan membantumu atau malah membuatmu lebih sakit... tapi aku pikir... kau berhak tahu kebenaran."
Alviona gak bisa ngomong. Tenggorokannya tercekik oleh sesuatu yang lebih besar dari air mata. Dadanya sesak. Napasnya pendek-pendek.
Dia cuma... tersenyum.
Tersenyum pahit.
Tersenyum yang paling hancur yang pernah dia buat.
"Jadi aku dinikahi..." bisiknya pelan, suaranya kosong, hampa, "hanya untuk menyakiti wanita lain?"
Velindra menunduk, tangannya menutupi wajahnya sendiri.
Alviona tersenyum lebih lebar—tapi senyumnya kayak topeng yang retak.
"Bahkan untuk ini pun... aku tidak cukup berharga."
Kata-kata itu keluar seperti napas terakhir.
Dan sesuatu di dalam Alviona—sesuatu yang masih tersisa, sesuatu yang masih mencoba bertahan—akhirnya... mati.
Total.
---
Malam itu, Alviona rebahan di ranjangnya dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit yang gelap.
Pikirannya kosong tapi sekaligus penuh.
Penuh dengan fakta yang baru dia ketahui.
Penuh dengan realisasi yang menghancurkan.
*Aku bukan istri.*
*Aku bukan bahkan manusia yang berharga.*
*Aku cuma... alat balas dendam.*
*Pion dalam permainan ego.*
*Boneka untuk membuktikan sesuatu.*
Dan yang paling menyakitkan...
*Bahkan penderitaanku pun bukan tentang aku. Tapi tentang dia. Tentang ego nya. Tentang permainannya dengan Kireina.*
Alviona merasakan air mata mengalir ke samping wajahnya—jatuh ke bantal tanpa suara.
Tapi dia gak isak.
Gak terisak.
Cuma air mata yang mengalir diam-diam, seperti sungai yang mengalir tanpa tujuan.
Dan di kegelapan kamar itu, Alviona berbisik pada dirinya sendiri—pada gadis 17 tahun yang seharusnya masih bermimpi tentang masa depan, bukan bertahan di neraka:
"Aku bahkan gak cukup berharga... untuk dibenci karena diriku sendiri."
---
**Di ruang kerjanya, Daryon menatap foto lama—foto dia dan Kireina dari tiga tahun lalu, tersenyum bahagia di pantai. Jarinya menyentuh wajah Kireina di foto itu. "Kenapa keluargamu menolakku?" bisiknya serak. "Aku sudah buktikan aku bisa menikah. Aku sudah lakukan semuanya. Tapi kenapa... kenapa kau masih belum kembali?" Foto itu dia lempar ke meja dengan frustrasi. Dan tanpa dia sadari... di kamar sebelah, istrinya yang berusia 17 tahun... sedang mati perlahan.**
**Apakah Alviona masih bisa bangkit dari kehancuran total ini? Atau dia sudah terlalu hancur untuk diselamatkan? Dan apakah Daryon... akan pernah menyadari bahwa dia sudah menghancurkan seseorang yang tidak bersalah... hanya untuk memuaskan egonya sendiri?**
---
**[ END OF BAB 18 ]**
---
#